Mataram (ANTARA) - Produksi garam di Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam satu tahun terakhir menurun drastis akibat pengaruh cuaca ekstrem yang melanda wilayah Indonesia.
"Berdasarkan data, jumlah produksi garam di NTB di tahun 2022 sebanyak 86.429 ton. Angka ini menurun sebanyak 29 ribu ton dari produksi tahun 2021. Produksi menurun karena cuaca ekstrem. Memang sekarang masuk kemarau, tapi hujan kan masih turun," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTB Muslim di Mataram, Jumat.
Dia mengatakan turunnya produksi garam tidak hanya terjadi di NTB, namun juga di semua daerah di Indonesia. "Penurunan ini karena hujan yang berkepanjangan, sehingga petani garam di beberapa wilayah tak berproduksi," kata Muslim.
Dampak dari menurunnya produksi garam tersebut yaitu stok garam yang ada di gudang petani terserap semuanya ke pasar. Tak hanya terserap maksimal, harga jualnya juga naik dari harga sebelumnya.
Muslim tak merinci berapa harga garam petani di masa limit ini, namun dari informasi, satu karung garam dengan berat 50 kilogram sekarang terjual dengan harga Rp350 ribu dari sebelumnya hanya Rp100 ribu. "Harga sekarang berlipat. Dari dulunya tidak laku sekarang menjadi laku," terangnya.
Sebenarnya, jika petambak garam menggunakan pendekatan teknologi untuk rekayasa cuaca seperti sistem prisma, kristal atau panel maka produksi garam akan meningkat.
Metode prisma garam sendiri dilakukan dengan modifikasi dari sistem "green house" untuk kepentingan evaporasi air laut menjadi kristal garam dengan memanfaatkan angin dan humiditas udara. "Tapi untuk NTB metode itu belum berkembang. Kebanyakan kita masih tambak garam secara konvensional," katanya.
Baca juga: DKP Bengkulu siapkan Rp1,5 miliar budidayakan ikan
Baca juga: NTB menggalakkan budidaya udang vaname dengan sistem bioflok
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menduga kenaikan harga garam terjadi lantaran ada ketimpangan dari sisi produksi dan jumlah permintaan. Walau demikian Mendag menegaskan, Indonesia tidak melakukan pengadaan dari luar negeri untuk garam konsumsi, tetapi dari produksi dalam negeri. Ia juga tak begitu mempersoalkan akan kenaikan komoditas tersebut. Sebab, menurut dia, tak masalah jika para pedagang sesekali mengambil keuntungan.
"Berdasarkan data, jumlah produksi garam di NTB di tahun 2022 sebanyak 86.429 ton. Angka ini menurun sebanyak 29 ribu ton dari produksi tahun 2021. Produksi menurun karena cuaca ekstrem. Memang sekarang masuk kemarau, tapi hujan kan masih turun," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTB Muslim di Mataram, Jumat.
Dia mengatakan turunnya produksi garam tidak hanya terjadi di NTB, namun juga di semua daerah di Indonesia. "Penurunan ini karena hujan yang berkepanjangan, sehingga petani garam di beberapa wilayah tak berproduksi," kata Muslim.
Dampak dari menurunnya produksi garam tersebut yaitu stok garam yang ada di gudang petani terserap semuanya ke pasar. Tak hanya terserap maksimal, harga jualnya juga naik dari harga sebelumnya.
Muslim tak merinci berapa harga garam petani di masa limit ini, namun dari informasi, satu karung garam dengan berat 50 kilogram sekarang terjual dengan harga Rp350 ribu dari sebelumnya hanya Rp100 ribu. "Harga sekarang berlipat. Dari dulunya tidak laku sekarang menjadi laku," terangnya.
Sebenarnya, jika petambak garam menggunakan pendekatan teknologi untuk rekayasa cuaca seperti sistem prisma, kristal atau panel maka produksi garam akan meningkat.
Metode prisma garam sendiri dilakukan dengan modifikasi dari sistem "green house" untuk kepentingan evaporasi air laut menjadi kristal garam dengan memanfaatkan angin dan humiditas udara. "Tapi untuk NTB metode itu belum berkembang. Kebanyakan kita masih tambak garam secara konvensional," katanya.
Baca juga: DKP Bengkulu siapkan Rp1,5 miliar budidayakan ikan
Baca juga: NTB menggalakkan budidaya udang vaname dengan sistem bioflok
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menduga kenaikan harga garam terjadi lantaran ada ketimpangan dari sisi produksi dan jumlah permintaan. Walau demikian Mendag menegaskan, Indonesia tidak melakukan pengadaan dari luar negeri untuk garam konsumsi, tetapi dari produksi dalam negeri. Ia juga tak begitu mempersoalkan akan kenaikan komoditas tersebut. Sebab, menurut dia, tak masalah jika para pedagang sesekali mengambil keuntungan.