Mataram,(Antara Mataram) - Pengamat ekonomi dari Universitas Mataram (Unram) Prayitno Basuki menilai perusahaan tambang membangun "smelter" atau pabrik pengolahan dan pemurnian mineral dinilai tidak efisien karena selain investasinya besar juga operasi penambangan tidak berlangsung seterusnya.
"Selain tidak efisien, produk ikutan dari smelter terutama asam sulfat juga berbahaya terhadap lingkungan kalau tidak diikuti oleh industri hilir, seperti pabrik pupuk. Asam sulfat sebagai produk ikutan harus diolah menjadi pupuk, sebab jika dibuang sembarangan sangat membahayakan kesehatan," katanya di Mataram, Rabu.
Ia mencontohkan kalau di kawasan tambang PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) dibangun smelter, siapa yang menjamin akan dibangun pabrik pupuk di daerah itu yang investasinya besar dan apakah ada investor yang berminat membangun.
Dia mengatakan, jika tidak ada pabrik pupuk yang akan memanfaatkan produk ikutan tersebut, tidak mungkin membangun smelter, karena produk sampingan yang sangat membahayakan itu tidak bisa diolah.
"Belum lagi kalau diperhitungkan masa operasi penambangan, jika masa penambangan berakhir, maka baik smelter maupun pabrik pupuk yang dibangun harus ditutup juga, karena bahan bakunya tidak tersedia lagi," ujarnya.
Karena itu, kata Prayitno, sebaiknya pembangunan smelter yang sudah ada di Indonesia, yakni di Gresik dimanfaatkan secara maksimal, seperti selama ini konsentrat yang dihasilkan PTNNT, karena kalau perusahaan tambang diwajibkan membangun smelter tidak efisien.
Menurut dia, kalau seandainya perusahaan tambang beroperasi hanya 16 tahun, kemudian dibangun smelter, maka itu akan sia-sia karena pabrik pengolahan dan pemurnian mineral itu tidak akan dipakai lagi, apalagi diikuti dengan pembangunan pabrik pupuk, akan lebih merugikan lagi.
"Sebenarnya tidak ada masalah kalau misalnya konsentrat Newmont diangkut ke smelter Gresik dibandingkan dengan Newmont membangun smelter sendiri di Sumbawa atau Sumbawa Barat. Akan lebih berbahaya kalau mengirim asam sulfat ke pabrik pupuk," ujarnya.
Prayitno mengatakan, tidak mungkin perusahaan tambang yang sudah berproduksi belasan tahun seperti Newmont akan ditutup hanya karena tidak melaksanakan kewajiban membangun smelter sebagaimana diamanatkan Undang-Undang tentang Minerba.
"Saya yakin akan ada perlawanan dari perusahaan tambang. Bisa saja dengan cara melobi pemerintah pusat atau mengajukan `judicial review` atau uji materi Undang-Undang Minerba. Saya siap kalau diminta membuat konsep untuk `judicial review`," katanya.
"Selain tidak efisien, produk ikutan dari smelter terutama asam sulfat juga berbahaya terhadap lingkungan kalau tidak diikuti oleh industri hilir, seperti pabrik pupuk. Asam sulfat sebagai produk ikutan harus diolah menjadi pupuk, sebab jika dibuang sembarangan sangat membahayakan kesehatan," katanya di Mataram, Rabu.
Ia mencontohkan kalau di kawasan tambang PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) dibangun smelter, siapa yang menjamin akan dibangun pabrik pupuk di daerah itu yang investasinya besar dan apakah ada investor yang berminat membangun.
Dia mengatakan, jika tidak ada pabrik pupuk yang akan memanfaatkan produk ikutan tersebut, tidak mungkin membangun smelter, karena produk sampingan yang sangat membahayakan itu tidak bisa diolah.
"Belum lagi kalau diperhitungkan masa operasi penambangan, jika masa penambangan berakhir, maka baik smelter maupun pabrik pupuk yang dibangun harus ditutup juga, karena bahan bakunya tidak tersedia lagi," ujarnya.
Karena itu, kata Prayitno, sebaiknya pembangunan smelter yang sudah ada di Indonesia, yakni di Gresik dimanfaatkan secara maksimal, seperti selama ini konsentrat yang dihasilkan PTNNT, karena kalau perusahaan tambang diwajibkan membangun smelter tidak efisien.
Menurut dia, kalau seandainya perusahaan tambang beroperasi hanya 16 tahun, kemudian dibangun smelter, maka itu akan sia-sia karena pabrik pengolahan dan pemurnian mineral itu tidak akan dipakai lagi, apalagi diikuti dengan pembangunan pabrik pupuk, akan lebih merugikan lagi.
"Sebenarnya tidak ada masalah kalau misalnya konsentrat Newmont diangkut ke smelter Gresik dibandingkan dengan Newmont membangun smelter sendiri di Sumbawa atau Sumbawa Barat. Akan lebih berbahaya kalau mengirim asam sulfat ke pabrik pupuk," ujarnya.
Prayitno mengatakan, tidak mungkin perusahaan tambang yang sudah berproduksi belasan tahun seperti Newmont akan ditutup hanya karena tidak melaksanakan kewajiban membangun smelter sebagaimana diamanatkan Undang-Undang tentang Minerba.
"Saya yakin akan ada perlawanan dari perusahaan tambang. Bisa saja dengan cara melobi pemerintah pusat atau mengajukan `judicial review` atau uji materi Undang-Undang Minerba. Saya siap kalau diminta membuat konsep untuk `judicial review`," katanya.