Mataram (Antara Mataram) - Duta Besar RI untuk Uni Emirat Arab Salman Al Farizi mengatakan korban "trafficking" atau perdangan manusia di persatuan negara Arab membutuhkan perhatian pemerintah dan pihak terkait lainnya.
"Para korban `trafficking` di sana (UEA) butuh perhatian kita (pemerintah Indonesia dan pihak terkait), termasuk dari pemerintah di Arab," kata Salman, pada "media gathering" di Mataram, Minggu.
"Media gathering" itu digelar sehari sebelum pelaksanaan "Basic Training on Victim Identification for Consular Officers and Staffs" atau pelatihan dasar identifikasi korban perdagangan manusia, bagi pejabat konsuler dan staf, yang diagendakan 12-16 Mei 2014, di Mataram, ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Salman mengatakan, cukup banyak korban "trafficking" yang ditemukan di bandara negara-negara Arab, yang kebingungan ketika hendak kembali ke Tanah Air.
Mereka kesulitan keluar dari negara itu terkait persoalan dokumen, karena ada yang kabur dari majikannya.
"Itu butuh perhatian kita, dan kami akan terus mengkoordinasikannya dengan pihak-pihak terkait," ujarnya.
Menurut Salman, belakangan ini pihak keimigrasia UEA semakin terbuka dan bersedia menyiapkan konsultan hukum bagi para korban "trafficking".
Kasus "trafficking" di UEA cukup banyak, bahkan ada peningkatan yang mencapai lebih dari 10 ribu setiap tahun.
"Kasus `trafficking` di sana banyak, juga karena ada pihak yang memanfaatkan situasi. Sekali transfer tenaga kerja informal bisa menghasilkan 13 ribu dinar, atau sekitar Rp39 juta jika mengacu pada kurs Rp3.000 per dinar," ujarnya.
Di sisi lain, kata Salman, banyak juga majikan yang komplain ke KBRI di UEA, terkait persoalan transfer tenaga kerja informal atau perpindahan TKI dari satu majikan ke majikan lainnya.
Dia juga meningatkan tenaga kerja Indonesia agar berhati-hati menyikapi tawaran bekerja di negara-negara Arab, yang dilakukan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
"Dua bulan lalu, ada seorang ibu yang berasal dari NTB. Sebelumnya pekerjaannya sebagai guru, kemudian diiming-iming bekerja di Arab sebagai pembimbing TKI, namun akhirnya dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga," ujarnya.
Oleh karena itu, kata Salman, Kemlu terus berupaya agar kasus "trafficking" yang menimpa WNI semakin berkurang, antara lain dengan cara meningkatkan perhatian terhadap WNI di luar negeri.
"Tentunya, bukan hanya korban `trafficking` saja, tetapi juga TKI ilegal, yang patut mendapatkan perhatian. Tentu kami lebih bangga mendatangkan investor untuk menggerakan ekonomi di Tanah Air, agar orang kita bekerja di dalam negeri saja, tanpa harus ke luar negeri," ujarnya. (*)
"Para korban `trafficking` di sana (UEA) butuh perhatian kita (pemerintah Indonesia dan pihak terkait), termasuk dari pemerintah di Arab," kata Salman, pada "media gathering" di Mataram, Minggu.
"Media gathering" itu digelar sehari sebelum pelaksanaan "Basic Training on Victim Identification for Consular Officers and Staffs" atau pelatihan dasar identifikasi korban perdagangan manusia, bagi pejabat konsuler dan staf, yang diagendakan 12-16 Mei 2014, di Mataram, ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Salman mengatakan, cukup banyak korban "trafficking" yang ditemukan di bandara negara-negara Arab, yang kebingungan ketika hendak kembali ke Tanah Air.
Mereka kesulitan keluar dari negara itu terkait persoalan dokumen, karena ada yang kabur dari majikannya.
"Itu butuh perhatian kita, dan kami akan terus mengkoordinasikannya dengan pihak-pihak terkait," ujarnya.
Menurut Salman, belakangan ini pihak keimigrasia UEA semakin terbuka dan bersedia menyiapkan konsultan hukum bagi para korban "trafficking".
Kasus "trafficking" di UEA cukup banyak, bahkan ada peningkatan yang mencapai lebih dari 10 ribu setiap tahun.
"Kasus `trafficking` di sana banyak, juga karena ada pihak yang memanfaatkan situasi. Sekali transfer tenaga kerja informal bisa menghasilkan 13 ribu dinar, atau sekitar Rp39 juta jika mengacu pada kurs Rp3.000 per dinar," ujarnya.
Di sisi lain, kata Salman, banyak juga majikan yang komplain ke KBRI di UEA, terkait persoalan transfer tenaga kerja informal atau perpindahan TKI dari satu majikan ke majikan lainnya.
Dia juga meningatkan tenaga kerja Indonesia agar berhati-hati menyikapi tawaran bekerja di negara-negara Arab, yang dilakukan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
"Dua bulan lalu, ada seorang ibu yang berasal dari NTB. Sebelumnya pekerjaannya sebagai guru, kemudian diiming-iming bekerja di Arab sebagai pembimbing TKI, namun akhirnya dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga," ujarnya.
Oleh karena itu, kata Salman, Kemlu terus berupaya agar kasus "trafficking" yang menimpa WNI semakin berkurang, antara lain dengan cara meningkatkan perhatian terhadap WNI di luar negeri.
"Tentunya, bukan hanya korban `trafficking` saja, tetapi juga TKI ilegal, yang patut mendapatkan perhatian. Tentu kami lebih bangga mendatangkan investor untuk menggerakan ekonomi di Tanah Air, agar orang kita bekerja di dalam negeri saja, tanpa harus ke luar negeri," ujarnya. (*)