Jakarta (ANTARA) - TNI Angkatan Udara mendirikan sekolah penerbang (sekbang) di Pangkalan Udara Adisutjipto, Yogyakarta, sejak 1945, tidak lama setelah Republik Indonesia merdeka.
Sejak awal pendiriannya sampai hari ini, Sekolah Penerbang TNI AU yang bermarkas di Lanud Adisutjipto, masih menjadi kawah candradimuka bagi para prajurit untuk mereka digembleng menjadi penerbang-penerbang tempur atau pun angkut yang profesional dan andal.
Demi mewujudkan itu, tidak ada jalan pintas bagi para calon penerbang TNI AU. Tahapan pendidikan panjang berikut rangkaian tes yang ketat menjadi satu-satunya jalan yang wajib dilewati para prajurit sebelum mereka diberi kepercayaan mengawaki alutsista TNI AU.
Jika dihitung sejak masa karbol (taruna) di Akademi Angkatan Udara ( AAU), para calon penerbang membutuhkan waktu kurang lebih 7,5 tahun untuk masuk ke dalam skadron operasional. Tahapannya, mereka menyelesaikan pendidikan selama 4 tahun di Akademi Angkatan Udara, 2 tahun di Sekolah Penerbang TNI AU, dan 1,5 tahun masa konversi/transisi.
Kapten (Pnb) Yoga “Grimlock” Kertiyasa, salah satu instruktur penerbang Skadron Pendidikan (Skadik) 101 di Wing Pendidikan 100/Terbang Lanud Adisutjipto, menilai cukup banyak tuntutan yang wajib dipenuhi para calon penerbang. Dalam masa pendidikan itu, yang terbagi atas pendidikan dasar dan pendidikan lanjut, para siswa dituntut harus selalu menunjukkan performa terbaiknya. Jika mereka gagal melewati satu tahapan mata uji, para siswa penerbang itu hanya dapat satu kali kesempatan mengulang.
Jika tambahan jam untuk simulasi dan terbang berikut satu kesempatan mengulang itu tidak juga dapat dilewati siswa, maka mereka yang gagal kena grounded, artinya tidak dapat melanjutkan ke tahapan berikutnya, kemudian namanya dihapus sebagai siswa penerbang.
“Kalau tidak sesuai standar, kami grounded. Jika ada yang grounded, itu mengurangi jumlah, misalnya dari 35 (siswa per angkatan) menjadi mungkin nanti 32. Biasanya yang grounded dua sampai tiga (siswa),” kata Kapten Yoga, yang juga menyandang callsign instruktur Jupiter 958.
Kapten Pnb Yoga “Grimlock” Kertiyasa menjelaskan tahapan pendidikan dasar Sekolah Penerbang TNI AU di Skadron Pendidikan 101, Wing Pendidikan 100/Terbang, Pangkalan Udara Adisutjipto, Yogyakarta (21/12/2023). ANTARA/Genta Tenri Mawangi.
Oleh karena itu, para siswa penerbang tidak hanya dituntut untuk cepat menangkap materi dan punya kemampuan yang prima, tetapi juga harus bermental baja karena mereka hanya punya waktu terbatas untuk menguasai banyak materi dan skill terbang.
“Mental, skill, dan penerimaan materi harus cepat catch up,” kata Yoga Kertiyasa, instruktur penerbang untuk pesawat latih Grob G 120 TP-A, KT-1B Wong Bee, dan Cessna 182 T itu.
Terlepas dari kesulitan dan ragam tuntutan yang wajib dipenuhi para calon penerbang, Yoga menyebut rata-rata tingkat kelulusan tiap angkatan siswa penerbang masih di atas 90 persen.
Kapten Pnb Arif H, salah satu instruktur di Skadron Pendidikan 104 Wingdik 100/Terbang Lanud Adisutjipto, juga menilai rata-rata kelulusan masih di atas 90 persen. Pencapaian itu, salah satunya karena para instruktur tidak hanya berlaku sebatas mentor, tetapi mereka memosisikan diri sebagai mentor yang bertanggung jawab.
“Alhamdulillah di TNI AU (tingkat kelulusan) 90 persen insya Allah lulus, karena lebih ke responsibility instructor. Karena kami punya andil, kami harus menjadikan siswa ini lulus, bagaimana pun caranya,” kata Arif, yang menyandang callsign Jupiter 996.
