Jakarta (ANTARA) - Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai implementasi perdagangan karbon perlu diikuti dengan pengetatan batas atas emisi di masa depan. "Walaupun skema perdagangan karbon sudah tepat diterapkan di Indonesia, batas atas emisi karbon yang ditetapkan pemerintah saat ini masih relatif tinggi dan tidak diperlukan upaya pemilik PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) untuk memenuhinya," kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dikutip dari keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
"Sebagai gambaran, intensitas emisi karbon di PLTU di negara tetangga 20-40 persen lebih rendah dibandingkan Indonesia. Ini membuka peluang pengetatan batas emisi PLTU di masa depan," kata dia lagi.
IESR memandang dengan adanya penentuan pembatasan kuota bagi PLTU akan meningkatkan kesadaran bagi para pelaku usaha terhadap emisi yang dihasilkan dan mengatur operasional PLTU secara lebih efisien. Lebih lanjut, IESR menyatakan perdagangan karbon juga mengatur tentang penggantian atau pembelian karbon (carbon offset) jika unit pembangkit menghasilkan emisi melebihi dari Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU).
Pembangkit tersebut harus membeli emisi dari unit PLTU yang menghasilkan emisi di bawah PTBAE-PU dan/atau membeli Sertifikat Pengurangan Emisi GRK (SPE-GRK). Fabby mengatakan untuk meningkatkan integritas mekanisme "offset" dan dampak penurunan emisi secara nyata dengan menggunakan instrumen SPE, pemerintah harus memastikan standar aktivitas penurunan emisi yang bisa diperjualbelikan di pasar karbon.
"Disarankan agar SPE diutamakan berasal dari pembangkit energi terbarukan untuk menyelaraskan instrumen ini dengan upaya transisi energi untuk mencapai NZE (net zero emission) 2060 atau lebih awal. Instrumen SPE ini bisa menjadi insentif bagi pelaku usaha dan masyarakat membangun pembangkit energi terbarukan," kata Fabby.
Bagi pelaku usaha yang lalai mengikuti perdagangan karbon dengan tidak menyampaikan rencana monitoring emisi gas rumah kaca (GRK) dan revisi laporan emisi GRK, maka akan diberikan peringatan tertulis dari Menteri ESDM dan diberikan alokasi PTBAE-PU untuk perdagangan karbon berikutnya sebesar 75 persen.
Koordinator Proyek Pembiayaan Berkelanjutan Ekonomi Hijau IESR Farah Vianda menuturkan adanya sanksi pembatasan kuota yang ditetapkan oleh pemerintah kepada pelaku usaha yang melanggar aturan merupakan bentuk nyata bahwa pemerintah berkomitmen perdagangan karbon sebagai instrumen untuk mengurangi emisi.
Namun, kata dia, dalam pelaksanaannya diperlukan pemantauan yang ketat. "Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai harga karbon dapat segera diterbitkan untuk memberi kepastian aktivitas perdagangan karbon. Diharapkan harga karbon yang diterapkan tidak terlalu jauh dari rata-rata harga global," ujar Farah.
Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan nilai PTBAE-PU kepada 99 unit PLTU batu bara dari 42 perusahaan yang akan menjadi peserta perdagangan karbon, dengan total kapasitas terpasang mencapai 33.569 megawatt (MW).
Baca juga: Dirut PLN ajak kekuatan internasional berkolaborasi dalam transisi energi
Baca juga: BPDLH salurkan insentif pengurangan emisi Rp1,7 triliun ke Kaltim
Nilai karbon yang diperdagangkan antarunit PLTU di dalam negeri harganya diperkirakan mulai dari 2 hingga 18 dolar AS per ton. IESR menilai hasil perdagangan karbon dapat menjadi sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang apabila dialokasikan dengan tepat dapat mendorong investasi energi terbarukan dan meningkatkan efisiensi energi.
Oleh karena itu, IESR juga mengharapkan agar pengawasan publik terhadap pelaksanaan perdagangan karbon juga perlu dibangun. Upaya masuknya mekanisme perdagangan karbon dalam perdagangan bursa, yang saat ini sedang dikaji oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) akan membuat harga karbon semakin kompetitif dan mempromosikan transparansi sehingga dapat menarik investor dan mengarusutamakan prinsip pembiayaan berkelanjutan.
