Mataram, (Antara NTB) - Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto menilai sikap PT Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara sebagai sebuah pelanggaran dan pembangkangan terhadap undang-undang, menyusul belum adanya kemajuan pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) kedua perusahaan asal Amerika Serikat tersebut.
"Apa yang ditunjukkan oleh PT Freeport dan PT Newmont, kami nilai sebagai sebuah pelanggaran terhadap undang-undang," tegas Agus Hermanto di Mataram, Jumat.
Menurut dia, pihaknya sampai saat ini belum melihat keseriusan dan itikad baik PT Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian hasil tambang (smelter).
"Sampai hari ini kami di DPR belum melihat apa yang sudah dilakukan PT Freeport dan PT Newmont untuk membangun smelter sesuai dengan isi Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara itu," katanya.
Justru yang terjadi saat ini, kedua perusahaan itu tidak hanya melanggar undang-undang tetapi juga tidak berkomitmen terhadap Pemerintah Indonesia dengan sengaja mengulur-ngulur waktu membangun smelter.
"Semestinya, begitu undang-undang minerba itu berlaku, semua perusahaan tambang baik Freeport maupun Newmont harus patuh dan tunduk terhadap aturan tersebut," ujarnya.
Selain itu, kata Agus, seharusnya pemerintah bisa mendesak kedua perusahaan asal Amerika itu untuk membangun smelter di areal tambang bukan justru membangun di Gresik, Jawa Timur.
Karena, jika tetap membangun smelter di daerah lain, maka yang terjadi pemerintah daerah, yakni Provinsi Papua dan Nusa Tenggara Barat tidak akan mendapat nilai tambah dari hasil konsetrat yang sudah diambil.
"Semestinya pembangunan semelter harus ada di mulut tambang, yakni Freeport di Papua dan Newmont di Sumbawa, NTB, bukan justru sebaliknya diberikan ke daerah lain," tegasnya.
Sebab sejatinya, kata Agus, penerapan UU Minerba diberlakukan oleh pemerintah untuk mengetahui seberapa besar kandungan konsentrat yang dikirim ke luar negeri jika tidak ada smelter di Indonesia.
"Makanya kalau smelter dibangun di daerah, tentu akan mengurangi `cost` kedua perusahaan, lokasi juga dekat dengan mulut tambang. Inilah semestinya yang harus dilakukan dan pemerintah harus bisa mendesak agar kedua perusahaan membangun di kedua provinsi penghasil," katanya. (*)
"Apa yang ditunjukkan oleh PT Freeport dan PT Newmont, kami nilai sebagai sebuah pelanggaran terhadap undang-undang," tegas Agus Hermanto di Mataram, Jumat.
Menurut dia, pihaknya sampai saat ini belum melihat keseriusan dan itikad baik PT Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian hasil tambang (smelter).
"Sampai hari ini kami di DPR belum melihat apa yang sudah dilakukan PT Freeport dan PT Newmont untuk membangun smelter sesuai dengan isi Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara itu," katanya.
Justru yang terjadi saat ini, kedua perusahaan itu tidak hanya melanggar undang-undang tetapi juga tidak berkomitmen terhadap Pemerintah Indonesia dengan sengaja mengulur-ngulur waktu membangun smelter.
"Semestinya, begitu undang-undang minerba itu berlaku, semua perusahaan tambang baik Freeport maupun Newmont harus patuh dan tunduk terhadap aturan tersebut," ujarnya.
Selain itu, kata Agus, seharusnya pemerintah bisa mendesak kedua perusahaan asal Amerika itu untuk membangun smelter di areal tambang bukan justru membangun di Gresik, Jawa Timur.
Karena, jika tetap membangun smelter di daerah lain, maka yang terjadi pemerintah daerah, yakni Provinsi Papua dan Nusa Tenggara Barat tidak akan mendapat nilai tambah dari hasil konsetrat yang sudah diambil.
"Semestinya pembangunan semelter harus ada di mulut tambang, yakni Freeport di Papua dan Newmont di Sumbawa, NTB, bukan justru sebaliknya diberikan ke daerah lain," tegasnya.
Sebab sejatinya, kata Agus, penerapan UU Minerba diberlakukan oleh pemerintah untuk mengetahui seberapa besar kandungan konsentrat yang dikirim ke luar negeri jika tidak ada smelter di Indonesia.
"Makanya kalau smelter dibangun di daerah, tentu akan mengurangi `cost` kedua perusahaan, lokasi juga dekat dengan mulut tambang. Inilah semestinya yang harus dilakukan dan pemerintah harus bisa mendesak agar kedua perusahaan membangun di kedua provinsi penghasil," katanya. (*)