Mataram (ANTARA) -
Terhitung sejak tanggal 3 September 2022, pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM subsidi dan non subsidi seperti pertalite dan solar, yang di mana kenaikan pertalite sebelumnya dari kisaran Rp7.600 per liter menjadi Rp10.000 per liter, solar yang sebelumnya Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter. Hal ini memicu reaksi yang beragam dari masyarakat. Berbagai kalangan seperti mahasiswa dan pekerja melakukan aksi demonstrasi di banyak tempat. Tapi apakah dampak naiknya BBM subsidi ini harus membuat kita panik?
Bukan yang pertama
Kenaikan BBM akhir-akhir ini, itu bukan yang pertama. Tercatat kenaikan BBM pernah dilakukan di setiap masa pemerintahan Indonesia seiring dengan pergerakan harga energi global. Terhitung sejak era Presiden Soeharto hingga Presiden Jokowi kenaikan BBM sudah dilakukan sebanyak 12 kali. Tiga di antaranya dilakukan Jokowi pada tahun 2014, 2015, dan baru-baru ini tahun 2022.
Naiknya harga BBM baru-baru ini bukannya tanpa alasan, harga minyak mentah yang melonjak semenjak perang Rusia Ukraina menjadikan lonjakan belanja subsidi BBM dan kompensasi melesat tinggi dari angka sebelumnya Rp170 trilliun menjadi Rp502 trilliun. Pengurangan subsidi energi ini mutlak diperlukan sebagai upaya untuk mencapai target defisit fiskal di bawah 3 persen pada tahun 2023. Sekalipun harga minyak dunia turun, anggaran pemerintah untuk tahun 2022 tetap tinggi dan masih membebani kas negara.
Subsidi jadi bumerang
Subsidi pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada tahun 2005, tepatnya saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, lalu berlanjut pada tahun 2009 dan di 2013 berganti nama menjadi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang bertujuan untuk membantu masyarakat miskin untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan hariannya.
Namun subsidi BBM sekarang ini malah menjadi bumerang. Bagaimana bisa? Hal itu dikarenakan anggaran subsidi yang beredar tidak tepat sasaran. Subsidi BBM yang harusnya dinikmati oleh masyarakat tidak mampu lebih banyak dinikmati oleh kalangan atas. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan presiden Jokowi yang mengatakan bahwa 70 persen penikmat BBM bersubsidi justru termasuk kategori kalangan mampu.
Kuota pertalite yang jumlahnya 23 juta kilo liter untuk tahun 2022 sampai bulan Juni kemarin sudah dikonsumsi oleh masyarakat sekitar 14,9 juta kilo liter, menyisakan 8,8 juta kilo liter sampai akhir tahun. Ini memiliki arti bahwa jika tidak ada tindakan dari pemerintah, kemungkinan besar konsumsi pertalite hingga akhir tahun nanti melampaui kuota yang telah ditetapkan.
Bantuan Pemerintah
Pemerintah tidak sejahat itu. Melihat keruntuhan masyarakat ekonomi kelas bawah akibat pegurangan subsidi BBM, pemerintah mengeluarkan tiga program bantuan sosial. Pertama adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp12,4 triliun untuk 20,65 juta keluarga kurang mampu. Menteri Sosial Tri Rishamaharini menjelaskan dari 20 jutaan keluarga penerima manfaat program tadi, sekitar 18 jutaan di antaranya sudah siap untuk disalurkan melalui PT Pos Indonesia.
Sisanya masih dalam tahap verifikasi ulang. Keluarga penerima manfaat akan menerima sebesar Rp150.000 setiap bulan selama empat bulan ke depan. Uang tunai itu akan disalurkan dalam dua tahap. Sebesar Rp300.000 pada september dan nominal yang sama pada awal Desember.
