Mataram (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berharap angka prevalensi stunting di Nusa Tenggara Barat pada 2024 mendatang bisa mencapai 17,98 persen.
Inspektur Utama BKKBN Ari Dwikora Tono mengatakan NTB sendiri merupakan salah satu dari 12 provinsi prioritas yang memiliki prevalensi stunting tertinggi secara nasional. Data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, separuh wilayah NTB berstatus memiliki prevalensi stunting di atas 30 persen.
"Pemerintah di tahun 2024 menargetkan angka stunting bisa mencapai 14 persen dan NTB diharapkan bisa mencapai 17,98 persen," ujarnya pada kegiatan sosialisasi Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia di Mataram, Rabu.
Ia menjelaskan, dari 10 kabupaten dan kota di NTB, Kabupaten Lombok Timur menjadi daerah penyumbang terbesar. Karena memiliki prevalensi stunting 37,6 persen. Kemudian, di ikuti Lombok Utara, Lombok Tengah, Bima dan Dompu dengan prevalensi stuntingnya di atas 30 persen.
Sementara, lima kabupaten dan kota yang berstatus dengan prevalensi 20 hingga 30 persen, diurut dari prevalensi tertinggi hingga terendah mencakup Sumbawa, Lombok Barat, Kota Mataram, Kota Bima dan Sumbawa Barat. Sementara, Sumbawa dengan prevalensi terendah, yakni 29,7 persen.
"Hanya Sumbawa Barat yang memiliki angka prevalensi terendah dari seluruh wilayah di NTB dengan prevalensi 29,7 persen," terang Ari.
Ari menegaskan, agar sesuai dengan target nasional penurunan angka stunting 14 persen, maka laju penurunan stunting per tahun haruslah di kisaran 3,4 persen. Dengan melihat kondisi aktual yang terjadi saat ini, pihaknya meminta komitmen Pemprov NTB di tahun 2024, tidak ada kabupaten dan kota di wilayah NTB yang masih prevalensi stunting di atas 30 persen.
Data SSGI 2021 menyebutkan prevalensi stunting rata-rata di NTB di angka 31,4 persen. Target di akhir 2022 adalah bisa mencapai 26,85 persen. Sedangkan di 2023 bisa menurun lagi menjadi 22,42 persen, sehingga di tahun 2024 bisa menuju angka prevalensi stunting di 17,98 persen.
"Jika hal ini tercapai maka NTB bisa memberikan kontribusi yang maksimal dalam penurunan angka stunting nasional," tegas Ari.
Menurut Ari, stunting merupakan sebuah kondisi gagal pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu lama, infeksi berulang dan stimulasi psikososial yang tidak memadai terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan.
Stunting ditandai dengan pertumbuhan yang tidak optimal sesuai dengan usianya dan biasanya pendek, walaupun pendek belum tentu stunting serta gangguan kecerdasan.
Dengan ancaman kesehatan dan kecerdasan, maka generasi yang terkena stunting akan mengalami berbagai permasalahan dalam menghadapi tantangan kehidupan yang semakin beragam ke depannya. Oleh sebab itu, persoalan stunting adalah persoalan bersama dan musuh bersama.
"Pemerintah tidak akan berhasil mengakselarasikan penurunan stunting jika tidak didukung oleh peran serta semua komponen masyarakat. Peran tokoh agama, tokoh masyarakat, dan generasi milenial justru menjadi kunci pelibatan secara masif," katanya.
Sebelumnya, Gubernur NTB, Zulkieflimansyah mengatakan meski angka prevalensi stunting di wilayah itu cukup tinggi diatas 30 persen. Pihaknya sudah menempatkan empat strategi penanganan untuk menurunkan angka stunting secara terintegrasi.
"Ada empat strategi dan sejumlah program aksi penanganan stunting di NTB, yakni melalui peningkatan SDM, peningkatan kualitas pemberian makan bayi dan anak, peningkatan edukasi gizi dan penguatan intervensi gizi di puskesmas dan posyandu," ujarnya.
