Mataram (ANTARA) - Perlu diketahui bersama bahwa skripsi tidak dihapus melainkan dijadikan opsi yang bisa digantikan dengan project, prototipe, atau bentuk lainnya. Hal ini didukung oleh pernyataan Bapak Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset Teknologi yang mengumumkan bahwa skripsi tidak wajib.

Beliau juga menambahkan bahwa kebijakan ini diserahkan kepada masing-masing Universitas untuk menentukan sendiri terkait dengan kebijakan tersebut selama memperhatikan urgensi dan kepentingan dari masing-masing Universitas.

Hal ini memicu reaksi dari berbagai pihak masyarakat. Berbagai kalangan seperti mahasiswa, dosen, serta masyarakat lainnya memberikan komentar dan opininya masing-masing terkait hal ini. Tidak jarang dari mereka ada yang di pihak pro dengan alasan skripsi memberatkan atau bahkan ada yang kontra dengan argumentasi yang tidak kalah menarik, yaitu, mereka menyatakan bahwa skripsi itu penting untuk menciptakan riset ilmiah yang baru dan membuat mahasiswa lebih kuat mentalnya serta mahasiswa mampu berpikir sistematis dan terstruktur. 

Tidak ada yang salah dari argumentasi tadi, tapi perlukah skripsi ini dijadikan sebuah opsi? Lalu bagaimana pengaruhnya terhadap kualitas pendidikan Indonesia?

Kualitas Pendidikan Indonesia

World Bank memprediksi Human Capital Indeks Indonesia dalam 18 tahun ke depan sebanyak 54 persen. Kita kalah dengan negara Palestina yang menyentuh angka 56 persen. Maka dari itu, dunia pendidikan terutama perkuliahan perlu perubahan serta strategi untuk meningkatkan hal itu. 

Buruknya kualitas pendidikan yang dihasilkan salah satunya disebabkan oleh adanya gap antara dunia pendidikan yaitu ketika menjadi seorang mahasiswa dengan keadaan ketika sudah wisuda. Gap ini terjadi karena banyaknya mahasiswa yang tidak mampu menerapkan ilmu yang mereka dapatkan selama menempuh jenjang pendidikan.

Dengan kualitas pendidikan yang sudah ada, diperlukan sebuah strategi dan perubahan terutama dalam membantu mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi dunia baru. Maka dari itu, mahasiswa juga perlu yang namanya keterampilan yang bisa mereka kerjakan ketika mereka sudah wisuda.

Menunjang Keterampilan Kerja?


Apakah skripsi mampu menunjang keterampilan dalam dunia kerja? Skripsi merupakan sebuah rangkaian panjang yang harus dilewati mahasiswa. Mulai dari mengajukan judul skripsi. Kemudian harus mengerjakan bab 1 hingga bab 3 yang biasa disebut dengan proposal. Selanjutnya, ada seminar proposal yang harus dilewati mahasiswa dan setelah itu baru melanjutkan ke bab 4 hingga bab 6. 

Setelah semuanya selesai, mahasiswa harus melewati yang namanya ujian hasil yang dimana disana akan di uji hasil penelitian dan riset yang dilakukan. Namun, dalam prosesnya juga ada banyak hal yang harus dilewati. 

Pertama, susahnya dalam bertemu dosen pendamping. Kemudian kurangnya fasilitas kampus untuk menunjang penelitian, terutama mereka yang ada di bidang sains. Selanjutnya mungkin yang paling menjadi tantangan mahasiswa adalah masalah mental. Banyaknya rangkaian yang harus dilalui mahasiswa tidak sedikit membuat mahasiswa stress ketika mereka mengerjakan skripsi. Sehingga beberapa dari mahasiswa ada yang bunuh diri akibat stress ketika mengerjakan skripsi.

