Mataram (ANTARA) - Seorang aparatur sipil negara (ASN) yang bertugas di Dinas Pekerjaan Umum Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, berinisial S (44) bersama suaminya, EYS (44), menjadi tersangka kasus pemalsuan dokumen penjaman ke bank
Kepala Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Mataram Komisaris Polisi Kadek Adi Budi Astawa di Mataram, Kamis, mengatakan, pasangan suami istri tersebut ditetapkan sebagai tersangka yang melanggar Pasal 263 ayat 1 dan atau ayat 2 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen.
"Sesuai aturan pidana, kedua tersangka terancam hukuman 6 tahun penjara," kata Kadek Adi.
Ia menjelaskan, pihaknya menangani kasus yang menetapkan pasangan suami istri tersebut sebagai tersangka, berawal dari adanya laporan seorang pria berinisial MS (34). Pelapor dikatakan Kadek Adi, bukan lain merupakan adik kandung tersangka S.
Laporan tersebut, jelasnya, terkait adanya dugaan penggunaan dokumen palsu dalam pengajuan pinjaman ke bank. Kedua tersangka mengajukan pinjaman dengan menggunakan data ayah kandung pelapor sebagai penjamin yang memberikan kuasa kepada tersangka S untuk menjaminkan 4 sertifikat tanah seluas 15 hektare.
"Jadi seolah-olah bapak pelapor telah memberikan kuasa kepada tersangka dalam bentuk surat kuasa, padahal saat pengajuan di bulan November 2020 itu, ayah pelapor sudah meninggal," ucap dia.
Begitu juga dengan pemalsuan tanda tangan, dan foto yang tercantum dalam KTP serta kartu keluarga (KK) penjamin. Kedua tersangka diduga memanfaatkan paman pelapor, atau saudara almarhum ayahnya.
"Dengan menjalankan modus demikian, EYS dan S mendapat pinjaman uang dari perbankan Rp500 juta. Uang itu habis digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarga," ujarnya.
Lebih lanjut, Kadek Adi memastikan dari hasil penyidikan, pencairan uang pinjaman kepada kedua tersangka sudah sesuai prosedur perbankan.
"Jadi dari bank tidak ada kerugian, SOP sudah sesuai, sertifikat tetap masuk agunan di bank," kata Kadek Adi.
Kepala Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Mataram Komisaris Polisi Kadek Adi Budi Astawa di Mataram, Kamis, mengatakan, pasangan suami istri tersebut ditetapkan sebagai tersangka yang melanggar Pasal 263 ayat 1 dan atau ayat 2 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen.
"Sesuai aturan pidana, kedua tersangka terancam hukuman 6 tahun penjara," kata Kadek Adi.
Ia menjelaskan, pihaknya menangani kasus yang menetapkan pasangan suami istri tersebut sebagai tersangka, berawal dari adanya laporan seorang pria berinisial MS (34). Pelapor dikatakan Kadek Adi, bukan lain merupakan adik kandung tersangka S.
Laporan tersebut, jelasnya, terkait adanya dugaan penggunaan dokumen palsu dalam pengajuan pinjaman ke bank. Kedua tersangka mengajukan pinjaman dengan menggunakan data ayah kandung pelapor sebagai penjamin yang memberikan kuasa kepada tersangka S untuk menjaminkan 4 sertifikat tanah seluas 15 hektare.
"Jadi seolah-olah bapak pelapor telah memberikan kuasa kepada tersangka dalam bentuk surat kuasa, padahal saat pengajuan di bulan November 2020 itu, ayah pelapor sudah meninggal," ucap dia.
Begitu juga dengan pemalsuan tanda tangan, dan foto yang tercantum dalam KTP serta kartu keluarga (KK) penjamin. Kedua tersangka diduga memanfaatkan paman pelapor, atau saudara almarhum ayahnya.
"Dengan menjalankan modus demikian, EYS dan S mendapat pinjaman uang dari perbankan Rp500 juta. Uang itu habis digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarga," ujarnya.
Lebih lanjut, Kadek Adi memastikan dari hasil penyidikan, pencairan uang pinjaman kepada kedua tersangka sudah sesuai prosedur perbankan.
"Jadi dari bank tidak ada kerugian, SOP sudah sesuai, sertifikat tetap masuk agunan di bank," kata Kadek Adi.