Jakarta (ANTARA) - Pakar ilmu kesehatan Prof Tjandra Yoga Aditama mengemukakan mandatory spending hal yang mutlak untuk dialokasikan agar ada kepastian anggaran kesehatan di Indonesia. "Mandatory spending harus ada, mutlak perlunya anggaran kesehatan yang pasti," kata Tjandra Yoga Aditama yang juga Direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan kesehatan merupakan program penting sesuai hajat hidup rakyat Indonesia, sehingga harus dilaksanakan secara maksimal. Pengalaman pandemi COVID-19 membuktikan tanpa sehat, maka semua bidang kehidupan lain tidak bisa berjalan baik.
Dengan adanya mandatory spending, lanjutnya, pemerintah pusat dan daerah memiliki pegangan hukum yang pasti untuk menyediakan anggaran kesehatan. "Tanpa kepastian anggaran kesehatan, akan bergantung pada situasi sesaat, tergantung kondisi, dan bahkan bukan tidak mungkin tergantung kepentingan tertentu," katanya.
Tjandra yang juga mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu mengatakan dunia sudah sepakat bahwa Universal Health Care (UHC) merupakan salah satu kunci utama keberhasilan pembangunan kesehatan.
Dalam UHC, lanjutnya, semua penduduk harus dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan tanpa membebani keuangan pribadi. "UHC tidak bisa hanya ditangani dengan skema asuransi kesehatan semata, jelas harus bergantung pula pada jaminan ketersediaan anggaran kesehatan yang pasti," katanya.
Tjandra mengingatkan agar anggaran kesehatan jangan hanya dititikberatkan pada pelayanan kuratif untuk orang sudah sakit saja. Ia meminta anggaran kesehatan harus seimbang untuk kegiatan promotif-preventif dengan kuratif-rehabilitatif.
Baca juga: BPJS Kesehatan Pamekasan luruskan kabar bohong bansos
Baca juga: Transformasi kesehatan harus diikuti kemampuan fiskal negara
"Sesuai aturan, maka sudah ada persentase anggaran pendidikan yang jelas, pasti, dan mengikat. Karena kesehatan tentu tidak kurang penting dari pendidikan maka anggaran kesehatan juga harus pasti, jelas perlu mandatory spending, tidak bisa dibiarkan mengambang saja," ujarnya.
Pemerintah memutuskan untuk menghapus mandatory spending dalam RUU Kesehatan sebagaimana tertuang dalam Pasal 401 ayat 2 dan 3. Keputusan itu diambil setelah hasil evaluasi pemerintah terhadap penyerapan anggaran mandatory spending tidak 100 persen mencapai tujuan.
Ia mengatakan kesehatan merupakan program penting sesuai hajat hidup rakyat Indonesia, sehingga harus dilaksanakan secara maksimal. Pengalaman pandemi COVID-19 membuktikan tanpa sehat, maka semua bidang kehidupan lain tidak bisa berjalan baik.
Dengan adanya mandatory spending, lanjutnya, pemerintah pusat dan daerah memiliki pegangan hukum yang pasti untuk menyediakan anggaran kesehatan. "Tanpa kepastian anggaran kesehatan, akan bergantung pada situasi sesaat, tergantung kondisi, dan bahkan bukan tidak mungkin tergantung kepentingan tertentu," katanya.
Tjandra yang juga mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu mengatakan dunia sudah sepakat bahwa Universal Health Care (UHC) merupakan salah satu kunci utama keberhasilan pembangunan kesehatan.
Dalam UHC, lanjutnya, semua penduduk harus dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan tanpa membebani keuangan pribadi. "UHC tidak bisa hanya ditangani dengan skema asuransi kesehatan semata, jelas harus bergantung pula pada jaminan ketersediaan anggaran kesehatan yang pasti," katanya.
Tjandra mengingatkan agar anggaran kesehatan jangan hanya dititikberatkan pada pelayanan kuratif untuk orang sudah sakit saja. Ia meminta anggaran kesehatan harus seimbang untuk kegiatan promotif-preventif dengan kuratif-rehabilitatif.
Baca juga: BPJS Kesehatan Pamekasan luruskan kabar bohong bansos
Baca juga: Transformasi kesehatan harus diikuti kemampuan fiskal negara
"Sesuai aturan, maka sudah ada persentase anggaran pendidikan yang jelas, pasti, dan mengikat. Karena kesehatan tentu tidak kurang penting dari pendidikan maka anggaran kesehatan juga harus pasti, jelas perlu mandatory spending, tidak bisa dibiarkan mengambang saja," ujarnya.
Pemerintah memutuskan untuk menghapus mandatory spending dalam RUU Kesehatan sebagaimana tertuang dalam Pasal 401 ayat 2 dan 3. Keputusan itu diambil setelah hasil evaluasi pemerintah terhadap penyerapan anggaran mandatory spending tidak 100 persen mencapai tujuan.