Apakah semua rangkaian di atas akan berguna ketika memasuki dunia kerja? Menurutku hanya sedikit saja yang dipakai. Kebanyakan mahasiswa susah mendapatkan pekerjaan dikarenakan tidak memiliki keterampilan. Mari kita melihat kebelakang. Lama waktu yang dibutuhkan untuk menempuh dunia pendidikan di Indonesia sampai mendapatkan gelar sarjana adalah 16 tahun normalnya yang dimana mereka lebih banyak di isi dengan belajar teori saja. 

Bayangkan anak-anak di Indonesia terbiasa dengan hal teoritis sehingga tidak jarang dari mereka susah menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Masalah ini akan ditambah dengan adanya skripsi sebagai kewajiban mahasiswa untuk lulus. 

Bagaimana tidak? Skripsi menambah rangkaian pembelajaran yang lebih banyak mengedepankan teori daripada keterampilan. Keterampilan yang ada hanya berfokus pada pusat yang lebih kecil saja. Keadaan ini bisa menambah banyaknya mahasiswa yang kesusahan dalam menerapkan ilmu mereka ketika mereka sudah wisuda.

Mari kita berbicara data dan fakta. Menurut Badan Pusat Statistika, 3 tahun terakhir di Indonesia, pengangguran dengan lulusan Universitas itu lebih banyak dibandingkan pengangguran yang lulus Sekolah Dasar. Bahkan, jumlah pengangguran dari lulusan Universitas pada tahun 2022 yaitu sebanyak 673,49 ribu penganggur. Salah satu penyebabnya adalah tidak terampilnya mahasiswa ketika mereka di hadapkan pada sebuah pekerjaan.

Apakah Project Cukup?


Mari kita bandingkan skripsi dengan project. Skripsi adalah sebuah karya tulis ilmiah yang dibuat dengan sistematis yang kemudian ditulis dengan metode-metode penelitian yang digunakan untuk memecahkan suatu masalah. Sedangkan project adalah aktivitas atau kegiatan yang telah direncanakan dan diselesaikan dalam jangka waktu yang ditentukan. Dari kedua definisi yang kita dapat, project lebih mengacu kepada sebuah implementasi dibandingkan dengan skripsi. Mengapa demikian? Memang benar adanya output yang dihasilkan skripsi juga menghasilkan sebuah implementasi yang bisa bermanfaat buat masyarakat. 

Namun disini mari kita mengukur sejauh mana kebermaanfaatan yang dihasilkan dari implementasinya. Project disini lebih unggul karena langsung menyelesaikan suatu permasalahan yang besar karena project bisa melibatkan banyak orang dan banyak bidang ilmu. Selain itu, penyelesaian project bisa lebih fokus karena tidak ada sistem atau aturan-aturan yang baku seperti aturan yang diterapkan dalam pembuatan skripsi.
 
Project juga lebih unggul karena biasanya project mampu bekerja sama dengan perusahaan atau instansi. Hal ini mampu memberikan gambaran kepada mahasiswa tentang dunia pekerjaan dan mampu menambah relasi. Selain itu, keterampilan mereka dalam menghadapi masalah-masalah yang biasa terjadi dalam dunia kerja dapat mereka rasakan. 

Problem solving mereka bisa meningkat dan mampu beradaptasi dalam kerja sama tim. Dalam hal ini bisa dikatakan project lebih bermanfaat dibandingkan skripsi. Kemudian apakah selain project yang ditawarkan bapak menteri juga bisa dikatakan sangat layak untuk menggantikan skripsi? Menurut saya layak dan tidaknya adalah tergantung kesesuaian antara bidang ilmu dan alat ukur yang dipakai bidang ilmu tersebut untuk menggantikan skripsi. 

Skripsi sangat identik dengan suatu yang sistematis dan terstruktur. Kemudian apakah hal itu bisa diterapkan di semua jenis bidang ilmu? Tentu jawabannya adalah tidak. Seni menjadi salah satu contoh bidang ilmu yang tidak membutuhkan skripsi. Karena mereka akan lebih fokus dengan inovasi pengembangan keterampilan di bidang tersebut. Namun apakah dengan dijadikan opsi seperti ini, ke depannya riset ilmiah akan berkurang atau bahkan hilang?