Kapten Pnb Arif H menjelaskan tahapan pendidikan dasar Sekolah Penerbang TNI AU di Skadron Pendidikan 104, Wing Pendidikan 100/Terbang, Pangkalan Udara Adisutjipto, Yogyakarta (21/12/2023). ANTARA/Genta Tenri Mawangi.
Jika menemukan siswa yang kesulitan, para instruktur langsung aktif mendampingi, memberikan tambahan materi, meskipun sampai malam hari, dan menambah jam latihan simulasi. Berbagai perlakuan khusus diberikan kepada siswa yang kesulitan itu. Bahkan, tak jarang, para instruktur pun menomorduakan kehidupan pribadi, termasuk keluarga, hanya demi memastikan para siswa yang kesulitan mampu menerima materi dengan baik dan berhasil melewati tahapan uji menerbangkan pesawat.
Oleh karena itu, per instruktur hanya dapat mendampingi maksimal dua siswa. Bagi Arif, jumlah itu pun terhitung banyak, karena masing-masing siswa membutuhkan perlakuan dan pendekatan yang berbeda.
“Dua itu banyak lho, misalnya, yang satu bagus, tetapi yang satu ada problem, agak susah dia menerima materi, kami treatment. Kalau perlu sampai malam menemani dia, sampai keluarga pun terkadang kami abaikan,” kata Kapten Pnb Arif.
Pendidikan dasar
Para siswa penerbang menempuh beberapa tahapan sebelum akhirnya dinyatakan lulus dan memasuki masa transisi untuk menjadi pengawak alutsista udara TNI AU.
Tahapan-tahapan itu, di antaranya pembinaan dalam kelas dan latihan simulator yang digelar oleh Skadik 104, kemudian praktik terbang dasar menggunakan pesawat latih Grob G 120 TP-A di Skadik 101, berlanjut ke pendidikan tingkat lanjut, yang juga terbagi atas ground school, latihan simulator, dan praktik terbang tingkat lanjut menggunakan pesawat latih KT-1B Wong Bee di Skadik 102.
Di tahapan dasar, siswa penerbang wajib merampungkan latihan simulasi, setidaknya selama 50 jam terbang menggunakan simulator Grob G 120 TP-A di Skadik 104. Ada delapan simulator Grob yang tersedia di Skadik 104 dan alat-alat itu mulai digunakan oleh siswa sekbang yang lulus pada 2014.
Kapten Arif, yang merupakan lulusan Sekbang TNI AU Tahun 2013, menjadi angkatan terakhir yang menggunakan simulator dan pesawat latih TNI AU yang lama AS-202 Bravo.
Dia menilai pesawat latih Grob buatan Jerman itu ideal untuk pelatihan dasar, salah satunya karena konfigurasi kursi siswa dan instruktur yang bersebelahan (side-by-side). Sementara untuk simulatornya, delapan unit yang tersedia di Skadik 104 pun berbentuk sama seperti aslinya dengan perbandingan cockpit 1:1.
Berbagai opsi pengaturan juga tersedia dan dapat diterapkan saat latihan simulasi. Arif menjelaskan pada tahap awal/pengenalan simulasi terbang, tentu siswa diberikan pengaturan yang normal. Namun seiring waktu, instruktur akan menambah kesulitan-kesulitan, misalnya pengaturan hujan deras, crosswind, dan ada juga latihan terbang malam.
Tidak hanya digunakan oleh siswa, para instruktur, yang menyandang callsign Jupiter juga rutin berlatih menggunakan simulator Grob di Skadik 104, terutama untuk simulasi situasi darurat.
Situasi darurat itu, di antaranya skenario mesin pesawat mati atau pun bagian roda pesawat (landing gear) yang tidak turun menjelang pendaratan.
“Kami terapkan prosedur-prosedur (kedaruratan) di FTD (simulator) sebelum di pesawat sebenarnya,” kata Arif.
Saat ditanya soal kondisi cuaca semacam apa yang berbahaya bagi penerbang, ia menyebut awan cb atau Cumulonimbus yang biasanya terbentuk menjelang hujan. Dia menjelaskan awan itu kerap mengandung muatan listrik yang dapat mengacaukan instrumen pesawat menjadi tidak terkendali (uncontrollable). "Bumpy (guncangannya, red.) juga besar, jadi susah juga (untuk mengendalikan pesawat,” kata dia.
