Pontianak (ANTARA) - Psikolog Anak dan Keluarga di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat Agatha Sagita Ria, S.Psi., M.Psi menjelaskan bahwa keluarga menjadi kunci untuk menanamkan kebiasaan baik.
"Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat merupakan sekolah pertama dan utama bagi anak. Sehingga keluarga memiliki peranan yang penting dan kunci dalam membentuk karakter, kebiasaan baik dan kepribadian anak," ujarnya saat dihubungi di Bengkayang, Minggu.
Psikolog lulusan Universitas Gajah Mada itu menambahkan juga bahwa keluarga sendiri harus memiliki pondasi yang kuat untuk membangun sebuah ketahanan keluarga. “Ibaratnya membangun sebuah rumah tidak pernah diawali dengan membangun jendelanya dulu atau atapnya dulu, tentulah yang pertama kali diperhatikan dan dipersiapkan adalah pondasinya. Nah kualitas pondasi inilah yang menentukan kualitas dari rumah tersebut. Demikian pula halnya saat kita membangun keluarga," katanya.
Ia menyebutkan bahwa ada tiga pondasi dalam keluarga yakni relasi, komunikasi dan bahasa kasih. “Penting keluarga harus memiliki relasi yang sehat, relasi tidak hanya antara anak dan orang tua, namun juga sesama orang tua yakni relasi suami dan istri, jangan ciptakan orang baik dan orang jahat dalam keluarga," jelas dia.
Relasi yang baik yakni suami istri harus kompak dan sepakat. Misal saja saat ibu melarang anak tidak boleh bermain gadget, kemudian ayah jangan sampai mengijinkan. Ayah dan Ibu juga harus bisa saling menghargai, tidak boleh saling menjelek-jelekkan depan anak. Hal itu seperti menyampaikan bahwa ibunya suka ngomel-ngomel.
Demikian pula dalam hal komunikasi. Komunikasi harus ada keterbukaan, penerimaan dan rasa percaya antarsesama anggota keluarga. Selain itu juga bahwa orang tua harus bisa menjadi sahabat anak agar bisa satu frekuensi dengan anak. "Orang tua masuk ke dunia anak cari kesenangannya, tunjukkan penerimaan agar ia nyaman dekat dengan kita. Kalau sudah nyaman kan anak menjadi lebih mudah terbuka,”katanya.
Ia juga mengingatkan agar respon orangtua tidak negatif saat anak terbuka mengenai kesalahannya. Ketika anak jujur tentang kesalahannya jangan dimarahkan, meskipun tidak sesuai ekspektasi orang tua karena ke depan anak cenderung tidak akan mau jujur lagi.
Baca juga: Hari Keluarga Internasional waktu perkuat hubungan ayah-anak
Baca juga: Psikolog UGM sebut belum puas liburan picu rasa malas kerja
"Jadi kalau anak sudah bersedia jujur, walau jujurnya itu mengakui kesalahan, diterima saja dan jangan lupa diapresiasi, karena ia sudah mau berkata jujur. Barulah perlahan kita nasehati dan anak juga harus sering-sering diajak omong bukan diomongkan,” jelas dia.
Selanjutnya, ada unsur penting lain yang menjadi pondasi dalam keluarga yakni memahami bahasa kasih masing-masing anggota keluarga. Setiap anggota keluarga mungkin saja memiliki bahasa kasih yang berbeda-beda. “Kita mengetahui bahasa kasih dari pasangan dan memberi tahu mereka bahasa kasih kita dapat membantu dan pasangan merasa dicintai dan dihargai,” jelas dia.
"Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat merupakan sekolah pertama dan utama bagi anak. Sehingga keluarga memiliki peranan yang penting dan kunci dalam membentuk karakter, kebiasaan baik dan kepribadian anak," ujarnya saat dihubungi di Bengkayang, Minggu.
Psikolog lulusan Universitas Gajah Mada itu menambahkan juga bahwa keluarga sendiri harus memiliki pondasi yang kuat untuk membangun sebuah ketahanan keluarga. “Ibaratnya membangun sebuah rumah tidak pernah diawali dengan membangun jendelanya dulu atau atapnya dulu, tentulah yang pertama kali diperhatikan dan dipersiapkan adalah pondasinya. Nah kualitas pondasi inilah yang menentukan kualitas dari rumah tersebut. Demikian pula halnya saat kita membangun keluarga," katanya.
Ia menyebutkan bahwa ada tiga pondasi dalam keluarga yakni relasi, komunikasi dan bahasa kasih. “Penting keluarga harus memiliki relasi yang sehat, relasi tidak hanya antara anak dan orang tua, namun juga sesama orang tua yakni relasi suami dan istri, jangan ciptakan orang baik dan orang jahat dalam keluarga," jelas dia.
Relasi yang baik yakni suami istri harus kompak dan sepakat. Misal saja saat ibu melarang anak tidak boleh bermain gadget, kemudian ayah jangan sampai mengijinkan. Ayah dan Ibu juga harus bisa saling menghargai, tidak boleh saling menjelek-jelekkan depan anak. Hal itu seperti menyampaikan bahwa ibunya suka ngomel-ngomel.
Demikian pula dalam hal komunikasi. Komunikasi harus ada keterbukaan, penerimaan dan rasa percaya antarsesama anggota keluarga. Selain itu juga bahwa orang tua harus bisa menjadi sahabat anak agar bisa satu frekuensi dengan anak. "Orang tua masuk ke dunia anak cari kesenangannya, tunjukkan penerimaan agar ia nyaman dekat dengan kita. Kalau sudah nyaman kan anak menjadi lebih mudah terbuka,”katanya.
Ia juga mengingatkan agar respon orangtua tidak negatif saat anak terbuka mengenai kesalahannya. Ketika anak jujur tentang kesalahannya jangan dimarahkan, meskipun tidak sesuai ekspektasi orang tua karena ke depan anak cenderung tidak akan mau jujur lagi.
Baca juga: Hari Keluarga Internasional waktu perkuat hubungan ayah-anak
Baca juga: Psikolog UGM sebut belum puas liburan picu rasa malas kerja
"Jadi kalau anak sudah bersedia jujur, walau jujurnya itu mengakui kesalahan, diterima saja dan jangan lupa diapresiasi, karena ia sudah mau berkata jujur. Barulah perlahan kita nasehati dan anak juga harus sering-sering diajak omong bukan diomongkan,” jelas dia.
Selanjutnya, ada unsur penting lain yang menjadi pondasi dalam keluarga yakni memahami bahasa kasih masing-masing anggota keluarga. Setiap anggota keluarga mungkin saja memiliki bahasa kasih yang berbeda-beda. “Kita mengetahui bahasa kasih dari pasangan dan memberi tahu mereka bahasa kasih kita dapat membantu dan pasangan merasa dicintai dan dihargai,” jelas dia.