Jakarta (ANTARA) - Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari mengatakan tren banjir di Jawa Timur akan sama selama belum ada perbaikan lingkungan.
"Selama belum ada perbaikan dari sisi lingkungan, daya dukung, dan daya tampung lingkungan secara signifikan, maka bencananya akan terus berulang. Bagaimanapun, bencana hidrometeorologi basah adalah bencana yang sangat dipengaruhi bagaimana kita mengelola lingkungan," ujar Abdul dalam Disaster Briefing diikuti daring di Jakarta, Senin.
Abdul menyebutkan dalam sepekan, 17-23 Oktober 2022, banjir terjadi di sejumlah lokasi di Jawa Timur, yakni Kabupaten Ponorogo, Trenggalek, Malang, Blitar, dan Banyuwangi. Dalam sepuluh tahun terakhir, frekuensi kejadian banjir di Jawa Timur menurut data BNPB semakin meningkat. Abdul mengingatkan Provinsi Jawa Timur agar tetap waspada, karena pada akhir Oktober 2022 masih belum memasuki puncak musim hujan.
"Waspada jika terdapat faktor-faktor regional, atau faktor global yang mempengaruhi perubahan puncak musim hujan, yang dapat bergeser ke bulan Februari atau Maret 2023," kata Abdul.
Menurut catatan BNPB, kejadian banjir terbanyak di Jawa Timur dalam 10 tahun terakhir, yakni Kabupaten Bojonegoro, Gresik, Pasuruan, Ponorogo, dan Jember. Sementara pada tahun 2022, frekuensi banjir tercatat di Kota Pasuruan, Kabupaten Banyuwangi, dan Kabupaten Malang.
Abdul mengatakan, dari peta bahaya banjir Provinsi Jawa Timur, ada beberapa tempat yang sebenarnya bukan di daerah berisiko tinggi terjadi banjir, seperti Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Ponorogo. "Wilayah tersebut secara topografi dan kerentanan, bukan menjadi daerah yang rawan banjir, atau dominan atau rutin dihantam banjir. Namun sekarang sudah mulai terdampak," katanya.
Abdul tak memungkiri bila ada faktor-faktor cuaca secara lokal maupun secara regional yang berpengaruh pada tingginya frekuensi bencana hidrometeorologi basah di sepanjang Pantai Selatan Jawa dalam dua minggu terakhir. Tapi semua kembali lagi untuk melihat kondisi alam dan kondisi lingkungan yang dimiliki.
Dalam analisa curah hujan di Jawa Timur sejak 17-23 Oktober, tercatat curah hujan yang cukup tinggi, terutama di Kabupaten Trenggalek, dengan curah hujan hingga 80-100 milimeter, bahkan puncaknya hingga 140 mm, yang mengakibatkan kumulatif dari debit air kemudian berdampak cukup signifikan di wilayah tersebut.
Baca juga: Polres Lombok Utara membantu warga terdampak bencana banjir bandang
Baca juga: Pemdes Puyung gotong royong antisipasi banjir
Kemudian curah hujan tinggi pada tanggal 20 Oktober di wilayah Kabupaten Pacitan dan selatan Kabupaten Ponorogo, mendorong terjadinya banjir dan tanah longsor di Kabupaten Ponorogo. Intensitas hujan yang meningkat dari Jawa Timur ke arah Jawa Tengah, juga menyebabkan bencana banjir di Rembang, Kendal, dan beberapa lokasi lainnya.
"Selama belum ada perbaikan dari sisi lingkungan, daya dukung, dan daya tampung lingkungan secara signifikan, maka bencananya akan terus berulang. Bagaimanapun, bencana hidrometeorologi basah adalah bencana yang sangat dipengaruhi bagaimana kita mengelola lingkungan," ujar Abdul dalam Disaster Briefing diikuti daring di Jakarta, Senin.
Abdul menyebutkan dalam sepekan, 17-23 Oktober 2022, banjir terjadi di sejumlah lokasi di Jawa Timur, yakni Kabupaten Ponorogo, Trenggalek, Malang, Blitar, dan Banyuwangi. Dalam sepuluh tahun terakhir, frekuensi kejadian banjir di Jawa Timur menurut data BNPB semakin meningkat. Abdul mengingatkan Provinsi Jawa Timur agar tetap waspada, karena pada akhir Oktober 2022 masih belum memasuki puncak musim hujan.
"Waspada jika terdapat faktor-faktor regional, atau faktor global yang mempengaruhi perubahan puncak musim hujan, yang dapat bergeser ke bulan Februari atau Maret 2023," kata Abdul.
Menurut catatan BNPB, kejadian banjir terbanyak di Jawa Timur dalam 10 tahun terakhir, yakni Kabupaten Bojonegoro, Gresik, Pasuruan, Ponorogo, dan Jember. Sementara pada tahun 2022, frekuensi banjir tercatat di Kota Pasuruan, Kabupaten Banyuwangi, dan Kabupaten Malang.
Abdul mengatakan, dari peta bahaya banjir Provinsi Jawa Timur, ada beberapa tempat yang sebenarnya bukan di daerah berisiko tinggi terjadi banjir, seperti Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Ponorogo. "Wilayah tersebut secara topografi dan kerentanan, bukan menjadi daerah yang rawan banjir, atau dominan atau rutin dihantam banjir. Namun sekarang sudah mulai terdampak," katanya.
Abdul tak memungkiri bila ada faktor-faktor cuaca secara lokal maupun secara regional yang berpengaruh pada tingginya frekuensi bencana hidrometeorologi basah di sepanjang Pantai Selatan Jawa dalam dua minggu terakhir. Tapi semua kembali lagi untuk melihat kondisi alam dan kondisi lingkungan yang dimiliki.
Dalam analisa curah hujan di Jawa Timur sejak 17-23 Oktober, tercatat curah hujan yang cukup tinggi, terutama di Kabupaten Trenggalek, dengan curah hujan hingga 80-100 milimeter, bahkan puncaknya hingga 140 mm, yang mengakibatkan kumulatif dari debit air kemudian berdampak cukup signifikan di wilayah tersebut.
Baca juga: Polres Lombok Utara membantu warga terdampak bencana banjir bandang
Baca juga: Pemdes Puyung gotong royong antisipasi banjir
Kemudian curah hujan tinggi pada tanggal 20 Oktober di wilayah Kabupaten Pacitan dan selatan Kabupaten Ponorogo, mendorong terjadinya banjir dan tanah longsor di Kabupaten Ponorogo. Intensitas hujan yang meningkat dari Jawa Timur ke arah Jawa Tengah, juga menyebabkan bencana banjir di Rembang, Kendal, dan beberapa lokasi lainnya.