Oleh karena itu, latihan berkala di simulator dan terbang menjadi bentuk antisipasi para penerbang menghadapi berbagai skenario kedaruratan. Berbagai prosedur yang disiapkan pun wajib hukumnya diikuti oleh para penerbang, manakala mereka lepas landas menuju ketinggian.
Kapten Pnb Arif H menunjukkan simulasi terbang menggunakan simulator pesawat latih Grob di Skadron Pendidikan 104, Wing Pendidikan 100/Terbang, Pangkalan Udara Adisutjipto, Yogyakarta (21/12/2023). ANTARA/Genta Tenri Mawangi.
Dalam latihan terbang dasar, para siswa dituntut untuk mahir menerbangkan (take off) dan mendaratkan (landing) pesawat, setidaknya selama 8 kali bersama instruktur, kemudian terbang sendiri (solo), terbang aerobatik, yang tiap tahapannya diakhiri dengan pengujian langsung oleh instruktur kategori B.
Instruktur-instruktur di Sekbang TNI AU terbagi empat kategori, antara lain kategori A sebagai tingkatan tertinggi, yaitu Komandan Lanud dan Komandan Wing, kemudian kategori B yang berwenang menguji para siswa pada tahap akhir sesi latihan terbangnya, kemudian kategori C dan D, yaitu para instruktur yang secara intens melatih dan mendampingi para siswa.
Untuk naik tingkatan kategori, ada beberapa syaratnya, misalnya untuk instruktur kategori D mau naik kategori C, wajib mengajar sampai 150 jam terbang, kemudian untuk kategori C naik ke kategori B, wajib mengajar sampai 250 jam terbang.
Tahapan menjadi instruktur pun juga panjang dan tak mudah. Hanya penerbang TNI AU dengan kualifikasi khusus yang dapat mengikuti tes instruktur. Jika calon instruktur itu lulus, maka dia akan menjalani pendidikan dan rangkaian tes, termasuk di antaranya terbang malam.
Kapten Yoga, misalnya, dia mulai tergabung dalam satuan pada 2014, kemudian masuk pendidikan instruktur pada 2021. "Prosesnya sekitar 7 tahun," kata Yoga, instruktur kategori C yang saat ini dalam proses naik menuju kategori B.
Tingkat lanjut
Di tingkat lanjut, siswa penerbang berlatih menggunakan pesawat KT-1B Wong Bee, pesawat yang juga digunakan tim penerbang aerobatik TNI AU, Jupiter Aerobatic Team (JAT).
Berbeda dengan Grob, konfigurasi kursi pesawat di KT-1B berjenis tandem, yaitu depan dan belakang. Posisi semacam itu pula yang pada akhirnya menuntut siswa penerbang tingkat lanjut untuk lebih mawas diri, disiplin, mandiri, dan tentunya jujur selama sesi latihan.
“Filosofi IP (instruktur penerbang) kami, (siswa) yang latih lanjut dituntut kejujuran atas yang kami lakukan di depan, karena tidak segalanya dipantau IP," kata Letda (Pnb) Andika Aulia, salah satu siswa sekbang tingkat lanjut, saat ditemui pada sela-sela kegiatannya di Skadik 102.
Pesawat latih KT-1B Wong Bee lepas landas di Skadron Pendidikan 102, Wing Pendidikan 100/Terbang, Pangkalan Udara Adisutjipto, Yogyakarta (21/12/2023). ANTARA/Genta Tenri Mawangi.
Andika, yang ditemui bersama siswa sekbang lainnya Letda Pnb Adipraja Susilo, menjelaskan ada beberapa materi terbang yang wajib mereka kuasai, di antaranya persiapan darat, manuver dasar, terbang pattern, terbang aerobatik, penguasaan instrumen, terbang malam, terbang formasi, kemudian navigasi terbang rendah.
Untuk materi yang terakhir, Adi mencontohkan salah satu cuplikan film Top Gun terbaru yang dibintangi Tom Cruise, saat terbang rendah di antara dua tebing untuk menjatuhkan bom ke sasaran.
“Kami diajarkan seperti itu, disimulasikan mengebom suatu daerah, lalu diukur ketepatan waktunya. Harus tepat, namanya (penerbang) Angkatan Udara (harus tepat) second per second (detik per detik, red.), saya baru merasakan itu sekarang,” kata Adi.
