Mataram (ANTARA) - Penyidikan kasus dugaan korupsi pada biaya pengganti pengolahan darah Unit Transfusi Darah (UTD) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Praya, Nusa Tenggara Barat, masih berkutat pada proses pemeriksaan dokumen.
Kepala Kejari Lombok Tengah Fadil Regan yang ditemui di Mataram, Selasa, mengatakan, dokumen tersebut berasal dari hasil penggeledahan sejumlah ruang pejabat RSUD Praya.
"Karena itu dokumen banyak sekali, bayangkan periode empat tahun dugaannya (korupsi) muncul, dari 2017 sampai 2020, jadi banyak dokumen yang harus kita pilah-pilah dahulu," kata Fadil.
Pemeriksaan dokumen tersebut juga dipastikannya bersamaan dengan klarifikasi para saksi, terutama kepada para pejabat yang berada di kalangan RSUD Praya.
"Iya kita klarifikasi para saksi, mintai keterangan, dan menyinkronkan dengan dokumen yang ada," ujar dia.
Namun pada intinya, lanjut Fadil, rangkaian penyidikan ini bertujuan untuk mengungkap peran tersangka. Karena itu, penguatan alat bukti masih menjadi fokus penyidik.
Bahkan upaya penyidik menguatkan alat bukti penetapan tersangka, penyidik terus berkoordinasi dengan ahli penghitungan kerugian negara. Tentu, kata dia, hal itu bertujuan untuk menelisik potensi kerugian.
"Jadi soal itu (kerugian negara) belum ada (permintaan). Sifatnya saat ini masih koordinasi terus. Bagaimana nantinya, siapa kita minta (hitung kerugian negara), kita lihat ke depan," ucapnya.
Munculnya kasus ini berawal dari adanya dugaan pembayaran biaya pengganti pengolahan darah UTD RSUD Praya senilai Rp2,7 miliar.
Kasus ini diselidiki kejaksaan sejak awal tahun 2021 berdasarkan adanya laporan dugaan bahwa biaya pengganti pengolahan darah tidak dibayarkan sejak tahun 2017.
Dalam aturannya, biaya pengganti pengolahan darah untuk satu kantongnya sebesar Rp275 ribu. Sejak tahun 2017, RSUD Praya sekurangnya telah menyalurkan sebanyak 10.250 kantong darah.
Kepala Kejari Lombok Tengah Fadil Regan yang ditemui di Mataram, Selasa, mengatakan, dokumen tersebut berasal dari hasil penggeledahan sejumlah ruang pejabat RSUD Praya.
"Karena itu dokumen banyak sekali, bayangkan periode empat tahun dugaannya (korupsi) muncul, dari 2017 sampai 2020, jadi banyak dokumen yang harus kita pilah-pilah dahulu," kata Fadil.
Pemeriksaan dokumen tersebut juga dipastikannya bersamaan dengan klarifikasi para saksi, terutama kepada para pejabat yang berada di kalangan RSUD Praya.
"Iya kita klarifikasi para saksi, mintai keterangan, dan menyinkronkan dengan dokumen yang ada," ujar dia.
Namun pada intinya, lanjut Fadil, rangkaian penyidikan ini bertujuan untuk mengungkap peran tersangka. Karena itu, penguatan alat bukti masih menjadi fokus penyidik.
Bahkan upaya penyidik menguatkan alat bukti penetapan tersangka, penyidik terus berkoordinasi dengan ahli penghitungan kerugian negara. Tentu, kata dia, hal itu bertujuan untuk menelisik potensi kerugian.
"Jadi soal itu (kerugian negara) belum ada (permintaan). Sifatnya saat ini masih koordinasi terus. Bagaimana nantinya, siapa kita minta (hitung kerugian negara), kita lihat ke depan," ucapnya.
Munculnya kasus ini berawal dari adanya dugaan pembayaran biaya pengganti pengolahan darah UTD RSUD Praya senilai Rp2,7 miliar.
Kasus ini diselidiki kejaksaan sejak awal tahun 2021 berdasarkan adanya laporan dugaan bahwa biaya pengganti pengolahan darah tidak dibayarkan sejak tahun 2017.
Dalam aturannya, biaya pengganti pengolahan darah untuk satu kantongnya sebesar Rp275 ribu. Sejak tahun 2017, RSUD Praya sekurangnya telah menyalurkan sebanyak 10.250 kantong darah.