Mataram (ANTARA) - Pegiat sosial dari Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) Nusa Tenggara Barat mempertanyakan urgensi hakim mengalihkan status penahanan Direktur PT Anugrah Mitra Graha (AMG) Po Suwandi menjadi tahanan kota dalam perkara korupsi tambang pasir besi di Blok Dedalpak.
"Hakim harus terbuka soal status tahanan kota terdakwa (Po Suwandi)," kata Direktur Somasi NTB Dwi Arie Santo di Mataram, Rabu.
Apabila majelis hakim menerbitkan surat penetapan pengalihan status penahanan dengan pertimbangan terdakwa mengalami sakit, tentu ada upaya untuk lebih meyakinkan hal tersebut, salah satunya dengan melakukan pengujian kesehatan terdakwa secara mandiri.
Menurut dia, tidak cukup mengalihkan status penahanan hanya dengan merujuk pada hasil diagnosis dari pihak rumah sakit yang ditunjukkan oleh penasihat hukum terdakwa.
"Bukan meragukan kredibilitas dokter, melainkan harus dipastikan secara objektif," ujarnya.
Dengan menetapkan pengalihan status penahanan, Dwi mengingatkan hakim untuk bisa memastikan keberadaan terdakwa selama menjalani tahanan kota.
"Jangan sampai penangguhan ini menjadi modus saja yang nantinya bisa menyulitkan proses hukum," ucap dia.
Po Suwandi merupakan salah seorang dari terdakwa dalam perkara korupsi yang menimbulkan kerugian negara Rp36 miliar.
Dalam penyidikan, kejaksaan sebelumnya melakukan penahanan terhitung sejak penjemputan paksa pada pertengahan April 2023 di Jakarta Utara.
Penjemputan paksa itu merupakan tindak lanjut dari adanya pemanggilan secara patut sebanyak tiga kali. Namun, Po Suwandi tidak kunjung hadir menghadap penyidik kejaksaan.
Usai perkara dilimpahkan ke pengadilan, majelis hakim yang mengadili perkara Po Suwandi telah menetapkan pengalihan status penahanan dari tahanan rutan menjadi tahanan kota.
Majelis hakim yang dipimpin Isrin Surya Kurniasih menetapkan hal tersebut pada hari Jumat (15/9) dengan mempertimbangkan kondisi kesehatan Po Suwandi.
Pertimbangan itu merujuk pada surat keterangan sakit dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Mataram yang ditunjukkan oleh penasihat hukum terdakwa ke hadapan majelis hakim saat persidangan pada hari Kamis (14/9).
"Hakim harus terbuka soal status tahanan kota terdakwa (Po Suwandi)," kata Direktur Somasi NTB Dwi Arie Santo di Mataram, Rabu.
Apabila majelis hakim menerbitkan surat penetapan pengalihan status penahanan dengan pertimbangan terdakwa mengalami sakit, tentu ada upaya untuk lebih meyakinkan hal tersebut, salah satunya dengan melakukan pengujian kesehatan terdakwa secara mandiri.
Menurut dia, tidak cukup mengalihkan status penahanan hanya dengan merujuk pada hasil diagnosis dari pihak rumah sakit yang ditunjukkan oleh penasihat hukum terdakwa.
"Bukan meragukan kredibilitas dokter, melainkan harus dipastikan secara objektif," ujarnya.
Dengan menetapkan pengalihan status penahanan, Dwi mengingatkan hakim untuk bisa memastikan keberadaan terdakwa selama menjalani tahanan kota.
"Jangan sampai penangguhan ini menjadi modus saja yang nantinya bisa menyulitkan proses hukum," ucap dia.
Po Suwandi merupakan salah seorang dari terdakwa dalam perkara korupsi yang menimbulkan kerugian negara Rp36 miliar.
Dalam penyidikan, kejaksaan sebelumnya melakukan penahanan terhitung sejak penjemputan paksa pada pertengahan April 2023 di Jakarta Utara.
Penjemputan paksa itu merupakan tindak lanjut dari adanya pemanggilan secara patut sebanyak tiga kali. Namun, Po Suwandi tidak kunjung hadir menghadap penyidik kejaksaan.
Usai perkara dilimpahkan ke pengadilan, majelis hakim yang mengadili perkara Po Suwandi telah menetapkan pengalihan status penahanan dari tahanan rutan menjadi tahanan kota.
Majelis hakim yang dipimpin Isrin Surya Kurniasih menetapkan hal tersebut pada hari Jumat (15/9) dengan mempertimbangkan kondisi kesehatan Po Suwandi.
Pertimbangan itu merujuk pada surat keterangan sakit dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Mataram yang ditunjukkan oleh penasihat hukum terdakwa ke hadapan majelis hakim saat persidangan pada hari Kamis (14/9).