Mataram (ANTARA) - Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Nusa Tenggara Timur (NTB) menilai penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di sejumlah tempat di NTB sangat rawan terjadi pelanggaran dan perbuatan malaadministrasi.
"Hal ini terjadi karena sejumlah ketentuan penyaluran BPNT dilanggar, dan bahkan ada unsur manipulasi proses penyaluran," kata Kepala Ombudsman Perwakilan NTB Adhar Hakim, di Mataram, Kamis.
Ia menyampaikan, Ombudsman Perwakilan NTB telah melakukan investigasi lapangan dan pemeriksaan tertutup kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM), pengelola e-Warong dan Dinas Sosial di sejumlah kabupaten. Pihaknya mendapatkan informasi dan keluhan dari masyarakat penerima bansos yang tercatat dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
Adapun keluhan masyarakat antara lain buruknya kualitas pangan yang diterima, serta kuantitas barang yang kurang dan tidak sesuai ketentuan. Selain itu, juga terjadi praktik pemaksaan pola pembagian dengan memaketkan bantuan dengan penentuan jumlah total bantuan sepihak.
Berdasarkan Pedoman Umum Program Sembako dan Permensos Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyaluran BPNT, menyebutkan KPM dalam transaksi perbelanjaan di e-Warong dapat memilih pangan yang telah ditentukan sesuai kebutuhan.
Selain itu, dalam Pedoman Umum Program Sembako menyebutkan e-Warong tidak boleh memaketkan bahan pangan, yaitu menjual bahan pangan dengan jenis dan dalam jumlah yang ditentukan sepihak oleh e-Warong atau pihak lain, sehingga KPM tidak mempunyai pilihan.
Namun di sejumlah tempat terlihat praktik pangan yang dibeli oleh KPM sudah dipaketkan, bahkan e-Warong sudah menerima paket pangan dari pemasok dalam bentuk paket.
"Bantuan telah dipaketkan dengan isi berupa beras 10 kg kacang-kacangan, daging, telur, dan buah yang dihargai Rp200.000. Padahal ketentuannya, masyarakat berhak memilih sesuai kebutuhan. Akibatnya masyarakat tidak bebas memilih jenis dan jumlahnya sesuai dengan kebutuhan," ujarnya pula.
Hasil pemeriksaan lapangan juga menemukan profil e-Warong yang tidak sesuai pedoman umum. Banyak e-Warong yang tidak menjual bahan pangan sebagai salah satu syarat pendirian e-Warong, misalnya tempat menjual pulsa, tempat menjual rokok elektrik di mana mereka hanya mendatangkan bahan pangan sudah dipaketkan dari pemasok saat Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) terbit, sehingga kompetensinya dalam pengetahuan kualitas bahan pangan tidak ada.
Padahal baik Permensos Nomor 20 Tahun 2019 maupun Pedoman Umum Program Sembako menyebutkan e-Warong adalah agen bank, pedagang dan atau pihak lain yang telah bekerja sama dengan bank penyalur dan ditentukan sebagai tempat penarikan atau pembelian bantuan sosial oleh penerima bantuan sosial bersama bank penyalur.
"Cara dan praktik seperti itu selain bertentangan dengan ketentuan yang ada dan berpotensi terjadinya malaadministrasi dan korupsi, tidak akan membantu niat pemerintah menyalurkan bantuan secara baik dan tidak dapat mendorong pertumbuhan usaha mikro kecil seperti yang diniatkan melalui pola penyaluran. Sejumlah e-Warong tidak sesuai standar dan persyaratan. Sehingga perlu dipertanyakan seperti apa bank penyalur dalam menetapkan, membina, mengawasi dan melakukan evaluasi terhadap e-Warong," kata Adhar Hakim.
Oleh karena itu, berdasarkan sejumlah temuan lapangan, Ombudsman NTB juga melihat indikasi adanya praktik yang mengarahkan bahkan mengatur e-Warong agar bekerja sama dengan pemasok tertentu, bahkan berperan aktif meminta e-Warong menandatangani perjanjian kerja sama dengan pemasok yang isi perjanjiannya sudah ditentukan sepihak. Jika ada penolakan oknum pendamping tersebut terkesan mengancam.
