Mataram (ANTARA) - Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Nusa Tenggara Barat I Gede Putu Aryadi, mengajak kepala desa serta pemangku amanah di desa mencegah warganya menjadi pekerja migran Indonesia (PMI) ilegal di luar negeri.
"Para Kades lah yang paling mengetahui kondisi warganya, yang akan keluar negeri. Maka kalau ada warga yang berangkat keluar negeri, mohon dipastikan agar sesuai prosedur. Mari kita stop rekrutmen oleh calo dan penempatan non prosedural," ujarnya di Mataram, Senin.
Upaya pencegahan PMI non prosedural atau ilegal harus dimulai dari hulu yaitu dari desa dan dusun. Para Kades, Kadus, Babinsa, Babinkamtibmas, para kader posyandu keluarga dan para ibu PKK harus bisa mengedukasi dan memberikan layanan akses informasi yang lengkap tentang bursa kerja luar negeri.
Termasuk informasi yang lengkap tentang P3MI yang memiliki izin perekrutan, negara penempatan serta job order yang tersedia, serta persyaratan dan prosedur yang dipenuhi bila ingin menjadi PMI.
Gede mengungkapkan bahwa berdasarkan data dari tahun 2017 sampai tahun 2022 ada 537.497 PMI NTB yang bekerja di 108 negara penempatan dengan berbagai sektor pekerjaan, 80 persen dari jumlah tersebut bekerja di sektor ladang di Malaysia. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2022, angkatan kerja di NTB sebanyak 2,87 juta orang. Artinya 18 persen dari angkatan kerja adalah PMI.
"Bekerja adalah hak setiap warga. Karena itu, pemerintah tidak pernah melarang masyarakat untuk bekerja ke luar negeri. Hanya saja, siapa pun yang ingin bekerja ke luar negeri menjadi PMI, wajib mengikuti prosedur yang ada. Dengan mengikuti prosedur, maka warga yang bekerja ke luar negeri akan terdata oleh pemerintah, sehingga akan mudah pemerintah memberikan pelindungan," tegas Aryadi.
Aryadi menyatakan bahwa meski saat ini tren kasus PMI non prosedural jumlahnya menurun, namun masih banyak warga yang belum paham tentang informasi pasar kerja luar negeri, sehingga masih ada yang berangkat secara non prosedural. Oleh karena itu, pihaknya beserta pihak terkait perlu duduk bersama untuk mengidentifikasi penyebab PMI non prosedural agar dapat ditentukan solusi yang tepat.
Mantan Irbansus pada Inspektorat NTB ini memaparkan ada beberapa penyebab warga menjadi PMI non prosedural. Pertama, warga yang menjadi PMI non prosedural kebanyakan adalah pekerja non skill yang pendidikannya adalah SMP ke bawah dengan pekerjaan yang dilirik adalah asisten rumah tangga atau pekerjaan di sektor domestik.
Oleh karena itu, pemerintah gencar memberikan pelatihan gratis untuk meningkatkan keahlian dan kompetensi agar PMI memiliki nilai lebih sehingga semakin diperhitungkan ketika bekerja ke luar negeri.
"Saat ini pemerintah juga memberikan perhatian lebih pada pengiriman tenaga kerja yang memiliki keahlian ke luar negeri seperti ke Jepang, Korea, Hongkong, Taiwan," ujar Aryadi.
Kedua, informasi dan pengetahuan masyarakat tentang prosedur kerja ke luar negeri masih sangat terbatas.
"Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Perlu ada kerja sama dengan berbagai pihak agar informasi yang benar bagaimana menjadi PMI prosedural bisa sampai ke warga kita. Bapak dan Ibu semua yang ada di sini harus ikut berperan mengedukasi warga kita demi kemaslahatan bersama," ucap Aryadi.
Ketiga, warga seringkali terbuai dengan iming-iming para calo. Modus yang banyak ditemukan di lapangan adalah masyarakat direkrut oleh oknum yang mengatasnamakan diri sebagai Petugas Lapangan (PL) perusahaan atau LPK. Padahal kantor pusat P3MI itu tidak tahu ada rekrutmen.