Dia melanjutkan jika penerbang tidak dapat tepat waktu hingga ukuran detik, misalnya mereka terlambat 2–3 detik, maka fatal akibatnya untuk keberhasilan operasi.
Selepas menempuh pendidikan tingkat lanjut, para penerbang yang lulus kemudian masuk penjuruan, yaitu mereka yang akan mengawaki pesawat tipe fixed wing dan rotary wing. Penerbang yang masuk dalam kategori rotary wing melanjutkan pendidikan transisi di Skadik 105 Kalijati, Subang, Jawa Barat. Skadik 105 merupakan tempat pendidikan untuk penerbang helikopter-helikopter TNI AU.
Sementara itu, penerbang yang masuk kategori fixed wing juga terbagi menjadi dua, mereka yang menerbangkan pesawat tempur dan pesawat angkut. Penerbang tempur nantinya wajib mengikuti Kursus Pengenalan Terbang Pesawat Tempur (KPTPT), sementara penerbang angkut mengikuti Kursus Pengenalan Terbang Pesawat Angkut (KPTPA).
Pesawat latih KT-1B Wong Bee mendarat di Skadron Pendidikan 102, Wing Pendidikan 100/Terbang, Pangkalan Udara Adisutjipto, Yogyakarta (21/12/2023). ANTARA/Genta Tenri Mawangi.
Dari semua rangkaian itu, Andika dan Adi mengakui rintangan yang harus mereka lewati tidak mudah. Problem psikis dan mental pun menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan para siswa merampungkan masa studi mereka.
Namun, keduanya menyampaikan rasa tanggung jawab kepada bangsa dan negara menjadi pendorong utama mereka harus berhasil dalam tiap rangkaian tes sampai akhirnya lulus sekolah penerbang.
“Kami sadar, kami di sini ditanggung negara. Jadi, sesusah apapun, sesulit apapun, kami sadar, kami dibiayai negara dan itu uang rakyat yang dikumpulkan lewat pajak hanya untuk membiayai kami. Jadi, kami harus semangat terus,” kata Adi, lulusan AAU Tahun 2023, menjawab pertanyaan wartawan.
Tidak mudah memang menjadi penerbang, apalagi penerbang TNI Angkatan Udara. Namun, kegigihan dan rasa pengabdian untuk bangsa dan negara menjadi modal utama para siswa penerbang untuk memberikan yang terbaik sampai akhir masa pendidikan dan seterusnya saat mereka bertugas di satuan.
Sejak awal pendiriannya sampai hari ini, Sekolah Penerbang TNI AU yang bermarkas di Lanud Adisutjipto, masih menjadi kawah candradimuka bagi para prajurit untuk mereka digembleng menjadi penerbang-penerbang tempur atau pun angkut yang profesional dan andal.
Demi mewujudkan itu, tidak ada jalan pintas bagi para calon penerbang TNI AU. Tahapan pendidikan panjang berikut rangkaian tes yang ketat menjadi satu-satunya jalan yang wajib dilewati para prajurit sebelum mereka diberi kepercayaan mengawaki alutsista TNI AU.
Jika dihitung sejak masa karbol (taruna) di Akademi Angkatan Udara ( AAU), para calon penerbang membutuhkan waktu kurang lebih 7,5 tahun untuk masuk ke dalam skadron operasional. Tahapannya, mereka menyelesaikan pendidikan selama 4 tahun di Akademi Angkatan Udara, 2 tahun di Sekolah Penerbang TNI AU, dan 1,5 tahun masa konversi/transisi.
Kapten (Pnb) Yoga “Grimlock” Kertiyasa, salah satu instruktur penerbang Skadron Pendidikan (Skadik) 101 di Wing Pendidikan 100/Terbang Lanud Adisutjipto, menilai cukup banyak tuntutan yang wajib dipenuhi para calon penerbang. Dalam masa pendidikan itu, yang terbagi atas pendidikan dasar dan pendidikan lanjut, para siswa dituntut harus selalu menunjukkan performa terbaiknya. Jika mereka gagal melewati satu tahapan mata uji, para siswa penerbang itu hanya dapat satu kali kesempatan mengulang.
Jika tambahan jam untuk simulasi dan terbang berikut satu kesempatan mengulang itu tidak juga dapat dilewati siswa, maka mereka yang gagal kena grounded, artinya tidak dapat melanjutkan ke tahapan berikutnya, kemudian namanya dihapus sebagai siswa penerbang.
