Mataram (Antara NTB) - Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Nusa Tenggara Barat menyoroti maraknya anak-anak yang bermain petasan menjelang bulan puasa Ramadhan 1437 Hijriah.
"Saya berkeliling di salah satu kelurahan di Mataram, anak-anak marak main petasan," kata Koordinator Divisi Hukum dan Advokasi LPA NTB, Joko Jumadi di Mataram, Jumat.
Anak-anak yang bermain petasan itu, menurut dia, berisiko mengalami luka bakar jika terjadi kesalahan pada saat mau meledakan.
Bahkan, berisiko juga bagi anak lainnya yang main bersamanya.
Oleh sebab itu, kata Joko, perlu ketegasan dari aparat pemerintah daerah dan penegak hukum untuk melakukan penertiban terhadap para penjual petasan kepada anak-anak.
"Kalau dilihat-lihat, sebenarnya konsumen terbesar petasan adalah anak-anak usia sekolah dasar, ini harus menjadi perhatian semua pihak," ujarnya.
Ia juga meminta peran para orang tua untuk tidak membiarkan anak-anaknya bermain petasan, terutama ketika umat muslim melaksanakan ibadah salat.
Sebab, selain berisiko melukai anak, juga berpotensi memunculkan konflik di tengah masyarakat.
"Petasan ini menjadi perhatian kami, selama ini kami fokus pada bagaimana supaya minuman keras tradisional diberantas karena konsumennya juga anak-anak," katanya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyoroti maraknya penjualan petasan menjelang bulan Ramadan.
Menurut Dewan Pertimbangan MUI KH Amidhan, penjualan petasan terkesan begitu mudah, sehingga gampang diperoleh masyarakat, termasuk juga anak-anak.
Oleh sebab itu, ia meminta ketegasan pemerintah untuk melakukan penertiban terhadap hal-hal yang mengganggu kekhusyuan umat Islam menjalankan ibadah puasa.
"Termasuk juga penertiban perdagangan minuman keras dan tempat hiburan malam pada saat bulan suci Ramadan," kata KH Amidhan, pada saat mengikuti kegiatan FGD MPR di Mataram, Kamis (26/5). (*)
"Saya berkeliling di salah satu kelurahan di Mataram, anak-anak marak main petasan," kata Koordinator Divisi Hukum dan Advokasi LPA NTB, Joko Jumadi di Mataram, Jumat.
Anak-anak yang bermain petasan itu, menurut dia, berisiko mengalami luka bakar jika terjadi kesalahan pada saat mau meledakan.
Bahkan, berisiko juga bagi anak lainnya yang main bersamanya.
Oleh sebab itu, kata Joko, perlu ketegasan dari aparat pemerintah daerah dan penegak hukum untuk melakukan penertiban terhadap para penjual petasan kepada anak-anak.
"Kalau dilihat-lihat, sebenarnya konsumen terbesar petasan adalah anak-anak usia sekolah dasar, ini harus menjadi perhatian semua pihak," ujarnya.
Ia juga meminta peran para orang tua untuk tidak membiarkan anak-anaknya bermain petasan, terutama ketika umat muslim melaksanakan ibadah salat.
Sebab, selain berisiko melukai anak, juga berpotensi memunculkan konflik di tengah masyarakat.
"Petasan ini menjadi perhatian kami, selama ini kami fokus pada bagaimana supaya minuman keras tradisional diberantas karena konsumennya juga anak-anak," katanya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyoroti maraknya penjualan petasan menjelang bulan Ramadan.
Menurut Dewan Pertimbangan MUI KH Amidhan, penjualan petasan terkesan begitu mudah, sehingga gampang diperoleh masyarakat, termasuk juga anak-anak.
Oleh sebab itu, ia meminta ketegasan pemerintah untuk melakukan penertiban terhadap hal-hal yang mengganggu kekhusyuan umat Islam menjalankan ibadah puasa.
"Termasuk juga penertiban perdagangan minuman keras dan tempat hiburan malam pada saat bulan suci Ramadan," kata KH Amidhan, pada saat mengikuti kegiatan FGD MPR di Mataram, Kamis (26/5). (*)