Mataram (ANTARA) - Perkara korupsi pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nusa Tenggara Barat terkait dengan proyek pengadaan alat kesenian marching band pada tahun anggaran 2017 masuk agenda persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram.
Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram Kelik Trimargo di Mataram, Kamis, mengungkapkan bahwa ketua pengadilan telah menetapkan agenda sidang perdana untuk perkara tersebut pada hari Selasa (17/10).
"Ketua pengadilan juga sudah menunjuk majelis hakim yang akan menyidangkan. Ketuanya Pak Jarot Widiyatmono dengan anggota Glorious Anggundoro dan Djoko Soepriyono," ujarnya.
Dalam perkara yang masuk dalam agenda persidangan tersebut, terdapat dua tersangka, yakni Muhammad Irwin selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek dan Lalu Buntaran dari pihak pelaksana proyek.
Menurut data dari laman resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Mataram, Muhammad Irwin terdaftar dengan registrasi perkara nomor: 28/Pid.Sus-TPK/2023/PN Mtr, sedangkan Lalu Buntaran dengan perkara nomor: 27/Pid.Sus-TPK/2023/PN Mtr.
Selain itu, tercatat dalam data resmi pengadilan daftar jaksa penuntut umum yang menyidangkan perkara kedua tersangka tersebut. Jumlahnya sembilan orang.
Adapun jaksa yang bertugas Iman Firmansyah, Mila Melinda, Sesarto Putra, Baiq Ira Mayasari, Dian Purnama, Mardiyono, Sahdi, Ema Muliawati, dan Fajar Alamsyah Malo.
Terkait dengan status salah seorang tersangka, yakni Lalu Buntaran kini masih menjalani pidana di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas II B Praya, Kabupaten Lombok Tengah, Juru Bicara Kejati NTB Efrien Saputera mengatakan bahwa pihaknya sudah mengetahui hal tersebut.
"Nanti dari penuntut umum yang akan bersurat ke Kemenkumham supaya yang bisa menghadirkan yang bersangkutan di persidangan," kata Efrien.
Perkara ini merupakan hasil penyidikan Polda NTB. Dalam penanganan yang berlangsung sejak 2018, kerugian negara hasil audit BPKP NTB senilai Rp702 juta.
Kerugian negara Rp702 juta muncul dari hasil identifikasi penyaluran anggaran pengadaan dalam dua tahap. Pertama, senilai Rp1,57 miliar untuk dibagikan ke lima SMA negeri dan kedua Rp982,43 juta untuk empat SMA swasta.
Penyidik menetapkan dua tersangka dengan menemukan perbuatan melawan hukum bahwa PPK diduga tidak melakukan survei harga perkiraan sendiri (HPS). Akan tetapi, untuk survei HPS, PPK meminta bantuan tersangka Lalu Buntaran.
Dengan adanya permintaan bantuan tersebut, Lalu Buntaran diduga memonopoli proyek tersebut agar perusahaannya muncul sebagai pemenang lelang.
Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram Kelik Trimargo di Mataram, Kamis, mengungkapkan bahwa ketua pengadilan telah menetapkan agenda sidang perdana untuk perkara tersebut pada hari Selasa (17/10).
"Ketua pengadilan juga sudah menunjuk majelis hakim yang akan menyidangkan. Ketuanya Pak Jarot Widiyatmono dengan anggota Glorious Anggundoro dan Djoko Soepriyono," ujarnya.
Dalam perkara yang masuk dalam agenda persidangan tersebut, terdapat dua tersangka, yakni Muhammad Irwin selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek dan Lalu Buntaran dari pihak pelaksana proyek.
Menurut data dari laman resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Mataram, Muhammad Irwin terdaftar dengan registrasi perkara nomor: 28/Pid.Sus-TPK/2023/PN Mtr, sedangkan Lalu Buntaran dengan perkara nomor: 27/Pid.Sus-TPK/2023/PN Mtr.
Selain itu, tercatat dalam data resmi pengadilan daftar jaksa penuntut umum yang menyidangkan perkara kedua tersangka tersebut. Jumlahnya sembilan orang.
Adapun jaksa yang bertugas Iman Firmansyah, Mila Melinda, Sesarto Putra, Baiq Ira Mayasari, Dian Purnama, Mardiyono, Sahdi, Ema Muliawati, dan Fajar Alamsyah Malo.
Terkait dengan status salah seorang tersangka, yakni Lalu Buntaran kini masih menjalani pidana di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas II B Praya, Kabupaten Lombok Tengah, Juru Bicara Kejati NTB Efrien Saputera mengatakan bahwa pihaknya sudah mengetahui hal tersebut.
"Nanti dari penuntut umum yang akan bersurat ke Kemenkumham supaya yang bisa menghadirkan yang bersangkutan di persidangan," kata Efrien.
Perkara ini merupakan hasil penyidikan Polda NTB. Dalam penanganan yang berlangsung sejak 2018, kerugian negara hasil audit BPKP NTB senilai Rp702 juta.
Kerugian negara Rp702 juta muncul dari hasil identifikasi penyaluran anggaran pengadaan dalam dua tahap. Pertama, senilai Rp1,57 miliar untuk dibagikan ke lima SMA negeri dan kedua Rp982,43 juta untuk empat SMA swasta.
Penyidik menetapkan dua tersangka dengan menemukan perbuatan melawan hukum bahwa PPK diduga tidak melakukan survei harga perkiraan sendiri (HPS). Akan tetapi, untuk survei HPS, PPK meminta bantuan tersangka Lalu Buntaran.
Dengan adanya permintaan bantuan tersebut, Lalu Buntaran diduga memonopoli proyek tersebut agar perusahaannya muncul sebagai pemenang lelang.