Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) RI, Nahar mengatakan keluarga korban dan sekolah harus mendukung upaya pemulihan korban kekerasan seksual dan tidak memberikan stigma kepada korban.
"Keluarga korban serta lingkungan sekolah agar tidak memberikan stigma atau label negatif pada korban, agar korban dapat berfungsi kembali di lingkungan sosialnya secara optimal," kata Nahar saat dihubungi di Jakarta, Senin, menanggapi kasus kekerasan seksual yang dilakukan guru bimbingan konseling terhadap siswi-nya di Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau.
Untuk itu, diperlukan psiko-edukasi pada keluarga korban serta guru, siswa, dan perangkat sekolah lainnya agar memiliki perspektif yang berpihak pada korban. Nahar mengatakan, kasus perkosaan yang menimpa korban dapat memberikan dampak psikologis, baik jangka pendek ataupun jangka panjang. "Dampak jangka pendek yang biasanya muncul ialah perasaan cemas, takut, merasa bersalah, rendah diri, serta tidak jarang menyalahkan dirinya sendiri," kata Nahar.
Jika dampak jangka pendek ini tidak tertangani, kata Nahar, kemungkinan akan berkembang menjadi gangguan psikologis lanjutan seperti depresi, hingga kecenderungan untuk bunuh diri.
"Peristiwa yang terjadi di lingkungan sekolah pun dapat memberikan efek psikologis tambahan seperti kemungkinan adanya stigma dari lingkungan sekolah," kata Nahar. Sebelumnya, terungkap kasus kekerasan seksual yang dilakukan oknum guru bimbingan konseling, AG (45) kepada dua muridnya di Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau.
Kekerasan seksual diduga berulang kali dilakukan pelaku terhadap dua siswi-nya tersebut di ruang bimbingan konseling (BK). Korban pertama (19) adalah anak angkat pelaku yang telah lulus SMA, sementara korban kedua (17) adalah murid pelaku.
Baca juga: Kemen PPPA dengan Pemkab-Polres Cianjur tangani penganiayaan anak
Baca juga: Kemen PPPA ajak aparat tangani kasus perempuan-anak harus berperspektif gender
Pelaku AG telah ditangkap polisi dan ditetapkan sebagai tersangka kasus perkosaan terhadap anak dan orang dewasa. Atas perbuatannya, AG dijerat dengan Undang-undang Perlindungan Anak dan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
"Keluarga korban serta lingkungan sekolah agar tidak memberikan stigma atau label negatif pada korban, agar korban dapat berfungsi kembali di lingkungan sosialnya secara optimal," kata Nahar saat dihubungi di Jakarta, Senin, menanggapi kasus kekerasan seksual yang dilakukan guru bimbingan konseling terhadap siswi-nya di Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau.
Untuk itu, diperlukan psiko-edukasi pada keluarga korban serta guru, siswa, dan perangkat sekolah lainnya agar memiliki perspektif yang berpihak pada korban. Nahar mengatakan, kasus perkosaan yang menimpa korban dapat memberikan dampak psikologis, baik jangka pendek ataupun jangka panjang. "Dampak jangka pendek yang biasanya muncul ialah perasaan cemas, takut, merasa bersalah, rendah diri, serta tidak jarang menyalahkan dirinya sendiri," kata Nahar.
Jika dampak jangka pendek ini tidak tertangani, kata Nahar, kemungkinan akan berkembang menjadi gangguan psikologis lanjutan seperti depresi, hingga kecenderungan untuk bunuh diri.
"Peristiwa yang terjadi di lingkungan sekolah pun dapat memberikan efek psikologis tambahan seperti kemungkinan adanya stigma dari lingkungan sekolah," kata Nahar. Sebelumnya, terungkap kasus kekerasan seksual yang dilakukan oknum guru bimbingan konseling, AG (45) kepada dua muridnya di Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau.
Kekerasan seksual diduga berulang kali dilakukan pelaku terhadap dua siswi-nya tersebut di ruang bimbingan konseling (BK). Korban pertama (19) adalah anak angkat pelaku yang telah lulus SMA, sementara korban kedua (17) adalah murid pelaku.
Baca juga: Kemen PPPA dengan Pemkab-Polres Cianjur tangani penganiayaan anak
Baca juga: Kemen PPPA ajak aparat tangani kasus perempuan-anak harus berperspektif gender
Pelaku AG telah ditangkap polisi dan ditetapkan sebagai tersangka kasus perkosaan terhadap anak dan orang dewasa. Atas perbuatannya, AG dijerat dengan Undang-undang Perlindungan Anak dan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.