"Para Kades lah yang paling mengetahui kondisi warganya, yang akan keluar negeri. Maka kalau ada warga yang berangkat keluar negeri, mohon dipastikan agar sesuai prosedur. Mari kita stop rekrutmen oleh calo dan penempatan non prosedural," ujarnya di Mataram, Senin.
Upaya pencegahan PMI non prosedural atau ilegal harus dimulai dari hulu yaitu dari desa dan dusun. Para Kades, Kadus, Babinsa, Babinkamtibmas, para kader posyandu keluarga dan para ibu PKK harus bisa mengedukasi dan memberikan layanan akses informasi yang lengkap tentang bursa kerja luar negeri.
Termasuk informasi yang lengkap tentang P3MI yang memiliki izin perekrutan, negara penempatan serta job order yang tersedia, serta persyaratan dan prosedur yang dipenuhi bila ingin menjadi PMI.
Gede mengungkapkan bahwa berdasarkan data dari tahun 2017 sampai tahun 2022 ada 537.497 PMI NTB yang bekerja di 108 negara penempatan dengan berbagai sektor pekerjaan, 80 persen dari jumlah tersebut bekerja di sektor ladang di Malaysia. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2022, angkatan kerja di NTB sebanyak 2,87 juta orang. Artinya 18 persen dari angkatan kerja adalah PMI.
"Bekerja adalah hak setiap warga. Karena itu, pemerintah tidak pernah melarang masyarakat untuk bekerja ke luar negeri. Hanya saja, siapa pun yang ingin bekerja ke luar negeri menjadi PMI, wajib mengikuti prosedur yang ada. Dengan mengikuti prosedur, maka warga yang bekerja ke luar negeri akan terdata oleh pemerintah, sehingga akan mudah pemerintah memberikan pelindungan," tegas Aryadi.
Aryadi menyatakan bahwa meski saat ini tren kasus PMI non prosedural jumlahnya menurun, namun masih banyak warga yang belum paham tentang informasi pasar kerja luar negeri, sehingga masih ada yang berangkat secara non prosedural. Oleh karena itu, pihaknya beserta pihak terkait perlu duduk bersama untuk mengidentifikasi penyebab PMI non prosedural agar dapat ditentukan solusi yang tepat.
Mantan Irbansus pada Inspektorat NTB ini memaparkan ada beberapa penyebab warga menjadi PMI non prosedural. Pertama, warga yang menjadi PMI non prosedural kebanyakan adalah pekerja non skill yang pendidikannya adalah SMP ke bawah dengan pekerjaan yang dilirik adalah asisten rumah tangga atau pekerjaan di sektor domestik.
Oleh karena itu, pemerintah gencar memberikan pelatihan gratis untuk meningkatkan keahlian dan kompetensi agar PMI memiliki nilai lebih sehingga semakin diperhitungkan ketika bekerja ke luar negeri.
"Saat ini pemerintah juga memberikan perhatian lebih pada pengiriman tenaga kerja yang memiliki keahlian ke luar negeri seperti ke Jepang, Korea, Hongkong, Taiwan," ujar Aryadi.
Kedua, informasi dan pengetahuan masyarakat tentang prosedur kerja ke luar negeri masih sangat terbatas.
"Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Perlu ada kerja sama dengan berbagai pihak agar informasi yang benar bagaimana menjadi PMI prosedural bisa sampai ke warga kita. Bapak dan Ibu semua yang ada di sini harus ikut berperan mengedukasi warga kita demi kemaslahatan bersama," ucap Aryadi.
Ketiga, warga seringkali terbuai dengan iming-iming para calo. Modus yang banyak ditemukan di lapangan adalah masyarakat direkrut oleh oknum yang mengatasnamakan diri sebagai Petugas Lapangan (PL) perusahaan atau LPK. Padahal kantor pusat P3MI itu tidak tahu ada rekrutmen.