Mataram (ANTARA) - Berkas kasus dugaan korupsi proyek penambahan ruang operasi dan ICU pada Rumah Sakit Umum Daerah Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, dinyatakan lengkap oleh jaksa peneliti.
"Berkas yang sudah dinyatakan lengkap atau P-21 ini untuk empat tersangka kasus ICU RSUD Lombok Utara," kata Juru Bicara Kejati NTB Efirien Saputra di Mataram, Selasa.
Perihal adanya kabar tersebut, jaksa penyidik kini sedang menyiapkan untuk proses akhir di tahap penyidikan, yakni pelimpahan tersangka dan berkas ke jaksa penuntut umum.
"Jadi sekarang tahapan-nya menunggu penyerahan ke penuntut umum," ujarnya.
Tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek ini ada empat orang. Mereka berinisial SH, Mantan Direktur RSUD Lombok Utara sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA); EB, pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek; Direktur CV Cipta Pandu Utama berinisial DD, konsultan pengawas; dan DT, direktur perusahaan pelaksana proyek dari PT Apro Megatama, asal Makassar, Sulawesi Selatan.
Sejak ditetapkan sebagai tersangka, mereka hingga kini belum menjalani penahanan. Perihal itu, Efrien mengingatkan kembali bahwa untuk kewenangan penahanan sudah seutuhnya ada pada penyidik.
Proyek penambahan ruang operasi dan ICU ini terlaksana di tahun anggaran 2019. Proyek ini menelan dana APBD senilai Rp6,4 miliar.
Dugaan korupsinya muncul karena pengerjaan-nya molor hingga menimbulkan denda. Hal itu pun mengakibatkan adanya potensi kerugian negara Rp1,757 juta. Nilai tersebut muncul berdasarkan hasil audit Inspektorat Lombok Utara.
"Berkas yang sudah dinyatakan lengkap atau P-21 ini untuk empat tersangka kasus ICU RSUD Lombok Utara," kata Juru Bicara Kejati NTB Efirien Saputra di Mataram, Selasa.
Perihal adanya kabar tersebut, jaksa penyidik kini sedang menyiapkan untuk proses akhir di tahap penyidikan, yakni pelimpahan tersangka dan berkas ke jaksa penuntut umum.
"Jadi sekarang tahapan-nya menunggu penyerahan ke penuntut umum," ujarnya.
Tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek ini ada empat orang. Mereka berinisial SH, Mantan Direktur RSUD Lombok Utara sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA); EB, pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek; Direktur CV Cipta Pandu Utama berinisial DD, konsultan pengawas; dan DT, direktur perusahaan pelaksana proyek dari PT Apro Megatama, asal Makassar, Sulawesi Selatan.
Sejak ditetapkan sebagai tersangka, mereka hingga kini belum menjalani penahanan. Perihal itu, Efrien mengingatkan kembali bahwa untuk kewenangan penahanan sudah seutuhnya ada pada penyidik.
Proyek penambahan ruang operasi dan ICU ini terlaksana di tahun anggaran 2019. Proyek ini menelan dana APBD senilai Rp6,4 miliar.
Dugaan korupsinya muncul karena pengerjaan-nya molor hingga menimbulkan denda. Hal itu pun mengakibatkan adanya potensi kerugian negara Rp1,757 juta. Nilai tersebut muncul berdasarkan hasil audit Inspektorat Lombok Utara.