Jakarta (ANTARA) - Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan Kemenkes (Kemenkes) RI Setiaji mengemukakan sistem informasi kesehatan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan bertujuan untuk efisiensi biaya hingga keamanan pengguna.
"Sistem informasi kesehatan penting diatur dalam RUU Kesehatan. Dalam undang-undang sebelumnya, memang sudah diatur, tapi belum secara spesifik terkait integrasi, standarisasi, termasuk perlindungan data pribadi," kata Setiaji dalam agenda Sosialisasi RUU Kesehatan di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan jumlah kunjungan pasien di seluruh fasyankes selama 2014--2021 meningkat sekitar 152 persen atau setara 233,1 juta orang. Kondisi itu membutuhkan tata kelola data secara digital untuk efisiensi pelayanan kesehatan.
Selain itu pengelolaan rekam medis pasien secara manual memerlukan biaya mencapai Rp2 miliar per tahun untuk pengadaan kertas yang dikeluarkan rumah sakit tipe C. "Biaya tersebut belum termasuk beban tidak efisien pada tenaga kesehatan," katanya.
Menurut Setiaji, petugas puskesmas atau rumah sakit perlu memasukkan informasi kesehatan ke dalam 60 hingga 70 sistem informasi per hari. "Tata kelola pelayanan kesehatan di fasyankes saat ini menjadi tidak efisien. Data kesehatan pribadi yang tidak terintegrasi, tidak akurat dan memiliki interoperabilitas yang rendah akibat administrasi kesehatan yang tidak efisien," katanya.
Tantangan lainnya, kata Setiaji, masyarakat tidak dapat memantau riwayat kesehatan pribadi karena rekam medis terpencar di berbagai pelayanan kesehatan yang pernah diakses. Menurutnya, substansi transformasi sistem kesehatan dalam RUU Kesehatan adalah mendorong pemanfaatan teknologi dan sistem informasi kesehatan untuk mewujudkan efisiensi pelayanan kesehatan.
"Sasaran dan posisi pemerintah adalah mengintegrasikan sistem informasi kesehatan untuk mempermudah masyarakat dalam mengakses layanan dan data kesehatan dirinya," kata Setiaji.
Pemerintah juga menginginkan simplifikasi, integrasi, dan standarisasi sistem informasi, agar tenaga kesehatan dapat fokus pada pelayanan. "Kami membangun kerja sama antara peneliti dan industri untuk menciptakan inovasi kesehatan, pemanfaatan bioteknologi, serta mengatur inovasi teknologi kesehatan," katanya.
Baca juga: Kemenkes menunggu hasil audit kematian anak selesai imunisasi tetanus
Baca juga: WHO banyak berkontribusi untuk kesehatan di Indonesia
Setiaji mengatakan RUU Kesehatan mengatur sumber informasi sistem kesehatan berasal dari fasyankes, pemerintah, BPJS, instansi kesehatan, kegiatan masyarakat, hingga pelaporan mandiri. Pihak penyelenggara sistem informasi kesehatan, menurut dia, adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, fasyankes, dan masyarakat. Terkait perlindungan data pengguna, kata dia, Kemenkes telah menjaring masukan masyarakat melalui rangkaian agenda public hearing.
"Bagaimana kami menjamin hak subjek data pribadi, kapan waktu disimpan, apakah boleh dihapus, bagaimana kondisi data itu bisa dihapus, dan bagaimana data itu tersedia setiap saat, dan dijamin keamanannya," kata Setiaji.
"Sistem informasi kesehatan penting diatur dalam RUU Kesehatan. Dalam undang-undang sebelumnya, memang sudah diatur, tapi belum secara spesifik terkait integrasi, standarisasi, termasuk perlindungan data pribadi," kata Setiaji dalam agenda Sosialisasi RUU Kesehatan di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan jumlah kunjungan pasien di seluruh fasyankes selama 2014--2021 meningkat sekitar 152 persen atau setara 233,1 juta orang. Kondisi itu membutuhkan tata kelola data secara digital untuk efisiensi pelayanan kesehatan.
Selain itu pengelolaan rekam medis pasien secara manual memerlukan biaya mencapai Rp2 miliar per tahun untuk pengadaan kertas yang dikeluarkan rumah sakit tipe C. "Biaya tersebut belum termasuk beban tidak efisien pada tenaga kesehatan," katanya.
Menurut Setiaji, petugas puskesmas atau rumah sakit perlu memasukkan informasi kesehatan ke dalam 60 hingga 70 sistem informasi per hari. "Tata kelola pelayanan kesehatan di fasyankes saat ini menjadi tidak efisien. Data kesehatan pribadi yang tidak terintegrasi, tidak akurat dan memiliki interoperabilitas yang rendah akibat administrasi kesehatan yang tidak efisien," katanya.
Tantangan lainnya, kata Setiaji, masyarakat tidak dapat memantau riwayat kesehatan pribadi karena rekam medis terpencar di berbagai pelayanan kesehatan yang pernah diakses. Menurutnya, substansi transformasi sistem kesehatan dalam RUU Kesehatan adalah mendorong pemanfaatan teknologi dan sistem informasi kesehatan untuk mewujudkan efisiensi pelayanan kesehatan.
"Sasaran dan posisi pemerintah adalah mengintegrasikan sistem informasi kesehatan untuk mempermudah masyarakat dalam mengakses layanan dan data kesehatan dirinya," kata Setiaji.
Pemerintah juga menginginkan simplifikasi, integrasi, dan standarisasi sistem informasi, agar tenaga kesehatan dapat fokus pada pelayanan. "Kami membangun kerja sama antara peneliti dan industri untuk menciptakan inovasi kesehatan, pemanfaatan bioteknologi, serta mengatur inovasi teknologi kesehatan," katanya.
Baca juga: Kemenkes menunggu hasil audit kematian anak selesai imunisasi tetanus
Baca juga: WHO banyak berkontribusi untuk kesehatan di Indonesia
Setiaji mengatakan RUU Kesehatan mengatur sumber informasi sistem kesehatan berasal dari fasyankes, pemerintah, BPJS, instansi kesehatan, kegiatan masyarakat, hingga pelaporan mandiri. Pihak penyelenggara sistem informasi kesehatan, menurut dia, adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, fasyankes, dan masyarakat. Terkait perlindungan data pengguna, kata dia, Kemenkes telah menjaring masukan masyarakat melalui rangkaian agenda public hearing.
"Bagaimana kami menjamin hak subjek data pribadi, kapan waktu disimpan, apakah boleh dihapus, bagaimana kondisi data itu bisa dihapus, dan bagaimana data itu tersedia setiap saat, dan dijamin keamanannya," kata Setiaji.