Inspektur Utama BKKBN Ari Dwikora Tono mengatakan NTB sendiri merupakan salah satu dari 12 provinsi prioritas yang memiliki prevalensi stunting tertinggi secara nasional. Data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, separuh wilayah NTB berstatus memiliki prevalensi stunting di atas 30 persen.
"Pemerintah di tahun 2024 menargetkan angka stunting bisa mencapai 14 persen dan NTB diharapkan bisa mencapai 17,98 persen," ujarnya pada kegiatan sosialisasi Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia di Mataram, Rabu.
Ia menjelaskan, dari 10 kabupaten dan kota di NTB, Kabupaten Lombok Timur menjadi daerah penyumbang terbesar. Karena memiliki prevalensi stunting 37,6 persen. Kemudian, di ikuti Lombok Utara, Lombok Tengah, Bima dan Dompu dengan prevalensi stuntingnya di atas 30 persen.
Sementara, lima kabupaten dan kota yang berstatus dengan prevalensi 20 hingga 30 persen, diurut dari prevalensi tertinggi hingga terendah mencakup Sumbawa, Lombok Barat, Kota Mataram, Kota Bima dan Sumbawa Barat. Sementara, Sumbawa dengan prevalensi terendah, yakni 29,7 persen.
"Hanya Sumbawa Barat yang memiliki angka prevalensi terendah dari seluruh wilayah di NTB dengan prevalensi 29,7 persen," terang Ari.
Ari menegaskan, agar sesuai dengan target nasional penurunan angka stunting 14 persen, maka laju penurunan stunting per tahun haruslah di kisaran 3,4 persen. Dengan melihat kondisi aktual yang terjadi saat ini, pihaknya meminta komitmen Pemprov NTB di tahun 2024, tidak ada kabupaten dan kota di wilayah NTB yang masih prevalensi stunting di atas 30 persen.
Data SSGI 2021 menyebutkan prevalensi stunting rata-rata di NTB di angka 31,4 persen. Target di akhir 2022 adalah bisa mencapai 26,85 persen. Sedangkan di 2023 bisa menurun lagi menjadi 22,42 persen, sehingga di tahun 2024 bisa menuju angka prevalensi stunting di 17,98 persen.
"Jika hal ini tercapai maka NTB bisa memberikan kontribusi yang maksimal dalam penurunan angka stunting nasional," tegas Ari.
Menurut Ari, stunting merupakan sebuah kondisi gagal pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu lama, infeksi berulang dan stimulasi psikososial yang tidak memadai terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan.
Stunting ditandai dengan pertumbuhan yang tidak optimal sesuai dengan usianya dan biasanya pendek, walaupun pendek belum tentu stunting serta gangguan kecerdasan.
Dengan ancaman kesehatan dan kecerdasan, maka generasi yang terkena stunting akan mengalami berbagai permasalahan dalam menghadapi tantangan kehidupan yang semakin beragam ke depannya. Oleh sebab itu, persoalan stunting adalah persoalan bersama dan musuh bersama.
"Pemerintah tidak akan berhasil mengakselarasikan penurunan stunting jika tidak didukung oleh peran serta semua komponen masyarakat. Peran tokoh agama, tokoh masyarakat, dan generasi milenial justru menjadi kunci pelibatan secara masif," katanya.
Sebelumnya, Gubernur NTB, Zulkieflimansyah mengatakan meski angka prevalensi stunting di wilayah itu cukup tinggi diatas 30 persen. Pihaknya sudah menempatkan empat strategi penanganan untuk menurunkan angka stunting secara terintegrasi.
"Ada empat strategi dan sejumlah program aksi penanganan stunting di NTB, yakni melalui peningkatan SDM, peningkatan kualitas pemberian makan bayi dan anak, peningkatan edukasi gizi dan penguatan intervensi gizi di puskesmas dan posyandu," ujarnya.