Kedua adalah program subsidi upah sebesar Rp9,6 trilliun yang ditujukan bagi 16 juta pekerja dengan gaji maksimum Rp3,5 juta per bulan. Nantinya, para pekerja akan menerima manfaat uang tunai sebesar Rp600.000.
Terakhir adalah penggunaan 2 persen dana transfer umum sebesar Rp 2,17 triliun untuk digelontorkan dalam bentuk angkutan umum, bantuan ojek online, dan bantuan nelayan. Tentu ada yang beranggapan kalau dana bantuan yang diberikan pemerintah itu tergolong sedikit. Namun, hakekat bantuan sosial memang bukan untuk menyelamatkan seseorang dari kemiskinan.
Bantuan sosial hanya untuk mencegah masyarakat sampai kelaparan atau sampai jatuh dalam kemiskinan ekstrem. Upaya-upaya pemerintah untuk dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu ada di dalam kegiatan pemberdayaan ekonomi, dimana kegiatan pemberdayaan ekonomi bertujuan untuk membuka investasi agar terbukanya lapangan pekerjaan.
Revisi aturan
Momen naiknya BBM ini bisa menjadi titik balik dari berubahnya aturan terkait pendistribusian subsidi sehingga bisa lebih tepat sasaran. Mengapa demikian? Hal itu dikarenakan untuk memastikan penyaluran BBM subsidi tepat sasaran, regulasi terkait kriteria pembeli BBM subsidi jenis pertalite dan solar subsidi harus segera diterbitkan. Salah satu caranya adalah merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014 tentang
Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM), termasuk juga petunjuk teknis pembelian BBM bersubsidi dengan penugasan, karena di dalam aturan tersebut belum ada pengaturan terkait pertalite, jadi hal tersebut harus diatur.
Jika sudah diatur, diterbitkan, dan dijalankan dengan tegas maka subsidi yang jumlahnya sampai ratusan triliun yang dianggarkan pemerintah untuk BBM bisa kembali ke jalurnya (tepat sasaran).
Efek domino itu semu
Semenjak 2021 negara sudah mensubsidi harga BBM untuk rakyat dan negara kehilangan uang sekitar Rp520 triliun. Pertanyaannya adalah darimana negara mendapatkan uang sebanyak itu? Ya dari hutang, dan kita masih marah-marah pada pemerintah karena hutangnya besar, padahal kita sendiri yang senang karena mendapati subsidi itu, ironi bukan?
Penulis paham bahwa ada yang beranggapan bahwa kenaikan harga BBM subsidi ini akan mengakibatkan efek domino. Misalnya harga kebutuhan pokok naik dan ongkos transportasi juga akan naik. Masyarakat seperti itulah yang gagal memahami masalah yang sesungguhnya. Karena efek domino yang dihasilkan adalah semu atau palsu. Karena yang paling membutuhkan BBM sebenarnya adalah orang-orang yang memiliki kendaraan dan subsidi ini pun mirisnya dinikmati oleh orang-orang kaya.
Kita ambil satu contoh kasus. Ongkos angkutan umum normalnya akan naik setelah harga BBM naik. Lalu Ketika harga BBM turun, tarif angkutan umum tetap tidak turun. Alasan yang biasa digunakan adalah karena harga perangkat mobil yang sekarang menjadi mahal. Harusnya kalau BBM turun, ongkos angkutan umum juga turun, tapi kenapa mereka tidak menurunkan itu? Karena sebenarnya itu bukan soal panic buying yang rasional, bukan seperti itu, tetapi gara-gara masing-masing setiap orang berusaha untuk mencari keuntungan, memancing di air keruh. Jadi mumpung ada momentum di mana mereka bisa naikin harga seenaknya.
Waktunya beralih ke transportasi umum
Selain menaikkan harga subsidi BBM, pilihan jangka panjang yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengurangi ketergantungan rakyat terhadap BBM bersubsidi adalah dengan memberikan perhatian khusus pada transportasi publik yang nyaman dan efisien. Mobil listrik? Tidak menyelesaikan masalah. Mobil listrik hanya mengubah kebiasaan masyarakat menuju ketergantungan yang berbeda yaitu dari mobil bensin menuju mobil listrik yang bersumber dari batu bara (sama-sama merusak alam). Selain itu, kemacetan di jalan raya tetap terjadi.
