Jakarta (ANTARA) - Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Rabu sore ditutup melemah, dibayangi isu perlambatan ekonomi global. Rupiah ditutup melemah 33 poin atau 0,22 persen ke posisi Rp14.918 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp14.885 per dolar AS.
Pengamat pasar uang Ariston Tjendra saat dihubungi di Jakarta, Rabu, mengatakan, tekanan untuk rupiah masih cukup besar pada pekan ini. "Situasi global yang masih dibayangi isu perlambatan ekonomi memberikan tekanan untuk aset berisiko," ujar Ariston.
Terbaru Rusia yang mematikan jalur pipa gas ke Eropa menambah kekhawatiran pasar soal pelambatan ekonomi global. Selain itu dari sisi dolar AS, lanjut Ariston, kebijakan melanjutkan kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral AS, Federal Reserve (Fed), karena inflasi AS masih tinggi, mendorong penguatan dolar.
"Dari dalam negeri, kenaikan BBM subsidi juga bisa memberikan tekanan ke rupiah karena hal ini memberikan tekanan ke pertumbuhan ekonomi. Kenaikan harga barang bisa menurunkan daya beli masyarakat," kata Ariston.
Analis Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) Revandra Aritama juga mengatakan kenaikan harga BBM memang berimbas terhadap melemahnya nilai rupiah Terkoreksinya rupiah, lanjut Revandra, juga didorong oleh sentimen penguatan dolar AS menyusul diumumkannya data ekonomi AS.
Baca juga: Rupiah menguat di tengah jelang pidato Jerome Powell
Baca juga: Kurs Rupiah melemah akibat pertumbuhan ekonomi Tiongkok melambat
"Data PMI dan NFP dinilai masih cukup baik sehingga meningkatkan sentimen The Fed masih akan agresif untuk menaikkan nilai suku bunga," ujar Revandra. Rupiah pada pagi hari dibuka melemah ke posisi Rp14.913 per dolar AS. Sepanjang hari rupiah bergerak di kisaran Rp14.908 per dolar AS hingga Rp14.938 per dolar AS. Sementara itu kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Rabu melemah ke posisi Rp14.927 per dolar AS dibandingkan posisi hari sebelumnya Rp14.885 per dolar AS.
Pengamat pasar uang Ariston Tjendra saat dihubungi di Jakarta, Rabu, mengatakan, tekanan untuk rupiah masih cukup besar pada pekan ini. "Situasi global yang masih dibayangi isu perlambatan ekonomi memberikan tekanan untuk aset berisiko," ujar Ariston.
Terbaru Rusia yang mematikan jalur pipa gas ke Eropa menambah kekhawatiran pasar soal pelambatan ekonomi global. Selain itu dari sisi dolar AS, lanjut Ariston, kebijakan melanjutkan kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral AS, Federal Reserve (Fed), karena inflasi AS masih tinggi, mendorong penguatan dolar.
"Dari dalam negeri, kenaikan BBM subsidi juga bisa memberikan tekanan ke rupiah karena hal ini memberikan tekanan ke pertumbuhan ekonomi. Kenaikan harga barang bisa menurunkan daya beli masyarakat," kata Ariston.
Analis Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) Revandra Aritama juga mengatakan kenaikan harga BBM memang berimbas terhadap melemahnya nilai rupiah Terkoreksinya rupiah, lanjut Revandra, juga didorong oleh sentimen penguatan dolar AS menyusul diumumkannya data ekonomi AS.
Baca juga: Rupiah menguat di tengah jelang pidato Jerome Powell
Baca juga: Kurs Rupiah melemah akibat pertumbuhan ekonomi Tiongkok melambat
"Data PMI dan NFP dinilai masih cukup baik sehingga meningkatkan sentimen The Fed masih akan agresif untuk menaikkan nilai suku bunga," ujar Revandra. Rupiah pada pagi hari dibuka melemah ke posisi Rp14.913 per dolar AS. Sepanjang hari rupiah bergerak di kisaran Rp14.908 per dolar AS hingga Rp14.938 per dolar AS. Sementara itu kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Rabu melemah ke posisi Rp14.927 per dolar AS dibandingkan posisi hari sebelumnya Rp14.885 per dolar AS.