Mataram (ANTARA) - Biro Konsultan dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Mataram menyebutkan kasus dugaan pelecehan seksual terhadap 10 orang mahasiswi yang sebelumnya berada di bawah penanganan Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat, bukan masuk kategori delik aduan.
"Kasus ini bukan masuk delik aduan karena yang kami laporkan itu berkaitan dengan Pasal 286 KUHP. Itu masuk delik biasa," kata Direktur BKBH Unram Joko Jumadi di Mataram, Selasa.
Dalam Pasal 286 KUHP menjelaskan barang siapa bersetubuh dengan wanita yang bukan istrinya atau di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya maka orang tersebut terancam pidana penjara paling lama 9 tahun.
Joko yang juga dosen Fakultas Hukum Unram ini mengatakan bahwa pencabutan laporan oleh sejumlah korban tidak bisa menjadi bahan pertimbangan kepolisian untuk tidak melanjutkan penyelidikan.
"Jadi, walaupun laporan dicabut, proses hukum pidana tetap harus jalan karena dalam kasus ini peristiwa pidananya sudah terjadi," ujarnya.
Begitu pula dengan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif. Kasus yang berkaitan dengan tindak pidana asusila, tidak bisa diselesaikan dengan upaya perdamaian antara korban dengan pelaku.
Mengenai sikap Polda NTB yang menyarankan agar korban membuat laporan baru atau mencabut pernyataan perihal pencabutan laporan agar kasus bisa berlanjut, Joko mengatakan bahwa korban tidak perlu melakukan hal tersebut.
Menurut dia, laporan sebelumnya dengan bukti dari keterangan maupun hasil visum korban sudah bisa menjadi bahan kepolisian meningkatkan status penanganan perkara ke tahap penyidikan.
"Jadi, laporan sebelumnya sudah ada, kenapa harus lapor lagi. Bagaimana sih Polda NTB ini," ucap dia.
Dalam upaya pendampingan hukum terhadap korban, Joko bersama tim dari BKBH Unram dan sekelompok mahasiswa menggelar unjuk rasa di depan Markas Polda NTB, Selasa (21/3).
Massa aksi menuntut Polda NTB kembali melanjutkan penanganan kasus dugaan pelecehan seksual terhadap 10 orang mahasiswi tersebut.
Pada awal Desember 2022, Polda NTB menyatakan bahwa penanganan kasus dugaan pelecehan seksual terhadap 10 mahasiswi di Kota Mataram ini tidak dapat berlanjut ke tahap penyidikan.
Adanya pencabutan laporan dari pihak korban itu yang membuat unsur pidana dalam persoalan ini belum terpenuhi.
Dalam persoalan ini pun pihak terlapor berinisial FA (60), sebelumnya telah mengakui perbuatan asusila terhadap korban. Namun, hal itu belum juga bisa menjadi kelengkapan pemenuhan alat bukti.
Kasus yang berada di bawah penanganan Subdirektorat Remaja, Anak, dan Wanita Reserse Kriminal Umum Polda NTB ini sebelumnya datang dari adanya laporan korban.
Korban mengajukan laporan ke kepolisian dengan pendampingan Tim BKBH Unram. Dalam laporan, BKBH melampirkan modus terlapor melakukan pelecehan seksual.
Selain menjanjikan lulus perguruan tinggi, AF juga diduga memainkan peran pengobatan spiritual kepada korban, menjanjikan skripsi berjalan lancar, dan juga bekerja magang di notaris.
Dari laporan, BKBH Unram turut menyertakan keterangan bahwa terlapor AF menjalankan modus kepada 10 korban mahasiswi dalam periode Oktober 2021 hingga Maret 2022.
"Kasus ini bukan masuk delik aduan karena yang kami laporkan itu berkaitan dengan Pasal 286 KUHP. Itu masuk delik biasa," kata Direktur BKBH Unram Joko Jumadi di Mataram, Selasa.
Dalam Pasal 286 KUHP menjelaskan barang siapa bersetubuh dengan wanita yang bukan istrinya atau di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya maka orang tersebut terancam pidana penjara paling lama 9 tahun.
Joko yang juga dosen Fakultas Hukum Unram ini mengatakan bahwa pencabutan laporan oleh sejumlah korban tidak bisa menjadi bahan pertimbangan kepolisian untuk tidak melanjutkan penyelidikan.
"Jadi, walaupun laporan dicabut, proses hukum pidana tetap harus jalan karena dalam kasus ini peristiwa pidananya sudah terjadi," ujarnya.
Begitu pula dengan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif. Kasus yang berkaitan dengan tindak pidana asusila, tidak bisa diselesaikan dengan upaya perdamaian antara korban dengan pelaku.
Mengenai sikap Polda NTB yang menyarankan agar korban membuat laporan baru atau mencabut pernyataan perihal pencabutan laporan agar kasus bisa berlanjut, Joko mengatakan bahwa korban tidak perlu melakukan hal tersebut.
Menurut dia, laporan sebelumnya dengan bukti dari keterangan maupun hasil visum korban sudah bisa menjadi bahan kepolisian meningkatkan status penanganan perkara ke tahap penyidikan.
"Jadi, laporan sebelumnya sudah ada, kenapa harus lapor lagi. Bagaimana sih Polda NTB ini," ucap dia.
Dalam upaya pendampingan hukum terhadap korban, Joko bersama tim dari BKBH Unram dan sekelompok mahasiswa menggelar unjuk rasa di depan Markas Polda NTB, Selasa (21/3).
Massa aksi menuntut Polda NTB kembali melanjutkan penanganan kasus dugaan pelecehan seksual terhadap 10 orang mahasiswi tersebut.
Pada awal Desember 2022, Polda NTB menyatakan bahwa penanganan kasus dugaan pelecehan seksual terhadap 10 mahasiswi di Kota Mataram ini tidak dapat berlanjut ke tahap penyidikan.
Adanya pencabutan laporan dari pihak korban itu yang membuat unsur pidana dalam persoalan ini belum terpenuhi.
Dalam persoalan ini pun pihak terlapor berinisial FA (60), sebelumnya telah mengakui perbuatan asusila terhadap korban. Namun, hal itu belum juga bisa menjadi kelengkapan pemenuhan alat bukti.
Kasus yang berada di bawah penanganan Subdirektorat Remaja, Anak, dan Wanita Reserse Kriminal Umum Polda NTB ini sebelumnya datang dari adanya laporan korban.
Korban mengajukan laporan ke kepolisian dengan pendampingan Tim BKBH Unram. Dalam laporan, BKBH melampirkan modus terlapor melakukan pelecehan seksual.
Selain menjanjikan lulus perguruan tinggi, AF juga diduga memainkan peran pengobatan spiritual kepada korban, menjanjikan skripsi berjalan lancar, dan juga bekerja magang di notaris.
Dari laporan, BKBH Unram turut menyertakan keterangan bahwa terlapor AF menjalankan modus kepada 10 korban mahasiswi dalam periode Oktober 2021 hingga Maret 2022.