Geneva (ANTARA) - Direktur Eksekutif The Global Fund Peter Sands pada Jumat mengatakan bahwa Tuberkulosis (TB) saat ini perlu dipandang sebagai pandemi setelah 30 tahun dikategorikan sebagai darurat kesehatan global.
"TB adalah penyakit yang telah ada selama ribuan tahun," kata Sands dalam sebuah pernyataan. "Kami memiliki alat untuk melawannya, dan kami telah membuktikan bahwa kami dapat mengalahkannya. Kami berhasil menghilangkan penyakit itu sebagai ancaman kesehatan masyarakat di hampir semua negara terkaya di dunia," kata dia.
Sekitar 141 tahun yang lalu--24 Maret 1882-- seorang ilmuwan Jerman Robert Koch pertama kali menyampaikan temuannya tentang bakteri penyebab TB, yang dapat menyerang bagian tubuh mana pun, seperti ginjal, tulang belakang, dan otak.
Namun, menurut Sands, hingga saat ini jutaan orang di dunia masih terus menderita dan meninggal karena sebuah penyakit yang dapat dicegah, diobati, dan disembuhkan itu. Dia mengatakan TB adalah contoh dari suatu ketidakadilan karena apabila suatu penyakit tidak mengancam negara-negara kaya maka penyakit tersebut tidak akan dianggap sebagai pandemi.
"Tapi TB memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai pandemi," ucap Sands menegaskan. Menurut Sands, TB kemungkinan akan membunuh lebih banyak orang di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah pada 2023--lebih banyak dibandingkan COVID-19--dan menjadi penyakit menular paling mematikan di dunia, dengan 1,6 juta orang meninggal karena TB pada 2021.
Meskipun TB dapat disembuhkan, kemajuan untuk memeranginya cenderung sangat lambat. Dalam beberapa dekade terakhir, kematian akibat TB hanya turun 2 persen per tahun, kata Sands. Sands mengatakan bahwa The Global Fund memberikan 77 persen dukungan finansial atau sekitar 800 juta dolar AS (sekitar Rp12 triliun) per tahun kepada negara-negara yang bergelut melawan TB.
Jumlah kematian akibat TB meningkat
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Ghebreyesus pada Rabu mengatakan bahwa berbagai tes, perawatan, dan vaksin terhadap TB telah menyelamatkan banyak nyawa manusia. Dia mengatakan bahwa sejak 2000, kematian akibat TB telah menurun hampir 40 persen secara global, dan lebih dari 74 juta orang telah mendapatkan akses ke layanan TB.
“Pandemi COVID-19 dan konflik di banyak negara telah sangat mengganggu layanan untuk mencegah, mendeteksi, dan mengobati TB,” kata Tedros. "Akibat kondisi itu, WHO pada tahun lalu melaporkan peningkatan kematian akibat TB untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade."
Baca juga: Inspirasi NTB dan Pemkot Mataram berkolaborasi eliminasi TBC pada 2030
Baca juga: Dinas Kesehatan Kota Mataram berkolaborasi untuk tanggulangi TBC
Dia menjelaskan bahwa satu-satunya vaksin yang dikembangkan untuk melawan TB, vaksin BCG, telah berusia lebih dari 100 tahun dan tidak cukup melindungi remaja dan orang dewasa, yang bertanggung jawab atas sebagian besar penularan penyakit.
Sumber: Anadolu
"TB adalah penyakit yang telah ada selama ribuan tahun," kata Sands dalam sebuah pernyataan. "Kami memiliki alat untuk melawannya, dan kami telah membuktikan bahwa kami dapat mengalahkannya. Kami berhasil menghilangkan penyakit itu sebagai ancaman kesehatan masyarakat di hampir semua negara terkaya di dunia," kata dia.
Sekitar 141 tahun yang lalu--24 Maret 1882-- seorang ilmuwan Jerman Robert Koch pertama kali menyampaikan temuannya tentang bakteri penyebab TB, yang dapat menyerang bagian tubuh mana pun, seperti ginjal, tulang belakang, dan otak.
Namun, menurut Sands, hingga saat ini jutaan orang di dunia masih terus menderita dan meninggal karena sebuah penyakit yang dapat dicegah, diobati, dan disembuhkan itu. Dia mengatakan TB adalah contoh dari suatu ketidakadilan karena apabila suatu penyakit tidak mengancam negara-negara kaya maka penyakit tersebut tidak akan dianggap sebagai pandemi.
"Tapi TB memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai pandemi," ucap Sands menegaskan. Menurut Sands, TB kemungkinan akan membunuh lebih banyak orang di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah pada 2023--lebih banyak dibandingkan COVID-19--dan menjadi penyakit menular paling mematikan di dunia, dengan 1,6 juta orang meninggal karena TB pada 2021.
Meskipun TB dapat disembuhkan, kemajuan untuk memeranginya cenderung sangat lambat. Dalam beberapa dekade terakhir, kematian akibat TB hanya turun 2 persen per tahun, kata Sands. Sands mengatakan bahwa The Global Fund memberikan 77 persen dukungan finansial atau sekitar 800 juta dolar AS (sekitar Rp12 triliun) per tahun kepada negara-negara yang bergelut melawan TB.
Jumlah kematian akibat TB meningkat
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Ghebreyesus pada Rabu mengatakan bahwa berbagai tes, perawatan, dan vaksin terhadap TB telah menyelamatkan banyak nyawa manusia. Dia mengatakan bahwa sejak 2000, kematian akibat TB telah menurun hampir 40 persen secara global, dan lebih dari 74 juta orang telah mendapatkan akses ke layanan TB.
“Pandemi COVID-19 dan konflik di banyak negara telah sangat mengganggu layanan untuk mencegah, mendeteksi, dan mengobati TB,” kata Tedros. "Akibat kondisi itu, WHO pada tahun lalu melaporkan peningkatan kematian akibat TB untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade."
Baca juga: Inspirasi NTB dan Pemkot Mataram berkolaborasi eliminasi TBC pada 2030
Baca juga: Dinas Kesehatan Kota Mataram berkolaborasi untuk tanggulangi TBC
Dia menjelaskan bahwa satu-satunya vaksin yang dikembangkan untuk melawan TB, vaksin BCG, telah berusia lebih dari 100 tahun dan tidak cukup melindungi remaja dan orang dewasa, yang bertanggung jawab atas sebagian besar penularan penyakit.
Sumber: Anadolu