Riset Ilmiah Hilang


Semua orang akan sepakat dengan segala seuatu kebijakan yang diambil pasti memiliki resiko tersendiri. Tapi, semua resiko yang ada bisa di minimalisir atau di hindari. Mungkin dengan adanya opsi bahwa skripsi tidak wajib akan menyebabkan pengurangan dari hasil riset ilmiah. Namun disini solusi dari itu pasti selalu ada.

Saya yakin hampir semua jurusan di Universitas yang ada di Indonesia mempunya matkul kepenulisan ilmiah. Kemudian, matkul ini bisa dijadikan salah satu solusi dalam mengurangi resiko terjadinya kekurangan riset ilmiah. Misal, mereka wajib membuat karya ilmiah sebagai tugas dari matkul ini. 

Di sisi lain, untuk mendapatkan refrensi atau riset dan penelitian terbaru sangat mudah dan gampang di akses dimana-mana. Hal ini juga didukung oleh perkembangan teknologi-teknologi yang ada, seperti perkembangan Artificial Intelegency yang marak dimana-mana memungkin semua orang bisa mengakses apapun termasuk riset atau penelitian terbaru.

Namun di sini ada catatan kecil yang ingin saya sampaikan, mau skipsi atau bukan yang pasti subtansi riset ilmiah tidak boleh dihilangkan, baik riset dasar maupun terapan, karena kemajuan perdaban manusia bertumpu pada keduanya, sisi buruk jika perguruan tidak menerapkan skripsi adalah referensi ilmiah terbaru akan berkurang dengan sangat signifikan, dan tentu saja ini akan sangat merugikan dunia pendidikan kita. 

Jadi, saya mengharapkan skripsi tidak dihapus total dan perlu pengawasan serta kebijakan yang tegas atas hal ini. Diperlukan sebuah aturan yang jelas tentang diperbolehkan atau tidaknya mahasiswa dalam membuat skripsi. Maka dari itu, semua pihak yang terlibat harus saling bekerja sama dalam membangun pendidikan di Indonesia.

Ubah Mindset


Kalau kita mau berkaca dengan negara maju, sistem pendidikan mereka kebanyakan mengarahkan siswanya untuk fokus dalam satu bidang semenjak mereka dini. Ketertarikan serta bakat yang mereka miliki sudah di asah sejak mereka kecil. Sehingga mereka bisa jadi orang yang ahli di bidang mereka masing-masing. 

Menjadikan skripsi opsi mungkin bisa dikatakan langkah awal Indonesia mencapai itu. Semua orang di Indonesia bisa menentukan sendiri dan fokus dengan bidang mereka sendiri tanpa harus ada aturan baku yang mengatur mereka untuk menyelesaikan dan mengerjakan sesuatu yang sebenarnya mereka tidak mampu dan tidak disukai.

Subtansi, kompetensi, dan rekontruksi yang dihasilkan dari hasil diskusi dan riset yang panjang adalah awal baru untuk menentukan kebijakan. Namun, penyetaraan persepsi untuk semua pihak perlu diadakan. Semua pihak yang terlibat perlu mengkaji dan mempelajari kebijakan ini. 

Karena apabila ditelan mentah-mentah, bukannya kemajuan yang didapatkan malah akan menimbulkan kerusakan. Jadi, kesimpulannya adalah skripsi dijadikan opsi adalah langkah awal yang baik untuk perubahan dan kemajuan dalam dunia pendidikan dengan catatan semua pihak yang terlibat saling bahu membahu untuk menuju Indonesia yang maju.

Muhamad Irzan (anggota UKM Prima Universitas Mataram)
 

Pewarta : Muhamad Irzan (*)
Editor : Riza Fahriza
Copyright © ANTARA 2024