“Kalau tidak sesuai standar, kami grounded. Jika ada yang grounded, itu mengurangi jumlah, misalnya dari 35 (siswa per angkatan) menjadi mungkin nanti 32. Biasanya yang grounded dua sampai tiga (siswa),” kata Kapten Yoga, yang juga menyandang callsign instruktur Jupiter 958.
Oleh karena itu, para siswa penerbang tidak hanya dituntut untuk cepat menangkap materi dan punya kemampuan yang prima, tetapi juga harus bermental baja karena mereka hanya punya waktu terbatas untuk menguasai banyak materi dan skill terbang.
“Mental, skill, dan penerimaan materi harus cepat catch up,” kata Yoga Kertiyasa, instruktur penerbang untuk pesawat latih Grob G 120 TP-A, KT-1B Wong Bee, dan Cessna 182 T itu.
Terlepas dari kesulitan dan ragam tuntutan yang wajib dipenuhi para calon penerbang, Yoga menyebut rata-rata tingkat kelulusan tiap angkatan siswa penerbang masih di atas 90 persen.
Kapten Pnb Arif H, salah satu instruktur di Skadron Pendidikan 104 Wingdik 100/Terbang Lanud Adisutjipto, juga menilai rata-rata kelulusan masih di atas 90 persen. Pencapaian itu, salah satunya karena para instruktur tidak hanya berlaku sebatas mentor, tetapi mereka memosisikan diri sebagai mentor yang bertanggung jawab.
“Alhamdulillah di TNI AU (tingkat kelulusan) 90 persen insya Allah lulus, karena lebih ke responsibility instructor. Karena kami punya andil, kami harus menjadikan siswa ini lulus, bagaimana pun caranya,” kata Arif, yang menyandang callsign Jupiter 996.
Jika menemukan siswa yang kesulitan, para instruktur langsung aktif mendampingi, memberikan tambahan materi, meskipun sampai malam hari, dan menambah jam latihan simulasi. Berbagai perlakuan khusus diberikan kepada siswa yang kesulitan itu. Bahkan, tak jarang, para instruktur pun menomorduakan kehidupan pribadi, termasuk keluarga, hanya demi memastikan para siswa yang kesulitan mampu menerima materi dengan baik dan berhasil melewati tahapan uji menerbangkan pesawat.
Oleh karena itu, per instruktur hanya dapat mendampingi maksimal dua siswa. Bagi Arif, jumlah itu pun terhitung banyak, karena masing-masing siswa membutuhkan perlakuan dan pendekatan yang berbeda.
“Dua itu banyak lho, misalnya, yang satu bagus, tetapi yang satu ada problem, agak susah dia menerima materi, kami treatment. Kalau perlu sampai malam menemani dia, sampai keluarga pun terkadang kami abaikan,” kata Kapten Pnb Arif.
Pendidikan dasar
Para siswa penerbang menempuh beberapa tahapan sebelum akhirnya dinyatakan lulus dan memasuki masa transisi untuk menjadi pengawak alutsista udara TNI AU.
Tahapan-tahapan itu, di antaranya pembinaan dalam kelas dan latihan simulator yang digelar oleh Skadik 104, kemudian praktik terbang dasar menggunakan pesawat latih Grob G 120 TP-A di Skadik 101, berlanjut ke pendidikan tingkat lanjut, yang juga terbagi atas ground school, latihan simulator, dan praktik terbang tingkat lanjut menggunakan pesawat latih KT-1B Wong Bee di Skadik 102.
Di tahapan dasar, siswa penerbang wajib merampungkan latihan simulasi, setidaknya selama 50 jam terbang menggunakan simulator Grob G 120 TP-A di Skadik 104. Ada delapan simulator Grob yang tersedia di Skadik 104 dan alat-alat itu mulai digunakan oleh siswa sekbang yang lulus pada 2014.
Kapten Arif, yang merupakan lulusan Sekbang TNI AU Tahun 2013, menjadi angkatan terakhir yang menggunakan simulator dan pesawat latih TNI AU yang lama AS-202 Bravo.
Dia menilai pesawat latih Grob buatan Jerman itu ideal untuk pelatihan dasar, salah satunya karena konfigurasi kursi siswa dan instruktur yang bersebelahan (side-by-side). Sementara untuk simulatornya, delapan unit yang tersedia di Skadik 104 pun berbentuk sama seperti aslinya dengan perbandingan cockpit 1:1.