Pemerintah seharusnya membangun transportasi publik yang terintegrasi, rakyat jadi punya pilihan untuk tidak tergantung pada kendaraan pribadi. Sehingga secara otomatis, mengurangi jumlah konsumsi BBM baik subsidi maupun non-subsidi.
Tidak perlu cemas transportasi publik tidak laku. Contoh nyata masyarakat yang bergantung pada KRL adalah Kota Jakarta. Selama transportasi publik yang dibangun punya rute lengkap, terintegrasi satu sama lain, tepat waktu, murah dan nyaman, transportasi publik pasti diminati banyak orang.
Ubah mindset
Tidak adil jika pemerintah saja yang harus berbenah, masyarakat juga harus. Untuk masyarakat proletar, mari ubah cara pandang kita. Alih-alih berpikir tentang bagaimana cara mengirit pengeluaran dan bukan mencari pihak lain untuk disalahkan. Seharusnya kita berpikir tentang bagaimana cara meningkatkan penghasilan, baru setelah itu memikirkan bagaimana cara untuk mengurangi pengeluaran.
Untuk masyarakat borjuis, tolong untuk mawas diri. Subsidi BBM yang sudah disediakan itu bukan untuk kalangan anda, karena subsidi itu merupakan amanat negara yang memiliki arti bahwa rakyat miskin harus dibantu. Tidak perlu berbuat sesuatu yang besar kepada negara. Langkah kecil seperti mulai beralih ke penggunaan BBM nonsubsidi itu sudah cukup membantu.
Lalu Mohamad Arief Prawiranegara
Unit Kegiatan Mahasiswa Penalaran dan Riset Mahasiswa (UKM Prima)
Universitas Mataram
Terhitung sejak tanggal 3 September 2022, pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM subsidi dan non subsidi seperti pertalite dan solar, yang di mana kenaikan pertalite sebelumnya dari kisaran Rp7.600 per liter menjadi Rp10.000 per liter, solar yang sebelumnya Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter. Hal ini memicu reaksi yang beragam dari masyarakat. Berbagai kalangan seperti mahasiswa dan pekerja melakukan aksi demonstrasi di banyak tempat. Tapi apakah dampak naiknya BBM subsidi ini harus membuat kita panik?
Bukan yang pertama
Kenaikan BBM akhir-akhir ini, itu bukan yang pertama. Tercatat kenaikan BBM pernah dilakukan di setiap masa pemerintahan Indonesia seiring dengan pergerakan harga energi global. Terhitung sejak era Presiden Soeharto hingga Presiden Jokowi kenaikan BBM sudah dilakukan sebanyak 12 kali. Tiga di antaranya dilakukan Jokowi pada tahun 2014, 2015, dan baru-baru ini tahun 2022.
Naiknya harga BBM baru-baru ini bukannya tanpa alasan, harga minyak mentah yang melonjak semenjak perang Rusia Ukraina menjadikan lonjakan belanja subsidi BBM dan kompensasi melesat tinggi dari angka sebelumnya Rp170 trilliun menjadi Rp502 trilliun. Pengurangan subsidi energi ini mutlak diperlukan sebagai upaya untuk mencapai target defisit fiskal di bawah 3 persen pada tahun 2023. Sekalipun harga minyak dunia turun, anggaran pemerintah untuk tahun 2022 tetap tinggi dan masih membebani kas negara.
Subsidi jadi bumerang
Subsidi pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada tahun 2005, tepatnya saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, lalu berlanjut pada tahun 2009 dan di 2013 berganti nama menjadi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang bertujuan untuk membantu masyarakat miskin untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan hariannya.