"Sebagai gambaran, intensitas emisi karbon di PLTU di negara tetangga 20-40 persen lebih rendah dibandingkan Indonesia. Ini membuka peluang pengetatan batas emisi PLTU di masa depan," kata dia lagi.
IESR memandang dengan adanya penentuan pembatasan kuota bagi PLTU akan meningkatkan kesadaran bagi para pelaku usaha terhadap emisi yang dihasilkan dan mengatur operasional PLTU secara lebih efisien. Lebih lanjut, IESR menyatakan perdagangan karbon juga mengatur tentang penggantian atau pembelian karbon (carbon offset) jika unit pembangkit menghasilkan emisi melebihi dari Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU).
Pembangkit tersebut harus membeli emisi dari unit PLTU yang menghasilkan emisi di bawah PTBAE-PU dan/atau membeli Sertifikat Pengurangan Emisi GRK (SPE-GRK). Fabby mengatakan untuk meningkatkan integritas mekanisme "offset" dan dampak penurunan emisi secara nyata dengan menggunakan instrumen SPE, pemerintah harus memastikan standar aktivitas penurunan emisi yang bisa diperjualbelikan di pasar karbon.
"Disarankan agar SPE diutamakan berasal dari pembangkit energi terbarukan untuk menyelaraskan instrumen ini dengan upaya transisi energi untuk mencapai NZE (net zero emission) 2060 atau lebih awal. Instrumen SPE ini bisa menjadi insentif bagi pelaku usaha dan masyarakat membangun pembangkit energi terbarukan," kata Fabby.
Bagi pelaku usaha yang lalai mengikuti perdagangan karbon dengan tidak menyampaikan rencana monitoring emisi gas rumah kaca (GRK) dan revisi laporan emisi GRK, maka akan diberikan peringatan tertulis dari Menteri ESDM dan diberikan alokasi PTBAE-PU untuk perdagangan karbon berikutnya sebesar 75 persen.
Koordinator Proyek Pembiayaan Berkelanjutan Ekonomi Hijau IESR Farah Vianda menuturkan adanya sanksi pembatasan kuota yang ditetapkan oleh pemerintah kepada pelaku usaha yang melanggar aturan merupakan bentuk nyata bahwa pemerintah berkomitmen perdagangan karbon sebagai instrumen untuk mengurangi emisi.
Namun, kata dia, dalam pelaksanaannya diperlukan pemantauan yang ketat. "Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai harga karbon dapat segera diterbitkan untuk memberi kepastian aktivitas perdagangan karbon. Diharapkan harga karbon yang diterapkan tidak terlalu jauh dari rata-rata harga global," ujar Farah.
Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan nilai PTBAE-PU kepada 99 unit PLTU batu bara dari 42 perusahaan yang akan menjadi peserta perdagangan karbon, dengan total kapasitas terpasang mencapai 33.569 megawatt (MW).
Baca juga: Dirut PLN ajak kekuatan internasional berkolaborasi dalam transisi energi
Baca juga: BPDLH salurkan insentif pengurangan emisi Rp1,7 triliun ke Kaltim
Nilai karbon yang diperdagangkan antarunit PLTU di dalam negeri harganya diperkirakan mulai dari 2 hingga 18 dolar AS per ton. IESR menilai hasil perdagangan karbon dapat menjadi sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang apabila dialokasikan dengan tepat dapat mendorong investasi energi terbarukan dan meningkatkan efisiensi energi.
Oleh karena itu, IESR juga mengharapkan agar pengawasan publik terhadap pelaksanaan perdagangan karbon juga perlu dibangun. Upaya masuknya mekanisme perdagangan karbon dalam perdagangan bursa, yang saat ini sedang dikaji oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) akan membuat harga karbon semakin kompetitif dan mempromosikan transparansi sehingga dapat menarik investor dan mengarusutamakan prinsip pembiayaan berkelanjutan.