Hal itu dinilai melanggar Permensos Nomor 20 Tahun 2019 tentang BPNT, menyebutkan tugas dari Pendamping Sosial Bantuan Sosial Kecamatan adalah mendampingi KPM BPNT selama proses registrasi, aktivasi rekening, dan dapat mendampingi KPM BPNT dalam pembelanjaan dana program penyaluran BPNT, melengkapi data KPM BPNT untuk melakukan penggantian KPM BPNT, membuat jadwal distribusi KKS, menyusun laporan penyaluran BPNT, melakukan sosialisasi kepada KPM BPNT, dan melakukan pemantauan pelaksanaan program penyaluran BPNT.
Dalam ketentuan tersebut tidak ada menyebutkan tugas pendamping memfasilitasi, mengarahkan dan mengatur e-Warong untuk kerja sama dengan pemasok tertentu. Sehingga hal tersebut melampaui apa yang menjadi tugas serta menyalahgunakan kewenangannya.
Justru dalam Pedoman Umum Bantuan Sembako membebaskan e-Warong dalam membeli pasokan bahan pangan dari berbagai sumber dengan memperhatikan tersedianya pasokan bahan pangan bagi KPM secara berkelanjutan serta pada kualitas dan harga yang kompetitif bagi KPM.
Untuk itu, Ombudsman Perwakilan NTB meminta setiap kepala daerah dan Dinas Sosial yang tengah menjalankan program BPNT segera melakukan evaluasi dan melakukan pengawasan secara ketat, agar program bansos dapat dilaksanakan sesuai ketentuan dan mencegah praktik malaadministrasi dan korupsi.
"Ombudsman Perwakilan NTB mengimbau kepala daerah dan organisasi perangkat daerah (OPD) terkait segera memperbaiki proses penyaluran dan melakukan pengawasan, pendampingan dan evaluasi lebih ketat agar penyaluran BPNT sesuai dengan yang ditargetkan pemerintah," katanya lagi.
"Hal ini terjadi karena sejumlah ketentuan penyaluran BPNT dilanggar, dan bahkan ada unsur manipulasi proses penyaluran," kata Kepala Ombudsman Perwakilan NTB Adhar Hakim, di Mataram, Kamis.
Ia menyampaikan, Ombudsman Perwakilan NTB telah melakukan investigasi lapangan dan pemeriksaan tertutup kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM), pengelola e-Warong dan Dinas Sosial di sejumlah kabupaten. Pihaknya mendapatkan informasi dan keluhan dari masyarakat penerima bansos yang tercatat dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
Adapun keluhan masyarakat antara lain buruknya kualitas pangan yang diterima, serta kuantitas barang yang kurang dan tidak sesuai ketentuan. Selain itu, juga terjadi praktik pemaksaan pola pembagian dengan memaketkan bantuan dengan penentuan jumlah total bantuan sepihak.
Berdasarkan Pedoman Umum Program Sembako dan Permensos Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyaluran BPNT, menyebutkan KPM dalam transaksi perbelanjaan di e-Warong dapat memilih pangan yang telah ditentukan sesuai kebutuhan.
Selain itu, dalam Pedoman Umum Program Sembako menyebutkan e-Warong tidak boleh memaketkan bahan pangan, yaitu menjual bahan pangan dengan jenis dan dalam jumlah yang ditentukan sepihak oleh e-Warong atau pihak lain, sehingga KPM tidak mempunyai pilihan.
Namun di sejumlah tempat terlihat praktik pangan yang dibeli oleh KPM sudah dipaketkan, bahkan e-Warong sudah menerima paket pangan dari pemasok dalam bentuk paket.
"Bantuan telah dipaketkan dengan isi berupa beras 10 kg kacang-kacangan, daging, telur, dan buah yang dihargai Rp200.000. Padahal ketentuannya, masyarakat berhak memilih sesuai kebutuhan. Akibatnya masyarakat tidak bebas memilih jenis dan jumlahnya sesuai dengan kebutuhan," ujarnya pula.
