Mataram (ANTARA) - Mahkamah Agung melalui putusan Peninjauan Kembali Nomor: 715 PK/Pid.Sus/2023 memangkas hukuman Aryanto Prametu, salah seorang terpidana korupsi program pengadaan benih jagung tahun 2017 di Nusa Tenggara Barat, dari delapan tahun pada putusan tingkat kasasi menjadi empat tahun penjara.
Juru Bicara Kejati NTB Efrien Saputera dikonfirmasi di Mataram, Selasa, mengatakan pihaknya hingga kini belum mendapatkan informasi terkait putusan MA tersebut.
"Belum ada informasi soal itu. Biasanya petikan dahulu yang kami terima," kata Efrien.
Sementara Aryanto Prametu melalui penasihat hukumnya, Emil Siain, membenarkan bahwa pihaknya sudah menerima petikan putusan PK yang ditetapkan pada 7 September 2023. "Iya, benar, baru petikan," ujar Emil.
Selain hukuman, Emil membenarkan bahwa Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan yang memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara itu turut mengubah hukuman denda dari Rp400 juta subsider tiga bulan kurungan menjadi Rp200 juta subsider tiga bulan penjara.
Mahkamah Agung dalam putusan PK turut menetapkan agar Aryanto Prametu membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp7,87 miliar subsider satu tahun penjara sesuai dengan putusan kasasi.
Mahkamah Agung memutuskan hal demikian dengan mengabulkan permohonan PK dan membatalkan putusan kasasi dengan mengadili sendiri perkara Aryanto Prametu.
Mahkamah Agung dalam putusan yang mengadili sendiri perkara tersebut menyatakan perbuatan Direktur PT Sinta Agro Mandiri (SAM) itu terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Namun demikian, Emil mengatakan bahwa kliennya belum puas dengan putusan PK tersebut dan berencana kembali menempuh upaya hukum luar biasa untuk kali kedua ke Mahkamah Agung.
"Harusnya bebas karena uang pengganti yang dibebankan kepada klien kami ini sudah dikembalikan. Kenapa sekarang dikenakan lagi? Jadi, ada rencana kami PK lagi," ucap dia.
Menanggapi adanya penerimaan petikan putusan PK oleh pihak terpidana, Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram Kelik Trimargo mengatakan bahwa pihaknya belum menerima informasi resmi dari Mahkamah Agung.
"Memang dalam aturannya, para pihak lebih dahulu diberitahukan melalui petikan putusan. Untuk putusan lengkap yang resmi nanti akan dikirim ke pengadilan, dari kami nanti yang akan meneruskan ke para pihak," kata Kelik.
Terkait adanya rencana pengajuan PK kedua dari terpidana, dia mengatakan bahwa hal itu tidak ada diatur dalam aturan hukum acara pidana.
"Kalau dalam aturan, PK ini hanya bisa diajukan sekali dari para pihak. Satu kali oleh terdakwa atau terpidana, satu lagi dari penuntut umum," ujarnya.
Juru Bicara Kejati NTB Efrien Saputera dikonfirmasi di Mataram, Selasa, mengatakan pihaknya hingga kini belum mendapatkan informasi terkait putusan MA tersebut.
"Belum ada informasi soal itu. Biasanya petikan dahulu yang kami terima," kata Efrien.
Sementara Aryanto Prametu melalui penasihat hukumnya, Emil Siain, membenarkan bahwa pihaknya sudah menerima petikan putusan PK yang ditetapkan pada 7 September 2023. "Iya, benar, baru petikan," ujar Emil.
Selain hukuman, Emil membenarkan bahwa Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan yang memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara itu turut mengubah hukuman denda dari Rp400 juta subsider tiga bulan kurungan menjadi Rp200 juta subsider tiga bulan penjara.
Mahkamah Agung dalam putusan PK turut menetapkan agar Aryanto Prametu membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp7,87 miliar subsider satu tahun penjara sesuai dengan putusan kasasi.
Mahkamah Agung memutuskan hal demikian dengan mengabulkan permohonan PK dan membatalkan putusan kasasi dengan mengadili sendiri perkara Aryanto Prametu.
Mahkamah Agung dalam putusan yang mengadili sendiri perkara tersebut menyatakan perbuatan Direktur PT Sinta Agro Mandiri (SAM) itu terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Namun demikian, Emil mengatakan bahwa kliennya belum puas dengan putusan PK tersebut dan berencana kembali menempuh upaya hukum luar biasa untuk kali kedua ke Mahkamah Agung.
"Harusnya bebas karena uang pengganti yang dibebankan kepada klien kami ini sudah dikembalikan. Kenapa sekarang dikenakan lagi? Jadi, ada rencana kami PK lagi," ucap dia.
Menanggapi adanya penerimaan petikan putusan PK oleh pihak terpidana, Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram Kelik Trimargo mengatakan bahwa pihaknya belum menerima informasi resmi dari Mahkamah Agung.
"Memang dalam aturannya, para pihak lebih dahulu diberitahukan melalui petikan putusan. Untuk putusan lengkap yang resmi nanti akan dikirim ke pengadilan, dari kami nanti yang akan meneruskan ke para pihak," kata Kelik.
Terkait adanya rencana pengajuan PK kedua dari terpidana, dia mengatakan bahwa hal itu tidak ada diatur dalam aturan hukum acara pidana.
"Kalau dalam aturan, PK ini hanya bisa diajukan sekali dari para pihak. Satu kali oleh terdakwa atau terpidana, satu lagi dari penuntut umum," ujarnya.