Mataram (ANTARA) - Merawat silaturahmi antar-gunung dengan berbekal segenggam tanah dari ketinggian wilayah Gunung Rinjani di Lombok, untuk kemudian nantinya ditaburkan di Puncak Khardungla Pass Himalaya, berangkat melawat lewat negeri Srilangka terbang menuju tanah Hindustan.
Serta menginap di seputar Tibetan Refugee Camp di New Delhi India hingga akhirnya hadir tampil di panggung Danyi di Ziro Festival of Music.
Juga berkonser gerilya di sebuah rumah adat Apatani yang disewa sahabat Asrie, Anupam Chakravartty dan kawan- kawan di wilayah Arunachal Pradesh yang terkenal dengan perempuan Suku Apataninya yang menjalankan tradisi kuno Yaping Hurlo.
Yaping Hurlo yaitu merombak wajah cantiknya dengan menanam kayu pada dua titik di hidung mereka agar tak diculik oleh suku tetangganya.
Perjalanan pun dipandu oleh DR Tresnady Asrie dan Harsa lewat kota Guwahati di negara bagian Assam yang pada suatu malam sempat singgah menyanyikan lagu "Survival " (ArJul . 2000) di sebuah klub musik Jimi Hendrix di hadapan audience beberapa anak muda India yang mengenali ArJul sebelumnya mungkin lewat berita medsos.
Perjalanan berlanjut setelah sempat menyaksikan aliran sungai Brahma Putra pada sore hari, lalu paginya berlanjut melaju ke Itanagar hingga ujungnya mendarat di Landasan Udara Militer India di Ziro masih di kawasan Pegunungan Himalaya wilayah Timur India berbatasan langsung dengan negeri Tiongkok dan Myanmar.
Rute pun kemudian berbalik arah ke arah barat mendarat di kota tua Calcutta yang berganti nama menjadi Kolkata. Tempat di mana pernah hadir tokoh agama yang tekun dan sabar mengurus kaum miskin India yaitu mendiang Mother Theresa. Juga kota yang dikenal dengan tempat pembakaran mayat masal kaum Hindu nya di tepi sungai Gangga.
Saat itu tiba- tiba kota ini memberi inspirasi ArJul menulis lagu berjudul "GAGAK DI KOLKATA " dikala sering turunnya hujan seperti suasana langit Buitenzorg atau Kota Bogor di Jawa Barat.
Mungkin inilah saat hujan yang sama juga terjadi di masa lalu pada sekitar tahun 1816 an saat Raffles memutuskan mengirim Batu Prasasti Raja Airlangga yang pernah berkuasa di Jawa dan sekitarnya pada tahun 1014.
Batu prasasti tersebut bernama "Pucangan" berisikan pesan berbahasa Sanskrit dan Jawa Kuno dan sejak 200 tahun yang lalu hingga saat ini benda tersebut masih bersemayam di Museum Calcutta.
Tahap selanjutnya adalah berangkat ke Utara sebelah barat India via New Delhi menuju Kota Leh atau yang di masa jayanya perdagangan kuno Jalur Sutra dikenal dengan nama Maryul.
Atau Khachumpa sebagai ibu kota negeri Ladakh yang merupakan kawasan tempat tinggal tertinggi di muka bumi yang berkisar pada ketinggian nyaris lebih dari 3.500 meter di bawah permukaan Laut.
Bandingkan selisihnya dengan ketinggian Puncak Rinjani yang lebih dari 3.700 meter dibawah permukaan laut.
Wilayah ini sekali pun di masa lampau dihuni oleh mayoritas penganut Buddha dan Islam Syiah, namun juga katanya terkenal sebagai pemukiman awal kaum penganut Kristen Kuno Nestorian yang hijrah dari wilayah Asia Tengah.
Juga penganut mistik dari Tanah Persia. Namun saat ini Leh sudah menjadi sebuah wilayah yang sangat toleran dengan beragam latar belakang agama dan suku juga budayanya.
