Mataram (ANTARA) - Pakar hukum bisnis Prof Zainal Asikin menilai penutupan paksa tempat usaha di kawasan wisata Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat oleh sekelompok warga merupakan dampak dari dugaan wanprestasi warga negara asing (WNA) dalam kerja sama dengan pengusaha lokal.
"Saya sebagai bagian dari tim percepatan investasi di Pemprov NTB merasa terpanggil dengan adanya fenomena di kawasan wisata Gili Trawangan. Penutupan ini bukan hanya satu tempat, tetapi ada sedikitnya enam tempat usaha," kata Prof. Asikin dalam keterangannya di Mataram, Jumat malam.
Menurut pengamatannya, persoalan ini merupakan reaksi adanya dugaan wanprestasi dari perjanjian kontrak sewa menyewa ataupun jual beli bangunan sejumlah tempat usaha di atas tanah milik Pemprov NTB bekas lahan pengelolaan PT Gili Trawangan Indah (GTI) tersebut.
Perjanjian kontrak yang bermasalah, kata dia, rata-rata merupakan hasil kesepakatan kerja sama antara pengusaha lokal dengan warga negara asing (WNA), karena WNA yang menyewa tempat usaha milik pengusaha lokal itu tidak melaksanakan kewajiban pembayaran sewa ataupun pelunasan pembelian sesuai kontrak.
"Seperti polisi yang menangani adanya laporan penutupan paksa itu. jangan melihat itu sebagai aksi, tetapi itu adalah reaksi. Coba lihat kontraknya, bedah persoalan perdatanya, ada sewa menyewa dan jual beli, di situ ada wanprestasi pihak penyewa dari kalangan WNA," ujar dia.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Mataram ini juga meminta kepada Pemprov NTB agar menaruh perhatian terhadap keberlangsungan dari lokasi yang dapat menyumbang pendapatan besar bagi daerah. "Persoalan ini jangan dianggap remeh, jangan kemudian Pemprov membiarkan begitu saja. Harus ada kebijakan yang lebih menguntungkan masyarakat kita, bukan malah orang asing," ucapnya.
Dia pun mengharapkan pemerintah lebih selektif memberikan hak guna bangunan (HGB) kepada WNA untuk mengelola usaha di atas tanah yang kini kembali di bawah kendali Pemprov NTB, salah satunya dengan mengkaji aktivitas usaha mereka yang berjalan di Gili Trawangan.
"Jadi, WNA yang dikasih HGB oleh Pemprov ini kebanyakan yang bermasalah, mereka nakal. Karena banyak warga kita yang kerja sama mereka, tidak dapat kontrak, tidak dapat jaminan kesehatan. Itu semua harus masuk dalam kajian Pemprov memberikan HGB ke mereka (WNA)," ujar Asikin.
Dia mengatakan bahwa klaim WNA yang menolak melaksanakan kewajiban dalam perjanjian kontrak itu pun menjadikan alasan bahwa persoalan utang piutang dengan pengusaha lokal sudah tidak berlaku lagi, karena sudah mengantongi HGB dan menyetorkan iuran produksi atau royalti kepada pemerintah. "Adanya kepemilikan HGB itu yang akhirnya jadi modus WNA itu tidak mau membayar sewa ataupun pelunasan pembelian sesuai perjanjian kontrak," katanya.
Baca juga: Danrem 162/WB menyelam tanam terumbu karang di perairan Gili Trawangan
Baca juga: Lombok Utara ingin gantikan Cidomo dengan kendaraan listrik di Gili Trawangan
Menurut kajian hukum, kata dia, hal itu perlu dibedakan. Perjanjian kontrak antara WNA dan pengusaha lokal itu berbeda dengan status kepemilikan HGB yang diberikan pemerintah. "Kalau persoalan dengan pemerintah itu, soal lahannya. Memang lahan milik pemerintah, tetapi perjanjian kontrak dengan pengusaha lokal ini persoalan tempat usahanya, sewa menyewa bangunan ataupun jual beli bangunan," ujar dia.
