Badung, Bali (ANTARA) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mendorong komunitas internasional untuk bergotong-royong membangun Multihazard Early Warning System, atau sistem peringatan dini multibencana yang andal untuk menghadapi berbagai bencana alam dan perubahan iklim.
"Gotong-royong menjadi sebuah pilihan terbaik di tengah situasi global yang tidak menentu akibat pandemi COVID-19, sebab kesenjangan antar negara semakin menonjol, di mana masyarakat global dan pemerintah kewalahan dengan krisis ekonomi global dan nasional," ujar Dwikorita dalam keterangan tertulis diterima di Badung, Bali, Selasa.
Saat membuka acara Third Multi-Hazard Early Warning Conference (MHEWC-III) yang digelar di Bali, Senin (23/5), Dwikorita mengatakan ketahanan sosial ekonomi menjadi tantangan utama bagi banyak negara.
Dia juga menyampaikan Bank Dunia telah merilis tingkat kemiskinan meningkat tajam menjadi 8-9 persen karena pandemi. Angka tersebut jauh melampaui peningkatan angka kemiskinan akibat krisis moneter global pada tahun 1998 yang sekitar 1,3 persen.
Baca juga: BMKG mengimbau warga NTB waspadai gelombang tinggi
Dengan demikian, angka kemiskinan yang ada saat ini hampir 6 sampai 7 kali lebih tinggi dari angka kemiskinan akibat krisis moneter sebelumnya.
Dwikorita menyatakan tantangan tersebut semakin berat dan kompleks seiring dampak perubahan iklim yang juga semakin nyata dan dinamika lempeng tektonik planet bumi yang menunjukkan tren peningkatan keaktifan. Akibat perubahan iklim, peristiwa ekstrem semakin sering terjadi dengan intensitas yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama.
"Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) sendiri memproyeksikan bumi akan mengalami pemanasan jangka pendek hingga 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri lima tahun ke depan atau tahun 2026. Proyeksi tersebut memiliki peluang mencapai 50 persen," ujar dia.
Selai itu Dwikorita memaparkan berdasarkan laporan Katalog Komposit Sistem Seismik Nasional Lanjutan, terjadi peningkatan tren seismisitas secara global, yang juga dikuatkan dengan data historis BMKG.
"Hal ini benar-benar menjadi tantangan serius kita semua untuk mempercepat pencapaian Target G Kerangka Sendai, terutama untuk mempercepat pencapaian resiliency atau ketangguhan terhadap bencana melalui penerapan peringatan dini di level nasional dan lokal," kata dia.
Dalam kesempatan tersebut, Dwikorita juga menyoroti pentingnya kolaborasi dan sinergi serta mengedepankan kearifan lokal sebagai manifestasi resiliensi (ketangguhan) dalam upaya selamat dari bencana. Penerapan Peringatan Dini Multi Bencana merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan resiliensi tersebut.
Baca juga: BMKG: Dua hari ke depan wilayah NTB berpotensi diguyur hujan
Resiliensi atau ketangguhan menurutnya semakin kuat jika pengetahuan, budaya atau kearifan lokal dipadukan dengan teknologi yang tepat.
Dikatakannya, kearifan lokal dan pengetahuan tradisional yang diwariskan turun temurun memiliki dampak signifikan terhadap keberhasilan peringatan dini bencana alam. Begitu juga dengan peran-peran komunitas dan organisasi kemasyarakatan.
"Ini disebut hybrid socio-technical early warning system yang tidak hanya efektif, tetapi juga lebih berkelanjutan dalam penerapannya. Resiliensi kolaboratif seharusnya tidak hanya dikembangkan di level nasional saja, tetapi juga diimplementasikan untuk memperkuat kapasitas pemerintah lokal, dan pemimpin lokal atau adat, dan komunitas, berdasarkan pengetahuan dan kebijaksanaan mereka," ujar dia.*
"Gotong-royong menjadi sebuah pilihan terbaik di tengah situasi global yang tidak menentu akibat pandemi COVID-19, sebab kesenjangan antar negara semakin menonjol, di mana masyarakat global dan pemerintah kewalahan dengan krisis ekonomi global dan nasional," ujar Dwikorita dalam keterangan tertulis diterima di Badung, Bali, Selasa.
Saat membuka acara Third Multi-Hazard Early Warning Conference (MHEWC-III) yang digelar di Bali, Senin (23/5), Dwikorita mengatakan ketahanan sosial ekonomi menjadi tantangan utama bagi banyak negara.
Dia juga menyampaikan Bank Dunia telah merilis tingkat kemiskinan meningkat tajam menjadi 8-9 persen karena pandemi. Angka tersebut jauh melampaui peningkatan angka kemiskinan akibat krisis moneter global pada tahun 1998 yang sekitar 1,3 persen.
Baca juga: BMKG mengimbau warga NTB waspadai gelombang tinggi
Dengan demikian, angka kemiskinan yang ada saat ini hampir 6 sampai 7 kali lebih tinggi dari angka kemiskinan akibat krisis moneter sebelumnya.
Dwikorita menyatakan tantangan tersebut semakin berat dan kompleks seiring dampak perubahan iklim yang juga semakin nyata dan dinamika lempeng tektonik planet bumi yang menunjukkan tren peningkatan keaktifan. Akibat perubahan iklim, peristiwa ekstrem semakin sering terjadi dengan intensitas yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama.
"Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) sendiri memproyeksikan bumi akan mengalami pemanasan jangka pendek hingga 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri lima tahun ke depan atau tahun 2026. Proyeksi tersebut memiliki peluang mencapai 50 persen," ujar dia.
Selai itu Dwikorita memaparkan berdasarkan laporan Katalog Komposit Sistem Seismik Nasional Lanjutan, terjadi peningkatan tren seismisitas secara global, yang juga dikuatkan dengan data historis BMKG.
"Hal ini benar-benar menjadi tantangan serius kita semua untuk mempercepat pencapaian Target G Kerangka Sendai, terutama untuk mempercepat pencapaian resiliency atau ketangguhan terhadap bencana melalui penerapan peringatan dini di level nasional dan lokal," kata dia.
Dalam kesempatan tersebut, Dwikorita juga menyoroti pentingnya kolaborasi dan sinergi serta mengedepankan kearifan lokal sebagai manifestasi resiliensi (ketangguhan) dalam upaya selamat dari bencana. Penerapan Peringatan Dini Multi Bencana merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan resiliensi tersebut.
Baca juga: BMKG: Dua hari ke depan wilayah NTB berpotensi diguyur hujan
Resiliensi atau ketangguhan menurutnya semakin kuat jika pengetahuan, budaya atau kearifan lokal dipadukan dengan teknologi yang tepat.
Dikatakannya, kearifan lokal dan pengetahuan tradisional yang diwariskan turun temurun memiliki dampak signifikan terhadap keberhasilan peringatan dini bencana alam. Begitu juga dengan peran-peran komunitas dan organisasi kemasyarakatan.
"Ini disebut hybrid socio-technical early warning system yang tidak hanya efektif, tetapi juga lebih berkelanjutan dalam penerapannya. Resiliensi kolaboratif seharusnya tidak hanya dikembangkan di level nasional saja, tetapi juga diimplementasikan untuk memperkuat kapasitas pemerintah lokal, dan pemimpin lokal atau adat, dan komunitas, berdasarkan pengetahuan dan kebijaksanaan mereka," ujar dia.*