Mataram, (Antara) - Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Nusa Tenggara Barat berupaya menggenjot produksi cabai di luar musim dengan memanfaatkan lahan kurang produktif sebagai upaya menekan gejolak harga komoditas tersebut.
"Kami ingin mengurangi tekanan dengan menggalakkan menanam cabai di luar kawasan dan luar musim, tapi masalah harga tidak bisa kami intervensi," kata Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Nusa Tenggara Barat (NTB) Husni Fahri, di Mataram, Selasa.
Ia menyebutkan, produksi rata-rata cabai di NTB per tahun mencapai 30 ribu ton, sedangkan tingkat konsumsi hanya 10 ribu ton. Oleh sebab itu, sisanya diperdagangkan ke luar daerah oleh para pengusaha antarpulau.
Adanya perdagangan antarpulau tersebut menyebabkan gejolak harga komoditas tersebut. Terlebih saat ini, stok cabai di Pulau Jawa, Jakarta dan sekitarnya berkurang.
"Harga cabai di luar daerah mempengaruhi harga di NTB. Kalau kondisi stok cabai di daerah lain tidak ada akan mempengaruhi harga di daerah, meskipun NTB surplus komoditas tersebut," ujarnya.
Menurut Husni, pihaknya tidak bisa mengintervensi harga cabai di pasaran. Persoalan harga juga menjadi kewenangan instansi lain, dalam hal ini Dinas Perindustrian dan Perdagangan.
Oleh sebab itu, pihaknya sudah mengusulkan agar ada kebijakan terkait masalah cabai yang terus menjadi penyumbang inflasi setiap tahun, meskipun NTB sebagai daerah surplus produksi.
"Harus ada kebijakan terkait dengan harga cabai, namun itu bukan kewenangan kami. Kami hanya bisa mengusulkan melalui rapat koordinasi," ucapnya.
Harga cabai keriting di Kabupaten Bima, NTB, saat ini sudah berada di kisaran Rp80.000 per kilogram (kg) akibat berkurangnya pasokan dari Pulau Lombok.
Sementara harga cabai rawit di kisaran Rp60.000/kg. Kondisi harga mahal tersebut terjadi di seluruh kabupaten/kota di NTB, termasuk di Pulau Lombok, sebagai daerah sentra terbesar.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan NT H Lalu Imam Maliki menilai harga cabai rawit di daerahnya tidak wajar jika melihat status sebagai sentra produksi dan tingkat konsumsi.
"Penilaian tidak wajar ini juga dilontarkan dirjen yang saya temui ketika melakukan tinjauan lapangan menjelang berakhirnya panen cabai rawit di Pulau Lombok beberapa hari lalu," katanya.
Ia mengatakan, pihaknya sudah melakukan berbagai upaya untuk mengendalikan lonjakan harga cabai, di antaranya meminta para pengusaha antarpulau untuk mengurangi volume pengiriman ke luar daerah dan memperhatikan kebutuhan lokal.
"Kami meminta mereka mengurangi pengiriman. Memang keuntungan pasti berkurang, tapi mereka juga perlu memperhatikan kondisi di daerah," ujarnya.
Pemerintah daerah, kata dia, juga sudah mendorong para petani untuk menerapkan teknologi pascapanen berupa pengeringan cabai ketika harga relatif lebih murah pada saat musim panen raya.
Cabai yang sudah kering itu kemudian bisa dijual kembali di luar musim, sehingga petani bisa memperoleh harga yang layak.
"Pemerintah juga sudah mendorong petani untuk menerapkan pola tanam cabai menggunakan rumah kaca pada saat musim hujan. Ini program pemerintah pusat," kata Imam.
"Kami ingin mengurangi tekanan dengan menggalakkan menanam cabai di luar kawasan dan luar musim, tapi masalah harga tidak bisa kami intervensi," kata Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Nusa Tenggara Barat (NTB) Husni Fahri, di Mataram, Selasa.
Ia menyebutkan, produksi rata-rata cabai di NTB per tahun mencapai 30 ribu ton, sedangkan tingkat konsumsi hanya 10 ribu ton. Oleh sebab itu, sisanya diperdagangkan ke luar daerah oleh para pengusaha antarpulau.
Adanya perdagangan antarpulau tersebut menyebabkan gejolak harga komoditas tersebut. Terlebih saat ini, stok cabai di Pulau Jawa, Jakarta dan sekitarnya berkurang.
"Harga cabai di luar daerah mempengaruhi harga di NTB. Kalau kondisi stok cabai di daerah lain tidak ada akan mempengaruhi harga di daerah, meskipun NTB surplus komoditas tersebut," ujarnya.
Menurut Husni, pihaknya tidak bisa mengintervensi harga cabai di pasaran. Persoalan harga juga menjadi kewenangan instansi lain, dalam hal ini Dinas Perindustrian dan Perdagangan.
Oleh sebab itu, pihaknya sudah mengusulkan agar ada kebijakan terkait masalah cabai yang terus menjadi penyumbang inflasi setiap tahun, meskipun NTB sebagai daerah surplus produksi.
"Harus ada kebijakan terkait dengan harga cabai, namun itu bukan kewenangan kami. Kami hanya bisa mengusulkan melalui rapat koordinasi," ucapnya.
Harga cabai keriting di Kabupaten Bima, NTB, saat ini sudah berada di kisaran Rp80.000 per kilogram (kg) akibat berkurangnya pasokan dari Pulau Lombok.
Sementara harga cabai rawit di kisaran Rp60.000/kg. Kondisi harga mahal tersebut terjadi di seluruh kabupaten/kota di NTB, termasuk di Pulau Lombok, sebagai daerah sentra terbesar.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan NT H Lalu Imam Maliki menilai harga cabai rawit di daerahnya tidak wajar jika melihat status sebagai sentra produksi dan tingkat konsumsi.
"Penilaian tidak wajar ini juga dilontarkan dirjen yang saya temui ketika melakukan tinjauan lapangan menjelang berakhirnya panen cabai rawit di Pulau Lombok beberapa hari lalu," katanya.
Ia mengatakan, pihaknya sudah melakukan berbagai upaya untuk mengendalikan lonjakan harga cabai, di antaranya meminta para pengusaha antarpulau untuk mengurangi volume pengiriman ke luar daerah dan memperhatikan kebutuhan lokal.
"Kami meminta mereka mengurangi pengiriman. Memang keuntungan pasti berkurang, tapi mereka juga perlu memperhatikan kondisi di daerah," ujarnya.
Pemerintah daerah, kata dia, juga sudah mendorong para petani untuk menerapkan teknologi pascapanen berupa pengeringan cabai ketika harga relatif lebih murah pada saat musim panen raya.
Cabai yang sudah kering itu kemudian bisa dijual kembali di luar musim, sehingga petani bisa memperoleh harga yang layak.
"Pemerintah juga sudah mendorong petani untuk menerapkan pola tanam cabai menggunakan rumah kaca pada saat musim hujan. Ini program pemerintah pusat," kata Imam.