Hasil pemeriksaan lapangan juga menemukan profil e-Warong yang tidak sesuai pedoman umum. Banyak e-Warong yang tidak menjual bahan pangan sebagai salah satu syarat pendirian e-Warong, misalnya tempat menjual pulsa, tempat menjual rokok elektrik di mana mereka hanya mendatangkan bahan pangan sudah dipaketkan dari pemasok saat Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) terbit, sehingga kompetensinya dalam pengetahuan kualitas bahan pangan tidak ada.
Padahal baik Permensos Nomor 20 Tahun 2019 maupun Pedoman Umum Program Sembako menyebutkan e-Warong adalah agen bank, pedagang dan atau pihak lain yang telah bekerja sama dengan bank penyalur dan ditentukan sebagai tempat penarikan atau pembelian bantuan sosial oleh penerima bantuan sosial bersama bank penyalur.
"Cara dan praktik seperti itu selain bertentangan dengan ketentuan yang ada dan berpotensi terjadinya malaadministrasi dan korupsi, tidak akan membantu niat pemerintah menyalurkan bantuan secara baik dan tidak dapat mendorong pertumbuhan usaha mikro kecil seperti yang diniatkan melalui pola penyaluran. Sejumlah e-Warong tidak sesuai standar dan persyaratan. Sehingga perlu dipertanyakan seperti apa bank penyalur dalam menetapkan, membina, mengawasi dan melakukan evaluasi terhadap e-Warong," kata Adhar Hakim.
Oleh karena itu, berdasarkan sejumlah temuan lapangan, Ombudsman NTB juga melihat indikasi adanya praktik yang mengarahkan bahkan mengatur e-Warong agar bekerja sama dengan pemasok tertentu, bahkan berperan aktif meminta e-Warong menandatangani perjanjian kerja sama dengan pemasok yang isi perjanjiannya sudah ditentukan sepihak. Jika ada penolakan oknum pendamping tersebut terkesan mengancam.
Hal itu dinilai melanggar Permensos Nomor 20 Tahun 2019 tentang BPNT, menyebutkan tugas dari Pendamping Sosial Bantuan Sosial Kecamatan adalah mendampingi KPM BPNT selama proses registrasi, aktivasi rekening, dan dapat mendampingi KPM BPNT dalam pembelanjaan dana program penyaluran BPNT, melengkapi data KPM BPNT untuk melakukan penggantian KPM BPNT, membuat jadwal distribusi KKS, menyusun laporan penyaluran BPNT, melakukan sosialisasi kepada KPM BPNT, dan melakukan pemantauan pelaksanaan program penyaluran BPNT.
Dalam ketentuan tersebut tidak ada menyebutkan tugas pendamping memfasilitasi, mengarahkan dan mengatur e-Warong untuk kerja sama dengan pemasok tertentu. Sehingga hal tersebut melampaui apa yang menjadi tugas serta menyalahgunakan kewenangannya.
Justru dalam Pedoman Umum Bantuan Sembako membebaskan e-Warong dalam membeli pasokan bahan pangan dari berbagai sumber dengan memperhatikan tersedianya pasokan bahan pangan bagi KPM secara berkelanjutan serta pada kualitas dan harga yang kompetitif bagi KPM.
Untuk itu, Ombudsman Perwakilan NTB meminta setiap kepala daerah dan Dinas Sosial yang tengah menjalankan program BPNT segera melakukan evaluasi dan melakukan pengawasan secara ketat, agar program bansos dapat dilaksanakan sesuai ketentuan dan mencegah praktik malaadministrasi dan korupsi.
"Ombudsman Perwakilan NTB mengimbau kepala daerah dan organisasi perangkat daerah (OPD) terkait segera memperbaiki proses penyaluran dan melakukan pengawasan, pendampingan dan evaluasi lebih ketat agar penyaluran BPNT sesuai dengan yang ditargetkan pemerintah," katanya lagi.