Jakarta (ANTARA) - Salah satu misteri terbesar peradaban di Indonesia saat ini adalah reruntuhan bangunan bata pada areal seluas 3.981 hektare di Pulau Sumatera yang tercatat sejarah sebagai Swarnabhumi atau Pulau Emas.

Diperkirakan tak kurang dari 115 benda peninggalan arkeologi di abad ke-7 hingga 13 Masehi yang menjadi lumbung ilmu pengetahuan masih bersembunyi rapat di antara vegetasi hutan Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari sepanjang 800 kilometer dari Sumatera Barat sampai Jambi.

Seremonial Kenduri Swarnabhumi di Rumah Dinas Gubernur Jambi, 12 Agustus 2022, membawa penulis menuju ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Candi Muarojambi yang menjadi pusara bagi artefak Kerajaan Melayu Kuno di masa peradaban Hindu-Budha di Jambi.

Butuh waktu tempuh sekitar 30 menit melintasi jalur darat dari pusat Kota Jambi menuju BPCB. Siang itu suasana lalu lintas di sekitar Jalan Candi Muaro Jambi sedang sepi dari aktivitas truk pengangkut kelapa sawit dan pasir di jalur aspal yang membelah kawasan perkebunan. Foto udara kapal tongkang bermuatan batu bara melintasi aliran Sungai Batanghari di Jambi, Selasa (8/3/2022). ANTARA/Wahdi Septiawan

Tak banyak bangunan rumah panggung milik penduduk di sepanjang sisi jalan, yang tampak hanya perkebunan kelapa sawit, tebu, dan sawah yang hampir tertutup semak belukar. Sisanya percabangan jalan menuju ke lokasi tambang dan kebun milik perorangan.

Jarum panjang jam belum menunjuk angka 12 siang, suasana di sekitar gapura BPCB mulai ramai wisatawan lokal. Umumnya adalah pelajar berseragam SMA yang datang untuk membuat konten media sosial jelang HUT Ke-77 RI. Biasanya dalam sebulan, kawasan itu bisa disambangi tak kurang dari 1.500 orang.

Ada juga sekelompok mahasiswa dari Fakultas Arsitektur Universitas Parahyangan Bandung, Jawa Barat, yang sedang berdiskusi mengasumsikan rupa atap dari bangunan candi yang hingga sekarang belum satu pun terpasang.

Proses ekskavasi yang bergulir sejak 1981 memang belum sepenuhnya membentuk rupa candi. Ada yang baru pondasi berikut sekat ruangan, hingga yang berbentuk fasad, halaman, sumur, kanal, kolam kuno hingga makam.

Seluruh candi disusun menggunakan batu bata tanah lempung yang direkatkan menggunakan lem khusus di zaman itu. Kekuatannya bahkan melebihi kualitas bata maupun lem mortar dari campuran semen, pasir, dan air di era sekarang, sebab tak sedikit material substitusi proyek rekonstruksi yang lepas dari tempatnya.

Ekskavasi

Tak jauh dari gapura kedatangan, Bujang (54) tersenyum ramah menyambut kedatangan penulis bersama Tim Humas Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemenristekdikti) RI.

Petugas BPCB Muarojambi itu memastikan seluruh artefak dalam kondisi terawat. Sebagian di antaranya berhasil dipugar berupa Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong I, Gedong II, Gumpung, Tinggi, Kembar Batu dan Astano. Sisanya, masih berserakan tertutup gundukan tanah serupa perbukitan mini berselimut rumput hijau.

Masing-masing candi tersebar dalam satu kompleks yang berjarak sekitar 1 kilometer ke arah selatan dari Sungai Batanghari. Jarak antarcandi diperkirakan hanya selemparan batu dari satu titik ke titik yang lain.

Salah satunya adalah Candi Kembar Batu yang berdimensi 59 m x 63 m pada sebidang tanah datar yang ditinggikan dengan halaman seluas 2,5 meter dari permukaan tanah sekitarnya.

Terletak 250 meter di sebelah tenggara Candi Tinggi, Kembar Batu dikelilingi parit selebar 3 meter. Ekskavasi pada 1982 membuktikan bahwa tanah untuk meninggikan halaman candi diperoleh dari hasil galian parit.

Komponen Situs Candi Kembar batu terdiri atas satu bangunan induk, lima ruangan perwara yang telah dipugar, dua ruangan yang belum dipugar, dan dua struktur bangunan yang belum diketahui fungsinya. Di dalam halaman candi terdapat bangunan induk yang berdenah segi empat berukuran 11,39 x 11,33 meter persegi.

