Jakarta (ANTARA) - Keberhasilan India mendaratkan pesawat Chandrayaan-3 di kutub selatan Bulan menumbuhkan kembali minat terhadap eksplorasi luar angkasa, termasuk kemungkinan menjelajah Planet Mars, Venus, dan bahkan Matahari.

Misi Chandrayaan-3 mendarat di Bulan pada 23 Agustus 2023 setelah misi sebelumnya gagal, yakni Chandrayaan-1 pada 2009 dan Chandrayaan-2, yang jatuh pada tahun 2019 karena kesalahan perangkat lunak.

"Ini adalah seruan kemenangan India yang baru," kata Perdana Menteri India Narendra Modi, yang mengibarkan bendera India saat menyaksikan pendaratan.

Setelah mencapai Bulan, Badan Penelitian Luar Angkasa India (ISRO) menyiarkan gambar dari pesawat Chandrayaan-3 yang menunjukkan permukaan Bulan serta kaki dan bayangan pendarat.

Baca juga: Pesawat antariksa China rekam gambar planet Mars

Chandrayaan melakukan misi selama 2 pekan di permukaan Bulan, mengambil gambar, dan melakukan penelitian sederhana yang dilaksanakan oleh pendaratnya yang diberi nama Vikram dan wahana penjelajahnya Pragyan.

Setelah pendaratan, Pragyan menjelajahi lokasi pendaratan dan mengirimkan gambar kembali ke Bumi sedangkan Vikram melakukan serangkaian eksperimen ilmiah termasuk mengukur suhu lapisan atas regolit Bulan.

Vikram juga menganalisis komposisi kimia debu Bulan dan menemukan jejak belerang yang dianggap sebagai petunjuk mengenai adanya aktivitas gunung berapi pada masa lalu.

Setelah melakukan tugasnya, pada 2 September kedua wahana Chandrayaan-3 diparkir dan "ditidurkan" sementara.

Pada 22 September, ISRO melakukan upaya untuk "membangunkan kembali" Pragyan dan Vikram. Meski indikator kedua wahana menunjukkan baterai yang penuh, keduanya tidak dapat dihidupkan kembali.

Sementara itu, pendaratan dilakukan di kutub selatan Bulan karena berdasarkan penelitian, daerah itu mengandung air dalam bentuk beku.

Peneliti telah berspekulasi mengenai keberadaan air di Bulan sejak awal 1960-an atau bahkan sebelum pendaratan Apollo 11 ke Bulan.

Namun sampel yang dikumpulkan dari misi Apollo pada akhir 1960-an tampak kering.

Pada 2008, para peneliti Universitas Brown mengunjungi kembali sampel Bulan tersebut dengan teknologi baru dan menemukan hidrogen di dalam manik-manik kecil kaca vulkanik.

Pada 2009, sebuah instrumen NASA di atas Kapal Chandrayaan-1 milik Badan Penelitian Luar Angkasa India ISRO mendeteksi air di permukaan Bulan.

Masih pada tahun yang sama, wahana NASA lainnya yang menghantam kutub selatan menemukan air es di bawah permukaan Bulan.

Misi NASA sebelumnya, Lunar Prospector 1998, telah menemukan bukti bahwa konsentrasi air es tertinggi berada di kawah bayangan kutub selatan.

Pendaratan Chandrayaan-3 menjadikan India negara keempat yang berhasil melakukan pendaratan lunak pesawat ruang angkasa di bulan setelah Amerika Serikat, China, dan Uni Soviet.

AS terakhir mendaratkan wahananya ke Bulan pada 1972, sedangkan Uni Soviet terakhir mengirimkan wahananya pada 1976 dan paling terbaru adalah China yang mendaratkan wahana pada 2020.

Pada 2023, selain India, Rusia juga meluncurkan Luna-25 pada 11 Agustus menuju tujuan pendaratan yang sama yakni kutub selatan Bulan.

Namun Luna-25 mengalami kegagalan setelah memasuki orbit yang tidak direncanakan dan jatuh menabrak permukaan Bulan, demikian menurut Badan Antariksa Rusia Roscosmos.

Meski mengalami kegagalan, Roscosmos menyatakan bahwa perlombaan untuk mengeksplorasi sumber daya Bulan telah dimulai dan negara itu menegaskan akan tetap mencoba untuk mendarat di Bulan.

Kepala Roscosmos Yury Borisov dalam konferensi pers setelah Luna-25 mengalami kegagalan mengatakan, "Ini bukan hanya soal prestise negara dan pencapaian beberapa tujuan geopolitik. Ini tentang memastikan kemampuan pertahanan dan meraih kedaulatan teknologi".

Borisov juga menyebut perlombaan menuju Bulan itu memiliki nilai praktis untuk mengembangkan sumber daya di Bulan.

"Pada masa depan, Bulan akan menjadi landasan untuk eksplorasi luar angkasa, sebuah landasan yang ideal," sebutnya.

Adapun Badan Antariksa Jepang JAXA pada 28 Agustus menunda rencana peluncuran Roket H-IIA yang membawa pendarat Bulan karena kondisi angin yang tidak memungkinkan di bagian atas atmosfer.