Namun subsidi BBM sekarang ini malah menjadi bumerang. Bagaimana bisa? Hal itu dikarenakan anggaran subsidi yang beredar tidak tepat sasaran. Subsidi BBM yang harusnya dinikmati oleh masyarakat tidak mampu lebih banyak dinikmati oleh kalangan atas. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan presiden Jokowi yang mengatakan bahwa 70 persen penikmat BBM bersubsidi justru termasuk kategori kalangan mampu.
Kuota pertalite yang jumlahnya 23 juta kilo liter untuk tahun 2022 sampai bulan Juni kemarin sudah dikonsumsi oleh masyarakat sekitar 14,9 juta kilo liter, menyisakan 8,8 juta kilo liter sampai akhir tahun. Ini memiliki arti bahwa jika tidak ada tindakan dari pemerintah, kemungkinan besar konsumsi pertalite hingga akhir tahun nanti melampaui kuota yang telah ditetapkan.
Bantuan Pemerintah
Pemerintah tidak sejahat itu. Melihat keruntuhan masyarakat ekonomi kelas bawah akibat pegurangan subsidi BBM, pemerintah mengeluarkan tiga program bantuan sosial. Pertama adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp12,4 triliun untuk 20,65 juta keluarga kurang mampu. Menteri Sosial Tri Rishamaharini menjelaskan dari 20 jutaan keluarga penerima manfaat program tadi, sekitar 18 jutaan di antaranya sudah siap untuk disalurkan melalui PT Pos Indonesia.
Sisanya masih dalam tahap verifikasi ulang. Keluarga penerima manfaat akan menerima sebesar Rp150.000 setiap bulan selama empat bulan ke depan. Uang tunai itu akan disalurkan dalam dua tahap. Sebesar Rp300.000 pada september dan nominal yang sama pada awal Desember.
Kedua adalah program subsidi upah sebesar Rp9,6 trilliun yang ditujukan bagi 16 juta pekerja dengan gaji maksimum Rp3,5 juta per bulan. Nantinya, para pekerja akan menerima manfaat uang tunai sebesar Rp600.000.
Terakhir adalah penggunaan 2 persen dana transfer umum sebesar Rp 2,17 triliun untuk digelontorkan dalam bentuk angkutan umum, bantuan ojek online, dan bantuan nelayan. Tentu ada yang beranggapan kalau dana bantuan yang diberikan pemerintah itu tergolong sedikit. Namun, hakekat bantuan sosial memang bukan untuk menyelamatkan seseorang dari kemiskinan.
Bantuan sosial hanya untuk mencegah masyarakat sampai kelaparan atau sampai jatuh dalam kemiskinan ekstrem. Upaya-upaya pemerintah untuk dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu ada di dalam kegiatan pemberdayaan ekonomi, dimana kegiatan pemberdayaan ekonomi bertujuan untuk membuka investasi agar terbukanya lapangan pekerjaan.
Revisi aturan
Momen naiknya BBM ini bisa menjadi titik balik dari berubahnya aturan terkait pendistribusian subsidi sehingga bisa lebih tepat sasaran. Mengapa demikian? Hal itu dikarenakan untuk memastikan penyaluran BBM subsidi tepat sasaran, regulasi terkait kriteria pembeli BBM subsidi jenis pertalite dan solar subsidi harus segera diterbitkan. Salah satu caranya adalah merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014 tentang
Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM), termasuk juga petunjuk teknis pembelian BBM bersubsidi dengan penugasan, karena di dalam aturan tersebut belum ada pengaturan terkait pertalite, jadi hal tersebut harus diatur.
Jika sudah diatur, diterbitkan, dan dijalankan dengan tegas maka subsidi yang jumlahnya sampai ratusan triliun yang dianggarkan pemerintah untuk BBM bisa kembali ke jalurnya (tepat sasaran).
