Mataram (ANTARA) - "Hidup Telah Aku Tasbihkan Pada Sang Pemberi Kehidupan...merupakan sepenggal puisi karya sastrawan Umbu Landu Paranggi yang dikenal sebagai "Sang Presiden Malioboro".
Malioboro, adalah kawasan jalan yang sangat dikenal masyarakat di Indonesia, yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Umbu Landu Paranggi bisa dikatakan lebih memilih jalan semesta dan kehidupan dengan dunia sudah selesai. Dia memilih hidup di jalan pedang.
Jalan pedang diksi istiqamahnya pada pilihan hidup sebagai penyair. Penyair yang tidak ingin namanya tercatat dalam buku karya sastra yang akan meninggalkan jejak sejarah.
Dia lebih memilih hidup sunyi bahkan menjelang sang malaikat maut menjemputnya pada 6 April 2021 di Bali. Dia sendirian tanpa sanak saudara yang berjarak di seberang lautan yakni, yakni, Sumba Timur, di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Jalan semesta yang dipilihnya merupakan wujud kekonsekuenan atas sebuah pilihan. Seperti diketahui sebagai insan di dunia kita harus memilih "ya" atau "tidak". Pertanyaannya apakah kita bersikap netral, jawabannya adalah "tidak brother".
Hal demikian terungkap dengan testimoni orang yang pernah bersentuhan dengan Umbu Landu Paranggi, yakni Sabarudin alias Bang Abenk dan Ida Bagus Sindu Putra, pegiat seni dan sastra yang tinggal di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat dalam acara " Tribute to Umbu Landu Paranggi" di Halaman Belakang ANTARA NTB, Jumat (1/4) 2022.
Dalam acara itu terungkap keunikan Umbu Landu Paranggi dari sisi "gombal semesta" sampai tradisi dan humanis. Semuanya lengkap. Bumbu sosok Umbu berbeda-beda pandangan bagi orang yang pernah bersentuhan.
"Kalau berbicara Umbu, setiap orang akan berbeda-beda ceritanya. Seolah-olah tak ada habisnya. Itulah uniknya," kata Abenk, pegiat seni dan sastra yang pernah merasakan gemblengan Umbu saat masih kuliah di Universitas Udayana.
Abeng menyebutkan puisi karya Umbu itu hanya berbentuk secarik kertas yang diberikan dan dipaksa untuk menghapal. Tulisannya berupa tulisan tangan yang indah dengan huruf sambung.
Seusai itu, kertas yang diberikan langsung dirobeknya. Menyisakan hapalan larik atau bait puisi di dalam benak Bang Abenk. "Itu uniknya, " katanya menegaskan.
Sehingga tidak salah, dirinya pernah mendengar cerita saat seluruh karya puisi Umbu Landu Paranggi hendak akan diterbitkan di majalah sastra "Horison", lalu "diculik" kembali sebelum dicetak.
Ia juga menceritakan dirinya pernah didatangi Umbu Landu Paranggi yang mendapatkan informasi rekan sesama berkegiatan seni dan sastra, Sapardi Djoko Damono tengah berada di Bali.
"Abeng, benar ada Sapardi Djoko Damono. Kenapa kau tidak beritahu aku. Sekarang antarkan aku ke sana, " kata Abenk mengutip omongan Umbu Landu Paranggi.
Dia pun mengantarkan mengendarai sepeda motor yang tidak boleh ngebut. "Jangan ngebut kau, " kata Umbu.
Abenk mengetahui jika Umbu pernah tertinggal saat terjatuh dari sepeda motor orang yang pernah memboncengnya hingga dia mungkin trauma.
"Eh sesampainya di hotel tempat menginap Sapardi, Umbu menyuruh saya pergi. 'Sudah kau pulang' bilang Umbu ke saya, " katanya.
Semula dirinya berharap bisa mendengar percakapan dua "dewa" sastra di Tanah Air saat itu. "Ya sudah, akhirnya saya pulang, " tambah Abenk.
Kesunyian
Soal kesunyian, Umbu Landu Paranggi itu punya tiga anak. Anak bungsunya tidak pernah bertemu dengan bapaknya, mungkin baru bertemu melihat jenazahnya saja.
Umbu Landu Paranggi meninggalkan Sumba tempat dia dilahirkan dan istri serta anak-anaknya tinggal. Dia menghabiskan masa tuanya sendirian di Bali.
Satu lagi, kata dia, Umbu selama tinggal di Bali hidupnya nomaden atau berpindah pindah. "Jadi setiap rumah rekan yang didatangi akan menyambutnya luar biasa. Bahkan ada yang menyiapkan kamar pribadi untuk Umbu, " katanya.
Pegiat seni dan Sastra Ida Bagus Sindu Putra, menyatakan selama berkarya di bidang seni, mengaku banyak terinspirasi oleh Umbu Landu Paranggi.
"Saya menyukai karya-karya beliau, saya juga banyak terinspirasi oleh kaya Umbu Landu Paranggi, saya telah menulis selama 20 tahun, dan 5 buku telah tercipta," katanya.