Dia pun memberikan saran kepada WNA agar tetap menyelesaikan kewajiban dalam perjanjian kontrak dengan pengusaha lokal, meskipun sudah mengantongi HGB.
"Saya sebagai bagian dari tim percepatan investasi di Pemprov NTB merasa terpanggil dengan adanya fenomena di kawasan wisata Gili Trawangan. Penutupan ini bukan hanya satu tempat, tetapi ada sedikitnya enam tempat usaha," kata Prof. Asikin dalam keterangannya di Mataram, Jumat malam.
Menurut pengamatannya, persoalan ini merupakan reaksi adanya dugaan wanprestasi dari perjanjian kontrak sewa menyewa ataupun jual beli bangunan sejumlah tempat usaha di atas tanah milik Pemprov NTB bekas lahan pengelolaan PT Gili Trawangan Indah (GTI) tersebut.
Perjanjian kontrak yang bermasalah, kata dia, rata-rata merupakan hasil kesepakatan kerja sama antara pengusaha lokal dengan warga negara asing (WNA), karena WNA yang menyewa tempat usaha milik pengusaha lokal itu tidak melaksanakan kewajiban pembayaran sewa ataupun pelunasan pembelian sesuai kontrak.
"Seperti polisi yang menangani adanya laporan penutupan paksa itu. jangan melihat itu sebagai aksi, tetapi itu adalah reaksi. Coba lihat kontraknya, bedah persoalan perdatanya, ada sewa menyewa dan jual beli, di situ ada wanprestasi pihak penyewa dari kalangan WNA," ujar dia.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Mataram ini juga meminta kepada Pemprov NTB agar menaruh perhatian terhadap keberlangsungan dari lokasi yang dapat menyumbang pendapatan besar bagi daerah. "Persoalan ini jangan dianggap remeh, jangan kemudian Pemprov membiarkan begitu saja. Harus ada kebijakan yang lebih menguntungkan masyarakat kita, bukan malah orang asing," ucapnya.
Dia pun mengharapkan pemerintah lebih selektif memberikan hak guna bangunan (HGB) kepada WNA untuk mengelola usaha di atas tanah yang kini kembali di bawah kendali Pemprov NTB, salah satunya dengan mengkaji aktivitas usaha mereka yang berjalan di Gili Trawangan.
"Jadi, WNA yang dikasih HGB oleh Pemprov ini kebanyakan yang bermasalah, mereka nakal. Karena banyak warga kita yang kerja sama mereka, tidak dapat kontrak, tidak dapat jaminan kesehatan. Itu semua harus masuk dalam kajian Pemprov memberikan HGB ke mereka (WNA)," ujar Asikin.
Dia mengatakan bahwa klaim WNA yang menolak melaksanakan kewajiban dalam perjanjian kontrak itu pun menjadikan alasan bahwa persoalan utang piutang dengan pengusaha lokal sudah tidak berlaku lagi, karena sudah mengantongi HGB dan menyetorkan iuran produksi atau royalti kepada pemerintah. "Adanya kepemilikan HGB itu yang akhirnya jadi modus WNA itu tidak mau membayar sewa ataupun pelunasan pembelian sesuai perjanjian kontrak," katanya.
Baca juga: Danrem 162/WB menyelam tanam terumbu karang di perairan Gili Trawangan
Baca juga: Lombok Utara ingin gantikan Cidomo dengan kendaraan listrik di Gili Trawangan
Menurut kajian hukum, kata dia, hal itu perlu dibedakan. Perjanjian kontrak antara WNA dan pengusaha lokal itu berbeda dengan status kepemilikan HGB yang diberikan pemerintah. "Kalau persoalan dengan pemerintah itu, soal lahannya. Memang lahan milik pemerintah, tetapi perjanjian kontrak dengan pengusaha lokal ini persoalan tempat usahanya, sewa menyewa bangunan ataupun jual beli bangunan," ujar dia.
Dia pun memberikan saran kepada WNA agar tetap menyelesaikan kewajiban dalam perjanjian kontrak dengan pengusaha lokal, meskipun sudah mengantongi HGB.