Apalagi ketika kini sudah juga menjadi destinasi wisata andalan India sejak 5 tahun yang lalu Leh dinyatakan terbuka untuk orang asing mengunjungi kota tertinggi di bumi ini.
(Bersambung)
Serta menginap di seputar Tibetan Refugee Camp di New Delhi India hingga akhirnya hadir tampil di panggung Danyi di Ziro Festival of Music.
Juga berkonser gerilya di sebuah rumah adat Apatani yang disewa sahabat Asrie, Anupam Chakravartty dan kawan- kawan di wilayah Arunachal Pradesh yang terkenal dengan perempuan Suku Apataninya yang menjalankan tradisi kuno Yaping Hurlo.
Yaping Hurlo yaitu merombak wajah cantiknya dengan menanam kayu pada dua titik di hidung mereka agar tak diculik oleh suku tetangganya.
Perjalanan pun dipandu oleh DR Tresnady Asrie dan Harsa lewat kota Guwahati di negara bagian Assam yang pada suatu malam sempat singgah menyanyikan lagu "Survival " (ArJul . 2000) di sebuah klub musik Jimi Hendrix di hadapan audience beberapa anak muda India yang mengenali ArJul sebelumnya mungkin lewat berita medsos.
Perjalanan berlanjut setelah sempat menyaksikan aliran sungai Brahma Putra pada sore hari, lalu paginya berlanjut melaju ke Itanagar hingga ujungnya mendarat di Landasan Udara Militer India di Ziro masih di kawasan Pegunungan Himalaya wilayah Timur India berbatasan langsung dengan negeri Tiongkok dan Myanmar.
Rute pun kemudian berbalik arah ke arah barat mendarat di kota tua Calcutta yang berganti nama menjadi Kolkata. Tempat di mana pernah hadir tokoh agama yang tekun dan sabar mengurus kaum miskin India yaitu mendiang Mother Theresa. Juga kota yang dikenal dengan tempat pembakaran mayat masal kaum Hindu nya di tepi sungai Gangga.
Saat itu tiba- tiba kota ini memberi inspirasi ArJul menulis lagu berjudul "GAGAK DI KOLKATA " dikala sering turunnya hujan seperti suasana langit Buitenzorg atau Kota Bogor di Jawa Barat.
Mungkin inilah saat hujan yang sama juga terjadi di masa lalu pada sekitar tahun 1816 an saat Raffles memutuskan mengirim Batu Prasasti Raja Airlangga yang pernah berkuasa di Jawa dan sekitarnya pada tahun 1014.
Batu prasasti tersebut bernama "Pucangan" berisikan pesan berbahasa Sanskrit dan Jawa Kuno dan sejak 200 tahun yang lalu hingga saat ini benda tersebut masih bersemayam di Museum Calcutta.
Tahap selanjutnya adalah berangkat ke Utara sebelah barat India via New Delhi menuju Kota Leh atau yang di masa jayanya perdagangan kuno Jalur Sutra dikenal dengan nama Maryul.
Atau Khachumpa sebagai ibu kota negeri Ladakh yang merupakan kawasan tempat tinggal tertinggi di muka bumi yang berkisar pada ketinggian nyaris lebih dari 3.500 meter di bawah permukaan Laut.
Bandingkan selisihnya dengan ketinggian Puncak Rinjani yang lebih dari 3.700 meter dibawah permukaan laut.
Wilayah ini sekali pun di masa lampau dihuni oleh mayoritas penganut Buddha dan Islam Syiah, namun juga katanya terkenal sebagai pemukiman awal kaum penganut Kristen Kuno Nestorian yang hijrah dari wilayah Asia Tengah.
Juga penganut mistik dari Tanah Persia. Namun saat ini Leh sudah menjadi sebuah wilayah yang sangat toleran dengan beragam latar belakang agama dan suku juga budayanya.
Apalagi ketika kini sudah juga menjadi destinasi wisata andalan India sejak 5 tahun yang lalu Leh dinyatakan terbuka untuk orang asing mengunjungi kota tertinggi di bumi ini.
(Bersambung)