Mataram, 29/8 (Antara) - Kantor Otoritas Jasa Keuangan Nusa Tenggara Barat meminta pengurus Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia di wilayah kerjanya untuk bisa menekan persentase "non performing loan" (NPL) atau kredit macet hingga mencapai lima persen pada akhir 2014.
"Persentase NPL Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Nusa Tenggara Barat (NTB) di atas 10 persen atau jauh di atas ketentuan sebesar lima persen," kata Kepala Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) NTB Yusri di Mataram, Jumat.
Data yang dirilis Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) NTB, tercatat persentase NPL BPR di NTB pada triwulan II/2014 sebesar 10,01 persen atau lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya 10,46 persen.
Yusri mengaku sudah memanggil seluruh pengurus Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) NTB untuk memastikan komitmen mereka menekan persentase kredit macet.
Mereka disarankan agar menagih seluruh jaminan kredit dari para nasabahnya sebagai salah satu cara mencapai target lima persen NPL hingga akhir 2014. Jika hal itu tidak bisa dilakukan, kata dia, BPR bisa melakukan hapus buku.
"Itu solusi yang saya sarankan. Saya berharap pengelola BPR berkomitmen untuk memperbaiki kinerjanya," ucap Yusri.
Masih tingginya persentase NPL BPR di NTB, menurut dia, disebabkan faktor internal dan eksternal.
Dari sisi internal, yakni masih rendahnya analisis risiko penyaluran kredit dan integritas sumber daya manusia (SDM) di BPR itu sendiri.
Sementara dari sisi eksternal, lanjut Yusri, masih adanya debitur yang beritikad kurang baik atau membandel tidak mengembalikan pinjaman. Bahkan menjual agunan di bawah tangan, meskipun surat-suratnya sudah dijaminkan di bank. Hal itu tentu menyulitkan bank untuk melakukan penyitaan aset yang menjadi jaminan.
Selain itu, adanya risiko bisnis yang dialami oleh debitur. Artinya setelah menerima pinjaman untuk mengembangkan usaha, tapi di tengah perjalanan terjadi kegagalan, sehingga tidak mampu mengembalikan kredit.
"Dari sekian faktor itu, saya lebih menyoroti sisi internal BPR, terutama dalam hal menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan kredit. Jadi harus dilakukan analisis lebih mendalam dulu sebelum memberikan pinjaman," ujarnya.
Kondisi persentase kredit macet BPR yang beroperasi di NTB, kata dia, jauh berbeda dengan yang terjadi di Bali, di mana nilai kredit macetnya hampir nol persen.
"Mungkin faktor sosial budaya masyarakat Bali ikut menentukan. Kalau masyarakat di sana sangat takut tidak mengembalikan utang," kata Yusri.
"Persentase NPL Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Nusa Tenggara Barat (NTB) di atas 10 persen atau jauh di atas ketentuan sebesar lima persen," kata Kepala Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) NTB Yusri di Mataram, Jumat.
Data yang dirilis Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) NTB, tercatat persentase NPL BPR di NTB pada triwulan II/2014 sebesar 10,01 persen atau lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya 10,46 persen.
Yusri mengaku sudah memanggil seluruh pengurus Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) NTB untuk memastikan komitmen mereka menekan persentase kredit macet.
Mereka disarankan agar menagih seluruh jaminan kredit dari para nasabahnya sebagai salah satu cara mencapai target lima persen NPL hingga akhir 2014. Jika hal itu tidak bisa dilakukan, kata dia, BPR bisa melakukan hapus buku.
"Itu solusi yang saya sarankan. Saya berharap pengelola BPR berkomitmen untuk memperbaiki kinerjanya," ucap Yusri.
Masih tingginya persentase NPL BPR di NTB, menurut dia, disebabkan faktor internal dan eksternal.
Dari sisi internal, yakni masih rendahnya analisis risiko penyaluran kredit dan integritas sumber daya manusia (SDM) di BPR itu sendiri.
Sementara dari sisi eksternal, lanjut Yusri, masih adanya debitur yang beritikad kurang baik atau membandel tidak mengembalikan pinjaman. Bahkan menjual agunan di bawah tangan, meskipun surat-suratnya sudah dijaminkan di bank. Hal itu tentu menyulitkan bank untuk melakukan penyitaan aset yang menjadi jaminan.
Selain itu, adanya risiko bisnis yang dialami oleh debitur. Artinya setelah menerima pinjaman untuk mengembangkan usaha, tapi di tengah perjalanan terjadi kegagalan, sehingga tidak mampu mengembalikan kredit.
"Dari sekian faktor itu, saya lebih menyoroti sisi internal BPR, terutama dalam hal menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan kredit. Jadi harus dilakukan analisis lebih mendalam dulu sebelum memberikan pinjaman," ujarnya.
Kondisi persentase kredit macet BPR yang beroperasi di NTB, kata dia, jauh berbeda dengan yang terjadi di Bali, di mana nilai kredit macetnya hampir nol persen.
"Mungkin faktor sosial budaya masyarakat Bali ikut menentukan. Kalau masyarakat di sana sangat takut tidak mengembalikan utang," kata Yusri.