Jakarta (ANTARA) - Pertemuan Inisiatif Riset dan Inovasi G20 atau G20 Research and Innovation Initiative Gathering (RIIG) 2022 mendorong kolaborasi untuk saling berbagi infrastruktur, fasilitas, dan pendanaan dalam riset dan inovasi keanekaragaman hayati terutama untuk mencegah kepunahan biodiversitas.
"Kita ke riset dan inovasi pencegahan kepunahan biodiversitas dan pemanfaatannya di berbagai sektor di pangan, energi, kesehatan dan dampak perubahan iklim," kata Ketua RIIG G20 2022 Agus Haryono dalam konferensi pers di Gedung BJ Habibie BRIN di Jakarta, Rabu.
Pelaksana tugas Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi BRIN itu menuturkan salah satu krisis dan tantangan yang dihadapi di tingkat global saat ini adalah hilangnya keanekaragaman hayati sehingga diperlukan kolaborasi antarperiset tingkat global untuk mengatasi masalah itu.
Untuk mendorong riset dan inovasi dalam pencegahan kepunahan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati, ia mengatakan negara-negara anggota G20 perlu menyediakan akses infrastruktur dan alokasi dana yang setara.Infrastruktur, fasilitas, dan pendanaan merupakan faktor penting dalam keberhasilan riset dan inovasi.
Periset perlu mendapat akses luas terhadap faktor-faktor tersebut untuk menjamin kualitas penelitiannya agar dapat mengalir dari hulu ke hilir. Namun, ketersediaan infrastruktur dan fasilitas penelitian bervariasi di tiap negara. Oleh karenanya, diperlukan upaya kolaboratif agar celah kapasitas untuk menjawab kebutuhan riset antarnegara anggota G20 dapat terkikis dalam menghadapi tantangan global.
RIIG G20 mengusulkan Global Biodiversity Research and Innovation Platform (GBRIP), sebuah platform kolaborasi yang memberikan peluang kepada negara maju dan negara berkembang untuk melaksanakan tanggung jawab dalam konservasi, pemanfaatan berkelanjutan, serta pemanfaatan sumber daya alam yang adil dan merata.
Negara-negara anggota G20 didorong untuk membuka fasilitas penelitiannya melalui skema GBRIP. "Kami juga mendorong pemerataan akses infrastruktur, memastikan pendanaan pendukung, di mana pendanaan merupakan faktor pendorong untuk pelaksanaan penelitian," tuturnya.
Kehilangan keanekaragaman hayati itu antara lain punahnya spesies yang sudah teridentifikasi atau yang belum diketahui sama sekali, dan belum sempat mengeksplorasi potensi yang dimiliki spesies tersebut untuk keberlanjutan lingkungan dan pemanfaatan hayati atau bioprospeksi.
Baca juga: FHCI BUMN promosikan keberagaman dan kesetaraan dunia usaha
Baca juga: Wamen BUMN sebut PLN siapkan 600 SPKLU dukung G20
Sebelumnya, peneliti BRIN Amir Hamidy mengatakan masifnya perubahan atau alih fungsi hutan menjadi, misalnya lahan pertanian dan lahan tambang menyebabkan laju hilangnya keanekaragaman hayati semakin meningkat. Kerusakan atau pencemaran terhadap habitat spesies juga mempengaruhi daya hidup spesies tersebut. Salah satunya adalah amfibi, katanyal
"Amfibi sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Ketika suhu turun atau naik satu atau dua derajat karena perubahan iklim, itu bisa sangat mempengaruhi metabolisme amfibi, sehingga laju kepunahan amfibi mungkin saja lebih besar daripada laju penemuan jenis baru amfibi," katanya.
"Kita ke riset dan inovasi pencegahan kepunahan biodiversitas dan pemanfaatannya di berbagai sektor di pangan, energi, kesehatan dan dampak perubahan iklim," kata Ketua RIIG G20 2022 Agus Haryono dalam konferensi pers di Gedung BJ Habibie BRIN di Jakarta, Rabu.
Pelaksana tugas Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi BRIN itu menuturkan salah satu krisis dan tantangan yang dihadapi di tingkat global saat ini adalah hilangnya keanekaragaman hayati sehingga diperlukan kolaborasi antarperiset tingkat global untuk mengatasi masalah itu.
Untuk mendorong riset dan inovasi dalam pencegahan kepunahan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati, ia mengatakan negara-negara anggota G20 perlu menyediakan akses infrastruktur dan alokasi dana yang setara.Infrastruktur, fasilitas, dan pendanaan merupakan faktor penting dalam keberhasilan riset dan inovasi.
Periset perlu mendapat akses luas terhadap faktor-faktor tersebut untuk menjamin kualitas penelitiannya agar dapat mengalir dari hulu ke hilir. Namun, ketersediaan infrastruktur dan fasilitas penelitian bervariasi di tiap negara. Oleh karenanya, diperlukan upaya kolaboratif agar celah kapasitas untuk menjawab kebutuhan riset antarnegara anggota G20 dapat terkikis dalam menghadapi tantangan global.
RIIG G20 mengusulkan Global Biodiversity Research and Innovation Platform (GBRIP), sebuah platform kolaborasi yang memberikan peluang kepada negara maju dan negara berkembang untuk melaksanakan tanggung jawab dalam konservasi, pemanfaatan berkelanjutan, serta pemanfaatan sumber daya alam yang adil dan merata.
Negara-negara anggota G20 didorong untuk membuka fasilitas penelitiannya melalui skema GBRIP. "Kami juga mendorong pemerataan akses infrastruktur, memastikan pendanaan pendukung, di mana pendanaan merupakan faktor pendorong untuk pelaksanaan penelitian," tuturnya.
Kehilangan keanekaragaman hayati itu antara lain punahnya spesies yang sudah teridentifikasi atau yang belum diketahui sama sekali, dan belum sempat mengeksplorasi potensi yang dimiliki spesies tersebut untuk keberlanjutan lingkungan dan pemanfaatan hayati atau bioprospeksi.
Baca juga: FHCI BUMN promosikan keberagaman dan kesetaraan dunia usaha
Baca juga: Wamen BUMN sebut PLN siapkan 600 SPKLU dukung G20
Sebelumnya, peneliti BRIN Amir Hamidy mengatakan masifnya perubahan atau alih fungsi hutan menjadi, misalnya lahan pertanian dan lahan tambang menyebabkan laju hilangnya keanekaragaman hayati semakin meningkat. Kerusakan atau pencemaran terhadap habitat spesies juga mempengaruhi daya hidup spesies tersebut. Salah satunya adalah amfibi, katanyal
"Amfibi sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Ketika suhu turun atau naik satu atau dua derajat karena perubahan iklim, itu bisa sangat mempengaruhi metabolisme amfibi, sehingga laju kepunahan amfibi mungkin saja lebih besar daripada laju penemuan jenis baru amfibi," katanya.