Efek domino itu semu
Semenjak 2021 negara sudah mensubsidi harga BBM untuk rakyat dan negara kehilangan uang sekitar Rp520 triliun. Pertanyaannya adalah darimana negara mendapatkan uang sebanyak itu? Ya dari hutang, dan kita masih marah-marah pada pemerintah karena hutangnya besar, padahal kita sendiri yang senang karena mendapati subsidi itu, ironi bukan?
Penulis paham bahwa ada yang beranggapan bahwa kenaikan harga BBM subsidi ini akan mengakibatkan efek domino. Misalnya harga kebutuhan pokok naik dan ongkos transportasi juga akan naik. Masyarakat seperti itulah yang gagal memahami masalah yang sesungguhnya. Karena efek domino yang dihasilkan adalah semu atau palsu. Karena yang paling membutuhkan BBM sebenarnya adalah orang-orang yang memiliki kendaraan dan subsidi ini pun mirisnya dinikmati oleh orang-orang kaya.
Kita ambil satu contoh kasus. Ongkos angkutan umum normalnya akan naik setelah harga BBM naik. Lalu Ketika harga BBM turun, tarif angkutan umum tetap tidak turun. Alasan yang biasa digunakan adalah karena harga perangkat mobil yang sekarang menjadi mahal. Harusnya kalau BBM turun, ongkos angkutan umum juga turun, tapi kenapa mereka tidak menurunkan itu? Karena sebenarnya itu bukan soal panic buying yang rasional, bukan seperti itu, tetapi gara-gara masing-masing setiap orang berusaha untuk mencari keuntungan, memancing di air keruh. Jadi mumpung ada momentum di mana mereka bisa naikin harga seenaknya.
Waktunya beralih ke transportasi umum
Selain menaikkan harga subsidi BBM, pilihan jangka panjang yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengurangi ketergantungan rakyat terhadap BBM bersubsidi adalah dengan memberikan perhatian khusus pada transportasi publik yang nyaman dan efisien. Mobil listrik? Tidak menyelesaikan masalah. Mobil listrik hanya mengubah kebiasaan masyarakat menuju ketergantungan yang berbeda yaitu dari mobil bensin menuju mobil listrik yang bersumber dari batu bara (sama-sama merusak alam). Selain itu, kemacetan di jalan raya tetap terjadi.
Pemerintah seharusnya membangun transportasi publik yang terintegrasi, rakyat jadi punya pilihan untuk tidak tergantung pada kendaraan pribadi. Sehingga secara otomatis, mengurangi jumlah konsumsi BBM baik subsidi maupun non-subsidi.
Tidak perlu cemas transportasi publik tidak laku. Contoh nyata masyarakat yang bergantung pada KRL adalah Kota Jakarta. Selama transportasi publik yang dibangun punya rute lengkap, terintegrasi satu sama lain, tepat waktu, murah dan nyaman, transportasi publik pasti diminati banyak orang.
Ubah mindset
Tidak adil jika pemerintah saja yang harus berbenah, masyarakat juga harus. Untuk masyarakat proletar, mari ubah cara pandang kita. Alih-alih berpikir tentang bagaimana cara mengirit pengeluaran dan bukan mencari pihak lain untuk disalahkan. Seharusnya kita berpikir tentang bagaimana cara meningkatkan penghasilan, baru setelah itu memikirkan bagaimana cara untuk mengurangi pengeluaran.
Untuk masyarakat borjuis, tolong untuk mawas diri. Subsidi BBM yang sudah disediakan itu bukan untuk kalangan anda, karena subsidi itu merupakan amanat negara yang memiliki arti bahwa rakyat miskin harus dibantu. Tidak perlu berbuat sesuatu yang besar kepada negara. Langkah kecil seperti mulai beralih ke penggunaan BBM nonsubsidi itu sudah cukup membantu.
Lalu Mohamad Arief Prawiranegara
Unit Kegiatan Mahasiswa Penalaran dan Riset Mahasiswa (UKM Prima)
Universitas Mataram