Roket H-IIA No.47 rencananya diluncurkan dari Pusat Antariksa Tanegashima milik Badan Antariksa Jepang JAXA dan akan membawa wahana Pendaratan Pintar untuk Penelitian Bulan (SLIM) yang akan menjadi kendaraan luar angkasa pertama Jepang yang mendarat di Bulan.

Roket itu juga akan membawa satelit pencitraan X-Ray dan misi spektroskopi (XRISM) yang merupakan proyek gabungan antara JAXA, badan antariksa AS NASA, serta Badan Antariksa Eropa.

Baca juga: Kru film Rusia bersiap untuk membuat film pertama di luar angkasa

Roket H-IIA dibangun bersama oleh JAXA dan Mitsubishi Heavy Industries (MHI) dan diluncurkan pada 6 September untuk target pendaratan pada Januari 2024.

Upaya peluncuran luar angkasa Jepang lainnya juga mengalami hambatan, antara lain, kegagalan peluncuran roket kecil Epsilon pada Oktober 2022, begitu juga ledakan mesin yang terjadi saat dilakukan tes pada bulan lalu.

Sementara, AS menyiapkan program antariksa berawak Artemis 3 yang direncanakan untuk menerbangkan astronot ke kutub selatan Bulan pada 2025.


Menjelajah Matahari

Selain menjelajah Bulan, Badan Penelitian Antariksa India ISRO meluncurkan roket pada 2 September menuju Matahari dan diperkirakan akan tiba pada minggu awal 2024.

Wahana Matahari berbasis luar angkasa pertama India itu akan mempelajari angin Matahari yang dapat menyebabkan gangguan di Bumi yang sering dilihat sebagai aurora.

Diberi nama dari bahasa Hindi yang berarti Matahari, Aditya-L1 didesain untuk bepergian dengan jarak sekitar 1,5 juta kilometer selama 4 bulan menuju semacam tempat parkir di antariksa.

Misi ke Matahari itu dilaksanakan setelah India mengalahkan Rusia pada Agustus dan menjadi negara pertama yang mendarat di kutub selatan Bulan.

Meski Rusia memiliki roket yang lebih bertenaga, Chandrayaan-3 milik India bertahan lebih lama daripada Luna-25 milik Rusia dan berhasil mendarat sesuai rencana.

Para peneliti berharap dapat mempelajari lebih lanjut mengenai efek radiasi Matahari terhadap ribuan satelit di orbit Bumi.

"Orbit rendah Bumi telah menjadi padat satelit akibat partisipasi swasta, jadi pemahaman mengenai keamanan satelit ini menjadi sangat penting dalam lingkungan angkasa saat ini," kata Rama Rao Nidamanuri, Kepala Departemen Bumi dan Luar Angkasa di Institut Ilmu Angkasa dan Teknologi India.

Untuk jangka panjang, data dari misi itu dapat membantu lebih jauh pemahaman mengenai pengaruh matahari terhadap pola iklim Bumi dan asal dari angin Matahari, aliran partikel yang keluar dari Matahari menuju sistem tata surya, menurut ilmuwan dari Badan Riset Luar Angkasa India ISRO.

Eksplorasi luar angkasa kembali bergairah dengan dibukanya kerja sama dengan pihak swasta. Tidak lagi menjadi hanya proyek negara, hampir seluruh badan antariksa kini membuka diri untuk bekerja sama dengan swasta.

Salah satu contoh adalah dorongan Perdana Menteri India Narendra Modi membuat ISRO merangkul swasta dalam program peluncuran luar angkasa dan sedang melirik kemungkinan untuk membuka sektor itu bagi investasi asing.

Beberapa perusahaan lain yang juga berkecimpung dalam eksplorasi antariksa seperti Mitsubishi Heavy Industries (MHI) dan SpaceX milik Elon Musk.


Perjanjian Artemis

Dengan dimulainya kembali penjelajahan ke Bulan, muncul pertanyaan mengenai hukum yang akan diberlakukan bagi kepemilikan benda di Bulan, apakah akan sama dengan ketentuan di Bumi?

Perjanjian Luar Angkasa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1967 melarang negara mana pun untuk mengklaim kepemilikan Bulan.

Namun tidak ada ketentuan yang akan menghentikan operasi yang bersifat komersial.

Upaya yang didukung utamanya oleh AS untuk menetapkan seperangkat prinsip untuk eksplorasi Bulan dan penggunaan sumber dayanya, yaitu Perjanjian Artemis, memiliki sebanyak 27 pihak penandatangan.

Sementara itu, China dan Rusia--yang telah menyatakan tetap akan berupaya untuk menjelajah Bulan--belum menandatangani perjanjian tersebut.

Yang sudah pasti, Bulan bakal menjadi wilayah eksplorasi dan ajang adu teknologi antariksa tanpa henti oleh negara-negara maju, termasuk China dan India.

Editor: Achmad Zaenal M

Baca juga: BRIN: Sampah antariksa China melintasi Sumatera
Baca juga: Indonesia harapkan bisa miliki bandar antariksa

Pewarta : Arie Novarina
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2024