Mataram (ANTARA) - Direktur Utama Nada Promotama Emil Mahyudin mengatakan perbedaan antara promotor festival atau konser musik abal-abal atau palsu dan asli salah satunya saat menyikapi kemungkinan acara semisal konser musik yang dia gelar akan mendatangkan kerugian.
"Ketika event kemungkinan rugi, kalau dia promotor bener dia akan tetap laksanakan event-nya sebagai tanggung jawab dia terhadap penontonnya," kata dia di Jakarta, Kamis.
Menurut Emil, keputusan tetap melanjutkan acara walau harus merugi ini umumnya akan mereka anggap sebagai investasi untuk menyelenggarakan acara pada masa mendatang.
Sementara itu, promotor festival musik abal-abal akan menghentikan acara dengan berbagai macam alasan agar tak menanggung rugi semakin besar.
"Artinya butuh promotor yang punya passion. Jadi kalau sudah punya passion, sering urus pentas seni, acara orang, mungkin bisa lah jadi bakat promotor, di luar kapital, sistem cash flow dan supporting system seperti sponsorship dan lainnya," tutur Emil.
Dia mengatakan, beban dan tanggung jawab menggelar sebuah festival musik berat dan besar. Emil mencatat, tahun 2022 bisa menjadi contoh pengalaman buruk yang cukup mencoreng industri konser musik di Indonesia. Saat itu, banyak promotor yang tidak bertanggung jawab memberikan imbas atau efek negatif pada acara-acara serupa lainnya.
"Festival-festival yang bagus, bisa dipercaya, banyak penjualan tiketnya yang akhirnya tertahan karena case-case event lain yang tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya," kata Emil.
Di sisi lain, promotor festival musik yang sesungguhnya umumnya harus siap mental, salah satunya saat mendapat hujatan dari penonton. Menurut dia, penonton masa kini umumnya merasa paling tahu cara menyelenggarakan festival mulai dari jajaran penampil, lokasi acara hingga susunan acara.
"Ketika kami tidak melakukan yang mereka minta itu, dianggap kami promotor abal-abal, padahal kalkulasi promotor itu banyak sekali, belum perizinan dan lainnya," kata Emil.
"Ketika event kemungkinan rugi, kalau dia promotor bener dia akan tetap laksanakan event-nya sebagai tanggung jawab dia terhadap penontonnya," kata dia di Jakarta, Kamis.
Menurut Emil, keputusan tetap melanjutkan acara walau harus merugi ini umumnya akan mereka anggap sebagai investasi untuk menyelenggarakan acara pada masa mendatang.
Sementara itu, promotor festival musik abal-abal akan menghentikan acara dengan berbagai macam alasan agar tak menanggung rugi semakin besar.
"Artinya butuh promotor yang punya passion. Jadi kalau sudah punya passion, sering urus pentas seni, acara orang, mungkin bisa lah jadi bakat promotor, di luar kapital, sistem cash flow dan supporting system seperti sponsorship dan lainnya," tutur Emil.
Dia mengatakan, beban dan tanggung jawab menggelar sebuah festival musik berat dan besar. Emil mencatat, tahun 2022 bisa menjadi contoh pengalaman buruk yang cukup mencoreng industri konser musik di Indonesia. Saat itu, banyak promotor yang tidak bertanggung jawab memberikan imbas atau efek negatif pada acara-acara serupa lainnya.
"Festival-festival yang bagus, bisa dipercaya, banyak penjualan tiketnya yang akhirnya tertahan karena case-case event lain yang tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya," kata Emil.
Di sisi lain, promotor festival musik yang sesungguhnya umumnya harus siap mental, salah satunya saat mendapat hujatan dari penonton. Menurut dia, penonton masa kini umumnya merasa paling tahu cara menyelenggarakan festival mulai dari jajaran penampil, lokasi acara hingga susunan acara.
"Ketika kami tidak melakukan yang mereka minta itu, dianggap kami promotor abal-abal, padahal kalkulasi promotor itu banyak sekali, belum perizinan dan lainnya," kata Emil.