Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar menyarankan KPU dan Bawaslu perlu mengoptimalkan sosialisasi mengenai aturan kampanye politik di media sosial kepada para peserta pemilu agar dapat dipatuhi dengan baik.
Hal itu perlu dilakukan terkait kekhawatiran beredarnya informasi palsu dan ujaran kebencian masih akan membayangi kampanye Pemilu 2024, meskipun KPU telah mengeluarkan aturan terbaru mengenai kampanye melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum.
"Nampaknya aturan tersebut belum dapat mengurangi peredaran informasi palsu dan ujaran kebencian di media sosial jelang kampanye Pemilu 2024," kata Adinda dalam diskusi publik yang diselenggarakan TII dan Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD) Universitas Paramadina di Jakarta, Senin.
Adinda meminta Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) perlu memperkuat penegakan sanksi administratif atas pelanggaran kampanye politik di media sosial. Selain itu, Bawaslu perlu mengumumkan kepada publik secara berkala tentang kasus pelanggaran kampanye di media sosial dan mengeluarkan peringatan kepada peserta yang melanggar peraturan kampanye. Adinda juga mengatakan para generasi muda, khususnya mahasiswa bersama kelompok masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya, untuk meningkatkan literasi digital dan kepemiluan di masyarakat.
"Meningkatkan literasi digital dan kepemiluan di masyarakat sangat penting agar kita dapat mengawasi jalannya tahapan kampanye Pemilu 2024 dan melaporkan jika terjadi pelanggaran kampanye," ujarnya.
Dalam diskusi tersebut, Managing Director Paramadina Public Policy Institute Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam mengatakan bahwa ancaman beredarnya politik identitas berbau agama masih mungkin terjadi pada kampanye Pemilu 2024.
Hal itu karena meningkatnya proyeksi jumlah masyarakat kelas menengah Muslim, yaitu sebesar 62,8 persen dan generasi milenial Muslim sebesar 34 persen yang memiliki kapasitas ekonomi lebih baik dan tingkat pendidikan memadai, tetapi masih mencari identitas diri, jenuh pada modernisme, serta "haus" nilai-nilai agama. "Selain itu, dalam ruang komunikasi digital yang terbuka, mereka adalah sasaran empuk propaganda ideologi, pemikiran, dan sentimen SARA," katanya.
Oleh karena itu, dia berharap masyarakat perlu meningkatkan literasi dan mengawasi jalannya kampanye Pemilu 2024 agar tidak terjadi ujaran kebencian dan penyebaran hoaks, seperti yang terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Dia meminta pemerintah menjaga ruang siber dan arus sosial media dari pengembangbiakan narasi kanan-konservatif, kiri ultra-nasionalis, intoleransi, hoaks, fake news dan ujaran kebencian. Sementara itu, peneliti dan Manajer Program Pusat studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Universita Paramadina Husni Mubarok mengatakan perlu strategi menangkal hasutan kebencian menjelang kampanye Pemilu 2024.
Menurut dia, hal yang perlu pertama kali dilakukan adalah dengan mengidentifikasi ujaran dan pelintiran kebencian. "Ujaran kebencian adalah penghinaan atas identitas suatu kelompok untuk menindas. Pelintiran kebencian adalah penghinaan yang sengaja diciptakan dan digunakan sebagai strategi politik yang mengeksploitasi identitas kelompok guna memobilisasi pendukung dan menekan lawan," ujarnya.
Baca juga: Periode pendaftaran capres singkat menguntungkan investor
Baca juga: ASN Pemprov Kalteng tanda tangani pakta integritas
Selain itu, Husni mengatakan dalam konteks kampanye di media sosial, ujaran dan pelintiran kebencian seringkali dibungkus dengan narasi negatif yang bertujuan untuk memengaruhi pengguna media sosial. Oleh karena itu, Husni menegaskan sangat penting untuk semua pihak membanjiri kampanye di media sosial dengan narasi yang positif.
Hal itu perlu dilakukan terkait kekhawatiran beredarnya informasi palsu dan ujaran kebencian masih akan membayangi kampanye Pemilu 2024, meskipun KPU telah mengeluarkan aturan terbaru mengenai kampanye melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum.
"Nampaknya aturan tersebut belum dapat mengurangi peredaran informasi palsu dan ujaran kebencian di media sosial jelang kampanye Pemilu 2024," kata Adinda dalam diskusi publik yang diselenggarakan TII dan Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD) Universitas Paramadina di Jakarta, Senin.
Adinda meminta Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) perlu memperkuat penegakan sanksi administratif atas pelanggaran kampanye politik di media sosial. Selain itu, Bawaslu perlu mengumumkan kepada publik secara berkala tentang kasus pelanggaran kampanye di media sosial dan mengeluarkan peringatan kepada peserta yang melanggar peraturan kampanye. Adinda juga mengatakan para generasi muda, khususnya mahasiswa bersama kelompok masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya, untuk meningkatkan literasi digital dan kepemiluan di masyarakat.
"Meningkatkan literasi digital dan kepemiluan di masyarakat sangat penting agar kita dapat mengawasi jalannya tahapan kampanye Pemilu 2024 dan melaporkan jika terjadi pelanggaran kampanye," ujarnya.
Dalam diskusi tersebut, Managing Director Paramadina Public Policy Institute Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam mengatakan bahwa ancaman beredarnya politik identitas berbau agama masih mungkin terjadi pada kampanye Pemilu 2024.
Hal itu karena meningkatnya proyeksi jumlah masyarakat kelas menengah Muslim, yaitu sebesar 62,8 persen dan generasi milenial Muslim sebesar 34 persen yang memiliki kapasitas ekonomi lebih baik dan tingkat pendidikan memadai, tetapi masih mencari identitas diri, jenuh pada modernisme, serta "haus" nilai-nilai agama. "Selain itu, dalam ruang komunikasi digital yang terbuka, mereka adalah sasaran empuk propaganda ideologi, pemikiran, dan sentimen SARA," katanya.
Oleh karena itu, dia berharap masyarakat perlu meningkatkan literasi dan mengawasi jalannya kampanye Pemilu 2024 agar tidak terjadi ujaran kebencian dan penyebaran hoaks, seperti yang terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Dia meminta pemerintah menjaga ruang siber dan arus sosial media dari pengembangbiakan narasi kanan-konservatif, kiri ultra-nasionalis, intoleransi, hoaks, fake news dan ujaran kebencian. Sementara itu, peneliti dan Manajer Program Pusat studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Universita Paramadina Husni Mubarok mengatakan perlu strategi menangkal hasutan kebencian menjelang kampanye Pemilu 2024.
Menurut dia, hal yang perlu pertama kali dilakukan adalah dengan mengidentifikasi ujaran dan pelintiran kebencian. "Ujaran kebencian adalah penghinaan atas identitas suatu kelompok untuk menindas. Pelintiran kebencian adalah penghinaan yang sengaja diciptakan dan digunakan sebagai strategi politik yang mengeksploitasi identitas kelompok guna memobilisasi pendukung dan menekan lawan," ujarnya.
Baca juga: Periode pendaftaran capres singkat menguntungkan investor
Baca juga: ASN Pemprov Kalteng tanda tangani pakta integritas
Selain itu, Husni mengatakan dalam konteks kampanye di media sosial, ujaran dan pelintiran kebencian seringkali dibungkus dengan narasi negatif yang bertujuan untuk memengaruhi pengguna media sosial. Oleh karena itu, Husni menegaskan sangat penting untuk semua pihak membanjiri kampanye di media sosial dengan narasi yang positif.