Mataram (ANTARA) - Kasus pekerja migran Indonesia (PMI) nonprosedural atau ilegal asal Nusa Tenggara Barat (NTB) sudah jauh menurun dari tahun-tahun sebelumnya.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) NTB I Gede Putu Aryadi mengatakan berdasarkan data, PMI prosedural saat ini berjumlah 535.000 orang di 108 negara penempatan dan 70 persen PMI bekerja di negara Malaysia, dan yang kedua adalah negara-negara Timur Tengah.

"Dari jumlah tersebut, PMI bermasalah yang ditangani pada tahun 2021-2022 ini sebanyak 1.008 orang. Jumlah tersebut jauh menurun jika dibandingkan jumlah kasus tahun-tahun sebelumnya yang mencapai puluhan ribu orang," kata Gede Aryadi saat menjadi narasumber pada kunjungan kerja Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di Kantor Gubernur NTB dalam keterangan tertulis diterima wartawan, di Mataram, Kamis.

Ia mengatakan jumlah kasus sampai bulan September tahun 2022 sebanyak 881 kasus, dengan rincian 457 kasus dialami oleh perempuan, dan kasus terbanyak terjadi di Timur Tengah.

"Penurunan kasus PMI unprosedural tidak lepas dari adanya program pemerintah provinsi yang dicanangkan pada tahun 2020, yaitu zero unprosedural PMI, dan peran pihak terkait yang terus melakukan edukasi masif kepada masyarakat tentang bekerja di luar negeri," katanya lagi.

Dia menambahkan, penanganan PMI tidak hanya menjadi tugas Disnakertrans, tetapi juga lintas sektoral. Kuncinya adalah kolaborasi dalam mengedukasi dan mendesiminasi warga agar bisa mengakses kesempatan kerja luar negeri secara benar dan prosedural.

Untuk mencegah terjadinya kasus PMI nonprosedural, pemerintah perlu secara masif memberikan informasi dan edukasi tentang bekerja di luar negeri kepada masyarakat.

"Harus ada kolaborasi yang kuat antara Disnaker provinsi dan kabupaten serta kota, hingga desa dan dusun, melibatkan pihak terkait, yaitu BP2MI, TNI-Polri, Dinas Sosial, BP3AKB, Imigrasi dan NGO yang konsentrasinya terhadap buruh migran Indonesia," ujarnya pula.

Gede menyampaikan bahwa munculnya PMI nonprosedural dipicu oleh lima modus. Pertama, PMI ilegal yang direkrut secara ilegal melalui calo. Kedua, PMI legal, berangkat secara prosedural, tetapi setelah di negara penempatan melarikan diri dari tempatnya bekerja sehingga menjadi ilegal. Ketiga, PMI legal tetapi setelah di negara penempatan terlibat kasus kriminal.

Keempat, PMI berangkat secara prosedural tetapi saat memperpanjang kontrak tidak melalui prosedur, sehingga menjadi ilegal. Terakhir, PMI yang memiliki "track record" tidak bagus, sudah diblack list negara penempatan, tetapi mencari banyak cara untuk berangkat secara nonprosedural.

Selain itu, Aryadi juga mengatakan bahwa modus PMI nonprosedural juga dipicu karena di sejumlah negara penempatan memberlakukan kebijakan konversi visa, sehingga celah inilah yang dimanfaatkan oleh para calo/tekong.

Ia menjelaskan PMI nonprosedural biasanya berangkat dengan menggunakan visa kunjungan, visa umrah atau visa suaka, kemudian setibanya di negara penempatan, mereka mendapatkan visa kerja dan izin tinggal, sehingga menjadi legal menurut aturan di negara tersebut.

"PMI yang berangkat dengan jalur nonprosedural tidak akan mendapatkan perlindungan yang memadai, karena semuanya diurus oleh mafia TPPO. Bahkan, PMI tersebut tidak mengetahui isi perjanjian kerjanya," katanya lagi.



Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia sudah menerapkan OCS (One Channel System) untuk mengurangi PMI ilegal. Oleh karena itu, saat ini Pemerintah Indonesia sedang melakukan uji coba OCS ini di negara penempatan lainnya.

"Kami sedang coba proses rekrutmennya untuk negara penempatan Timur Tengah, apakah OCS ini bisa berhasil, terutama untuk sektor domestik," ujarnya.

Perwakilan BP3MI NTB Made Setyaningrum menyampaikan penurunan kasus PMI unprosedural salah satunya disebabkan oleh dibukanya penempatan negara Malaysia. Seperti diketahui hampir 70 persen PMI bekerja di Malaysia. Jadi selama pandemi COVID-19, penempatan negara Malaysia ditutup, sehingga banyak PMI berangkat melalui jalur tikus.

"Sebelum negara penempatan Malaysia dibuka, hampir setiap minggu BP3MI menangani kasus pemulangan PMI unprosedural, tetapi sekarang jumlahnya jauh berkurang," ujar Made.

Berdasarkan data, tahun 2021 PMI yang bekerja di luar negeri sebanyak 581 orang, sedangkan tahun 2022 ini sudah mencapai 3.970 orang. Kasus PMI yang mengalami pelecehan seksual tahun 2022 sebanyak 2 kasus dan sedang dalam proses. Sedangkan, untuk kasus TPPO sudah selesai dan korbannya telah kembali ke negara asal.

BP3MI terus berkoordinasi dan sosialisasi dengan instansi pemerintah maupun dengan NGO untuk mengedukasi masyarakat agar bermigrasi dengan aman.

"Kami juga ikut bergabung kegiatan posyandu keluarga untuk mensosialisasikan informasi bahwa bekerja di luar negeri boleh, tetapi harus sesuai dengan prosedur. Selain itu, BP3MI juga berkoordinasi dengan pemerintah desa untuk memberikan informasi daftar P3MI yang memiliki ijin dan memiliki job order," katanya pula.

Tahun 2022 ini, BP3MI bekerjasama dengan BPVP Lombok Timur untuk pelatihan persiapan PMI untuk penempatan negara Jepang dan Korea. Sebenarnya penempatan untuk negara Korea cukup banyak dan persyaratannya tidak sulit.

Pelatihan persiapan tersebut, berupa kelas bahasa yang dibuka sejak bulan Agustus 2022 dengan tujuh kelas bahasa Korea dan dua kelas bahasa Jepang. Selanjutnya CPMI yang sudah mendapatkan pemantapan bahasa bisa mengikuti skema G to G dengan penempatan negara Jepang untuk menjadi perawat dan Korea di industri manufaktur.

"Adanya pelatihan diharapkan CPMI memiliki skill yang baik, sehingga tidak mengalami masalah ketika di negara penempatan," katanya pula.

 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kasus PMI ilegal dari NTB alami penurunan

Pewarta : Nur Imansyah
Editor : Riza Fahriza
Copyright © ANTARA 2024