Tidak hanya terinspirasi, Sindu mengaku secara emosional ia dekat dengan penulis misterius tersebut, bahkan ia sering bertemu dan belajar kepada Umbu di Bali.
"Saya sering bertemu di Bali, ngobrol dan belajar," katanya.
Umbu Wulang Landu Paranggi adalah sastrawan Indonesia yang berasal dari Sumba, ia lahir di Sumba pada 10 Agustus 1943. Ia wafat pada 6 April 2021 silam, di usianya yang menginjak 77 tahun.
Hari tua Umbu Wulang Landu Paranggi dihabiskan di Pulau Dewata Bali untuk membimbing anak-anak muda yang ingin belajar sastra.
Meski dikenal misterius, Umbu Landu Paranggi banyak berjasa dalam membimbing seniman ternama seperti Emha "Cak Nun" Ainun Najib, Eko Tunas, Korrie layun Rampan, Linus Suryadi AG dan Ebiet G Ade.
Mengenal puisinya
Hingga kini, karya puisi Umbu Landu Paranggi, masih banyak dibawakan oleh seniman-seniman di Indonesia. Tiga karyanya yang terkenal, yakni,
1. Apa Ada Angin di Jakarta
Apa ada angin di Jakarta
Seperti dilepas desa Melati
Apa cintaku bisa lagi cari
Akar bukit Wonosari
Yang diam di dasar jiwaku
Terlontar jauh ke sudut kota
Kenangkanlah jua yang celaka
Orang usiran kota raya
Pulanglah ke desa
Membangun esok hari
Kembali ke huma berhati
2. Doa
sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku
risau sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku
risau sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku
risau sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku
risau risau nyawaku bagi kau bekerjalah sunyi
risau nyawaku bagi kau bekerjalah sunyi
risau nyawaku bagi kau bekerjalah sunyi
risau nyawaku bagi kau bekerjalah sunyi
Kauku
3. Ibunda Tercinta
Ibunda Tercinta
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
duka derita dan senyum yang abadi
tertulis dan terbaca jelas kata-kata puisi
dari ujung rambut sampai telapak kakinya
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
korban, terima kasih, restu dan ampunan
dengan tulus setia telah melahirkan berpuluh lakon, nasib dan sejarah manusia
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
cinta kasih sayang, tiga patah kata purba di atas pundaknya
setiap anak tegak berdiri menjangkau bintang-bintang dengan hatinya dan janjinya
Baca juga: Kenang sastrawan Umbu Landu Paranggi, ANTARA NTB gelar diskusi
Baca juga: Sindu sang sastrawan yang berprofesi dokter hewan
Malioboro, adalah kawasan jalan yang sangat dikenal masyarakat di Indonesia, yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Umbu Landu Paranggi bisa dikatakan lebih memilih jalan semesta dan kehidupan dengan dunia sudah selesai. Dia memilih hidup di jalan pedang.
Jalan pedang diksi istiqamahnya pada pilihan hidup sebagai penyair. Penyair yang tidak ingin namanya tercatat dalam buku karya sastra yang akan meninggalkan jejak sejarah.
Dia lebih memilih hidup sunyi bahkan menjelang sang malaikat maut menjemputnya pada 6 April 2021 di Bali. Dia sendirian tanpa sanak saudara yang berjarak di seberang lautan yakni, yakni, Sumba Timur, di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Jalan semesta yang dipilihnya merupakan wujud kekonsekuenan atas sebuah pilihan. Seperti diketahui sebagai insan di dunia kita harus memilih "ya" atau "tidak". Pertanyaannya apakah kita bersikap netral, jawabannya adalah "tidak brother".
Hal demikian terungkap dengan testimoni orang yang pernah bersentuhan dengan Umbu Landu Paranggi, yakni Sabarudin alias Bang Abenk dan Ida Bagus Sindu Putra, pegiat seni dan sastra yang tinggal di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat dalam acara " Tribute to Umbu Landu Paranggi" di Halaman Belakang ANTARA NTB, Jumat (1/4) 2022.
Dalam acara itu terungkap keunikan Umbu Landu Paranggi dari sisi "gombal semesta" sampai tradisi dan humanis. Semuanya lengkap. Bumbu sosok Umbu berbeda-beda pandangan bagi orang yang pernah bersentuhan.
"Kalau berbicara Umbu, setiap orang akan berbeda-beda ceritanya. Seolah-olah tak ada habisnya. Itulah uniknya," kata Abenk, pegiat seni dan sastra yang pernah merasakan gemblengan Umbu saat masih kuliah di Universitas Udayana.
Abeng menyebutkan puisi karya Umbu itu hanya berbentuk secarik kertas yang diberikan dan dipaksa untuk menghapal. Tulisannya berupa tulisan tangan yang indah dengan huruf sambung.
Seusai itu, kertas yang diberikan langsung dirobeknya. Menyisakan hapalan larik atau bait puisi di dalam benak Bang Abenk. "Itu uniknya, " katanya menegaskan.