Pintu masuknya terletak di sisi timur berhadapan dengan bangunan perwara I. Pada bagian atas kaki bangunan terdapat 12 lubang yang diduga dipakai untuk menancapkan tiang kayu sebagai penyangga atap bangunan di dekat tangga.

Di luar area candi, terdapat sekumpulan keluarga bernaung di bawah pohon yang rindang sambil bersantap siang. Bagi yang ingin irit stamina, menyewa sepeda atau becak dannzoln motor (bentor) bisa jadi pilihan yang menyenangkan untuk keliling kawasan.

Kami memilih berjalan kaki, mengitari satu per satu candi sambil menikmati semilir angin yang seliweran di antara dedaunan rimbun pohon berusia ratusan tahun.

Lumbung ilmu pengetahuan

Sejak kali pertama ditemukan oleh seorang perwira angkatan laut Kerajaan Inggris bernama S.C. Crooke pada 1820, artefak kawasan Muarajambi masih menyiratkan mahakarya kejeniusan manusia yang pernah lahir di zaman kerajaan berlatar belakang agama Budha Mahayana di abad ke-7 hingga 13 Masehi.

Saat itu, Sungai Batanghari yang melintasi beberapa kabupaten/kota di Jambi seperti Bungo, Tebo, Batanghari, Muarojambi dan Tanjung Jabung Timur menjadi gerbang masuk para saudagar dari sejumlah negara seperti China, India, Persia, hingga Arab.

Tinggalan arkeologi menunjukkan adanya pola hidup masyarakat akuatik di sekitar bantaran, di antaranya prasasti, candi/situs, area pemukiman, perahu kuno, keramik, jam batu, hingga arsitektur bangunan.

Kawasan Candi Muarojambi diapit dua parit yang menjadi anak Sungai Batanghari. Arkeolog meyakini, parit yang sedang dipugar itu adalah koridor transportasi air yang menghubungkan antarkawasan candi.
 
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Fitra Arda menyebut kawasan Candi Muarojambi sebagai lumbung ilmu pengetahuan yang harus diungkap, sebab diyakini menyimpan harta karun ilmu pengetahuan di masa lampau yang bisa diwariskan untuk masa depan.

Pernyataan Fitra dilatarbelakangi kisah seorang biksu dari China yang dikenal sebagai seorang penjelajah sekaligus penerjemah teks agama Budha bernama I Tsing. Pada 672 M, ia menempuh perjalanan ke Nalanda India untuk memperdalam ajaran Budha.

Pengembara yang dijadikan sebagai dasar alasan para ahli sejarah dalam mengemukakan teori masuknya Islam di abad ke-7 itu, dikisahkan sempat singgah selama 2 bulan di Muarojambi demi memperdalam bahasa Sansekerta.

Berita Dinasti Sung (960-1279 M) juga menyebut bahwa Jambi merupakan tempat bersemayamnya Maharaja San-Fo-Tsi (Sriwijaya).

"Swarnabhumi artinya Pulau Emas. Tidak hanya mengartikannya sebagai emas fisik, tapi emas sebagai penyumbang bagi ilmu pengetahuan," katanya.

Sungai Batanghari yang menjadi pusat perniagaan, diyakini Fitra telah mengambil peran besar dalam peradaban ilmu pengetahuan seperti biologi, alam, perbintangan, hingga ilmu pasti, yang lahir dari pertukaran budaya.

Pelestarian

Kenduri Swarnabhumi digelar Kemendikbudristek bersama 14 pemerintah daerah, di antaranya Pemerintah Provinsi Jambi, Sumatera Barat, serta melibatkan ribuan masyarakat, budayawan, pelaku seni dan budaya, arkeolog, peneliti, sejarawan, komunitas, mahasiswa.

Kegiatan yang digelar sepanjang 12 Agustus hingga 22 September 2022 membawa narasi "Menghubungkan Kembali Masyarakat Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari" sebagai wadah penyebarluasan informasi tentang revitalisasi kawasan Cagar Budaya Muara Jambi.

Kenduri Swarnabhumi menjadi tajuk utama dari rangkaian kegiatan Ekspedisi Batanghari, Sekolah Lapangan, Pemugaran Kawasan Cagar Budaya Nasional Muara Jambi, 14 Festival Daerah, Seminar dan Talkshow Peradaban DAS Batanghari.

Kegiatan itu diharapkan bisa memajukan kebudayaan, dan menggerakkan kesadaran masyarakat tentang harmoni sungai dan peradaban yang semakin penting untuk dirawat dengan kearifan lokal demi menjaga ekosistem DAS Batanghari.
 
Baca juga: Pemerintah dukung pengembangan minyak sawit merah Jambi
Baca juga: Wapres RI serahkan santunan dan bantuan ke masyarakat Jambi
 

Pewarta : Andi Firdaus
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024