Mataram (ANTARA) - Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Nusa Tenggara Barat menjalani sidang Praperadilan di Pengadilan Negeri Mataram terkait penanganan kasus kayu diduga ilegal dari kawasan hutan Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa.

Dalam sidang yang dipimpin hakim tunggal, yakni Mahyudin Igo, Senin, nampak DLHK NTB hadir sebagai termohon dengan perwakilan Kasi Gakkum DLHK NTB Astan Wirya dan Kasi Korwas PPNS Polda NTB Kompol Ridwan MZ.

Permohonan dengan klasifikasi perkara soal sh atau tidaknya penahanan ini diajukan tersangka Akhmad Fauzi alias Iwan melalui perwakilan kuasa hukumnya, Hartono.

Sidang praperadilan tersebut digelar dalam agenda pemeriksaan sejumlah saksi yang dihadirkan pihak pemohon.

Saksi yang hadir dalam sidang itu bernama Hamzah dan Khaerudin. Dalam kasus ini, Hamzah adalah pemilik gudang kayu di wilayah Leseng, Kecamatan Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa, dengan legalitas perusahaan bernama UD Raih Putra.

Dalam kesaksiannya, Hamzah ke hadapan hakim tunggal mengaku kenal dengan pihak pemohon, Iwan. Kesehariannya, Hamzah dengan Iwan kerap menjalin komunikasi soal usahanya yang berkaitan dengan kayu.

"Kenal dekat dengan Iwan, sering (berhubungan) main kayu," kata Hamzah.

Terkait dengan materi permohonan dari pihak pemohon, perihal penangkapan dan penahanan Iwan di DLHK NTB, Hamzah mengetahuinya.

"Saat itu, saya dihubungi Iwan lewat telepon, dia bilang di Mataram, bilang ke saya, 'saya kena ini'," ujarnya.

Sebagai seorang teman dekat, Hamzah yang menerima kabar tersebut langsung berangkat ke Mataram dan menengok kondisi Iwan.

"Saat ditangkap itu, saya lihat dia (Iwan) ada didampingi orang, belakangan baru saya tahu kalau itu pengacaranya," ucap dia.

Usai berjumpa di Mataram, esok harinya Hamzah balik ke Sumbawa dan mendapat titipan dari pengacara Iwan yang dia sebut bernama Hijir Ismail.

"Ada dititipkan surat (perintah penangkapan dan penahanan tersangka) yang diberikan pengacara Iwan, Hijir. Dia titip untuk serahkan surat itu ke istri Iwan," katanya.

Sebagai bukti bahwa dirinya menerima titipan dari pengacara Iwan tersebut, Hamzah mengaku telah menandatangani surat pernyataan penerimaan.

"Jadi surat itu saya terima pas ketemu dengan pengacaranya Iwan, Hijir, di Mataram. Tepat sehari sebelum saya balik ke Sumbawa. Saya dititipkan bersam dua HP (handphone) dan tas hitam punya Iwan. Surat saya masukan dalam tasnya," ujar dia.

Sepulangnya ke Sumbawa, Hamzah mengaku menyerahkan tas hitam milik Iwan ke istrinya melalui perantara adiknya, Gea dan seorang rekannya, Khaerudin.

"Saya sampai rumah itu magrib, kemudian saya panggil adik saya sama Pak Khaerudin, minta tolong untuk sampaikan surat itu ke istri Iwan," katanya.

Dalam kesaksiannya di bawah sumpah, Hamzah meyakinkan hakim dan peserta sidang bahwa tas berisi surat penangkapan dan penahanan Iwan yang menjadi produk DLHK NTB tersebut telah sampai ke istrinya.

"Saya yakin sudah sampai, saya cek dengan menelpon adik saya, dia bilang sudah disampaikan ke istri Iwan," kata Hamzah.

Terkait dengan pernyataan tersebut, Khaerudin yang berperan sebagai penerima titipan surat penangkapan dan penahanan Iwan dari Hamzah tersebut turut memberikan kesaksiannya ke hadapan hak tunggal.

Kepada hakim, Khaerudin mengaku tidak melihat ada surat dalam tas milik Iwan titipan Hamzah tersebut. Namun dia memastikan bahwa tas itu sudah tersampaikan ke istrinya Iwan.

"Saya sendiri yang berikan tas itu ke istrinya Iwan. Tetapi tidak lihat ada surat didalamnya," ujar Khaerudin yang turut mengaku bahwa saat istrinya Iwan menerima tas suaminya itu tidak langsung memeriksa isinya.

Dalam kasus ini, Iwan sebagai pihak pemohon pada materi permohonan praperadilannya meminta hakim agar menyatakan surat perintah penyidikan (sprindik) Nomor: SP.Sidik./09/X/PPNS-Dis-LHK/2021 tertanggal 4 Oktober 2021, yang dikeluarkan termohon tidak sah dan tidak berdasarkan hukum yang tepat atau cacat hukum.

Begitu juga dengan terbitnya secara bersamaan, surat perintah penangkapan dan penahanan Iwan yang diterbitkan PPNS DLHK NTB, serta penyitaan barang bukti kasusnya berupa 18 meter kubik kayu jenis sonokeling bentuk olahan balok berbagai ukuran dengan jumlah 693 batang.

Dengan materi permohonan demikian, pemohon mengklaim bahwa penanganan kasus yang menetapkan Iwan sebagai tersangka tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Karena itu, pemohon meminta hakim memberikan keputusan dengan memerintahkan agar termohon membebaskan Iwan dari tempat penahanannya dan menghentikan penyidikan serta memulihkan hak Iwan sebagai warga negara yang bebas dari tuntutn hukum.

Kasus ini merupakan hasil tangkapan tim gabungan Balai KPH Rinjani Timur bersama Personel TNI dari Kodim 1615/Lombok Timur pada Jumat (17/9) pagi, di Jalan Raya Labuhan Lombok, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur.

Dalam giatnya, tim gabungan yang beraksi dengan dasar pelaksanaan Instruksi Gubernur NTB Nomor: 188.4.5-75/kum tahun 2020 tentang Moratorium Penebangan dan Peredaran Hasil Hutan Kayu di Wilayah NTB itu telah diamankan truk bernomor polisi P 8093 UR bermuatan kayu yang diduga tidak dilengkapi dokumen yang sah.

Dari bukti yang diperoleh PPNS, truk tersebut telah dibekali dengan nota angkutan asal Sumbawa dengan tujuan Pasuruan, Jawa Timur.

Namun dari hasil pemeriksaannya, PPNS DLHK NTB kemudian menetapkan proses pengangkutan kayu tersebut tidak sesuai dengan syarat sah serta melanggar Instruksi Gubernur NTB Nomor: 188.4.5-75/kum tahun 2020 yang berlaku sejak 18 Desember 2020.

Karenanya, Iwan sebagai pemilik kayu ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan pidana dalam Undang-Undang RI Nomor 18/2013 tentang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan atau Undang-Undang RI Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Pewarta : Dhimas Budi Pratama
Editor : Riza Fahriza
Copyright © ANTARA 2024