Sehingga tidak salah, dirinya pernah mendengar cerita saat seluruh karya puisi Umbu Landu Paranggi hendak akan diterbitkan di majalah sastra "Horison", lalu "diculik" kembali sebelum dicetak.
Ia juga menceritakan dirinya pernah didatangi Umbu Landu Paranggi yang mendapatkan informasi rekan sesama berkegiatan seni dan sastra, Sapardi Djoko Damono tengah berada di Bali.
"Abeng, benar ada Sapardi Djoko Damono. Kenapa kau tidak beritahu aku. Sekarang antarkan aku ke sana, " kata Abenk mengutip omongan Umbu Landu Paranggi.
Dia pun mengantarkan mengendarai sepeda motor yang tidak boleh ngebut. "Jangan ngebut kau, " kata Umbu.
Abenk mengetahui jika Umbu pernah tertinggal saat terjatuh dari sepeda motor orang yang pernah memboncengnya hingga dia mungkin trauma.
"Eh sesampainya di hotel tempat menginap Sapardi, Umbu menyuruh saya pergi. 'Sudah kau pulang' bilang Umbu ke saya, " katanya.
Semula dirinya berharap bisa mendengar percakapan dua "dewa" sastra di Tanah Air saat itu. "Ya sudah, akhirnya saya pulang, " tambah Abenk.
Mengenang Umbu Landu Paranggi
Kesunyian
Soal kesunyian, Umbu Landu Paranggi itu punya tiga anak. Anak bungsunya tidak pernah bertemu dengan bapaknya, mungkin baru bertemu melihat jenazahnya saja.
Umbu Landu Paranggi meninggalkan Sumba tempat dia dilahirkan dan istri serta anak-anaknya tinggal. Dia menghabiskan masa tuanya sendirian di Bali.
Satu lagi, kata dia, Umbu selama tinggal di Bali hidupnya nomaden atau berpindah pindah. "Jadi setiap rumah rekan yang didatangi akan menyambutnya luar biasa. Bahkan ada yang menyiapkan kamar pribadi untuk Umbu, " katanya.
Pegiat seni dan Sastra Ida Bagus Sindu Putra, menyatakan selama berkarya di bidang seni, mengaku banyak terinspirasi oleh Umbu Landu Paranggi.
"Saya menyukai karya-karya beliau, saya juga banyak terinspirasi oleh kaya Umbu Landu Paranggi, saya telah menulis selama 20 tahun, dan 5 buku telah tercipta," katanya.
Tidak hanya terinspirasi, Sindu mengaku secara emosional ia dekat dengan penulis misterius tersebut, bahkan ia sering bertemu dan belajar kepada Umbu di Bali.
"Saya sering bertemu di Bali, ngobrol dan belajar," katanya.
Umbu Wulang Landu Paranggi adalah sastrawan Indonesia yang berasal dari Sumba, ia lahir di Sumba pada 10 Agustus 1943. Ia wafat pada 6 April 2021 silam, di usianya yang menginjak 77 tahun.
Hari tua Umbu Wulang Landu Paranggi dihabiskan di Pulau Dewata Bali untuk membimbing anak-anak muda yang ingin belajar sastra.
Meski dikenal misterius, Umbu Landu Paranggi banyak berjasa dalam membimbing seniman ternama seperti Emha "Cak Nun" Ainun Najib, Eko Tunas, Korrie layun Rampan, Linus Suryadi AG dan Ebiet G Ade.
Mengenal puisinya
Hingga kini, karya puisi Umbu Landu Paranggi, masih banyak dibawakan oleh seniman-seniman di Indonesia. Tiga karyanya yang terkenal, yakni,
1. Apa Ada Angin di Jakarta
Apa ada angin di Jakarta
Seperti dilepas desa Melati
Apa cintaku bisa lagi cari
Akar bukit Wonosari
Yang diam di dasar jiwaku
Terlontar jauh ke sudut kota
Kenangkanlah jua yang celaka
Orang usiran kota raya
Pulanglah ke desa
Membangun esok hari
Kembali ke huma berhati
2. Doa
sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku
risau sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku
risau sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku
risau sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku
risau risau nyawaku bagi kau bekerjalah sunyi
risau nyawaku bagi kau bekerjalah sunyi
risau nyawaku bagi kau bekerjalah sunyi
risau nyawaku bagi kau bekerjalah sunyi
Kauku
3. Ibunda Tercinta
Ibunda Tercinta
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
duka derita dan senyum yang abadi
tertulis dan terbaca jelas kata-kata puisi
dari ujung rambut sampai telapak kakinya
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
korban, terima kasih, restu dan ampunan
dengan tulus setia telah melahirkan berpuluh lakon, nasib dan sejarah manusia
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
cinta kasih sayang, tiga patah kata purba di atas pundaknya
setiap anak tegak berdiri menjangkau bintang-bintang dengan hatinya dan janjinya
Baca juga: Kenang sastrawan Umbu Landu Paranggi, ANTARA NTB gelar diskusi
Baca juga: Sindu sang sastrawan yang berprofesi dokter hewan