Berbagai opsi pengaturan juga tersedia dan dapat diterapkan saat latihan simulasi. Arif menjelaskan pada tahap awal/pengenalan simulasi terbang, tentu siswa diberikan pengaturan yang normal. Namun seiring waktu, instruktur akan menambah kesulitan-kesulitan, misalnya pengaturan hujan deras, crosswind, dan ada juga latihan terbang malam.
Tidak hanya digunakan oleh siswa, para instruktur, yang menyandang callsign Jupiter juga rutin berlatih menggunakan simulator Grob di Skadik 104, terutama untuk simulasi situasi darurat.
Situasi darurat itu, di antaranya skenario mesin pesawat mati atau pun bagian roda pesawat (landing gear) yang tidak turun menjelang pendaratan.
“Kami terapkan prosedur-prosedur (kedaruratan) di FTD (simulator) sebelum di pesawat sebenarnya,” kata Arif.
Saat ditanya soal kondisi cuaca semacam apa yang berbahaya bagi penerbang, ia menyebut awan cb atau Cumulonimbus yang biasanya terbentuk menjelang hujan. Dia menjelaskan awan itu kerap mengandung muatan listrik yang dapat mengacaukan instrumen pesawat menjadi tidak terkendali (uncontrollable). "Bumpy (guncangannya, red.) juga besar, jadi susah juga (untuk mengendalikan pesawat,” kata dia.
Oleh karena itu, latihan berkala di simulator dan terbang menjadi bentuk antisipasi para penerbang menghadapi berbagai skenario kedaruratan. Berbagai prosedur yang disiapkan pun wajib hukumnya diikuti oleh para penerbang, manakala mereka lepas landas menuju ketinggian.
Dalam latihan terbang dasar, para siswa dituntut untuk mahir menerbangkan (take off) dan mendaratkan (landing) pesawat, setidaknya selama 8 kali bersama instruktur, kemudian terbang sendiri (solo), terbang aerobatik, yang tiap tahapannya diakhiri dengan pengujian langsung oleh instruktur kategori B.
Instruktur-instruktur di Sekbang TNI AU terbagi empat kategori, antara lain kategori A sebagai tingkatan tertinggi, yaitu Komandan Lanud dan Komandan Wing, kemudian kategori B yang berwenang menguji para siswa pada tahap akhir sesi latihan terbangnya, kemudian kategori C dan D, yaitu para instruktur yang secara intens melatih dan mendampingi para siswa.
Untuk naik tingkatan kategori, ada beberapa syaratnya, misalnya untuk instruktur kategori D mau naik kategori C, wajib mengajar sampai 150 jam terbang, kemudian untuk kategori C naik ke kategori B, wajib mengajar sampai 250 jam terbang.
Tahapan menjadi instruktur pun juga panjang dan tak mudah. Hanya penerbang TNI AU dengan kualifikasi khusus yang dapat mengikuti tes instruktur. Jika calon instruktur itu lulus, maka dia akan menjalani pendidikan dan rangkaian tes, termasuk di antaranya terbang malam.
Kapten Yoga, misalnya, dia mulai tergabung dalam satuan pada 2014, kemudian masuk pendidikan instruktur pada 2021. "Prosesnya sekitar 7 tahun," kata Yoga, instruktur kategori C yang saat ini dalam proses naik menuju kategori B.
Tingkat lanjut
Di tingkat lanjut, siswa penerbang berlatih menggunakan pesawat KT-1B Wong Bee, pesawat yang juga digunakan tim penerbang aerobatik TNI AU, Jupiter Aerobatic Team (JAT).
Berbeda dengan Grob, konfigurasi kursi pesawat di KT-1B berjenis tandem, yaitu depan dan belakang. Posisi semacam itu pula yang pada akhirnya menuntut siswa penerbang tingkat lanjut untuk lebih mawas diri, disiplin, mandiri, dan tentunya jujur selama sesi latihan.
“Filosofi IP (instruktur penerbang) kami, (siswa) yang latih lanjut dituntut kejujuran atas yang kami lakukan di depan, karena tidak segalanya dipantau IP," kata Letda (Pnb) Andika Aulia, salah satu siswa sekbang tingkat lanjut, saat ditemui pada sela-sela kegiatannya di Skadik 102.
Andika, yang ditemui bersama siswa sekbang lainnya Letda Pnb Adipraja Susilo, menjelaskan ada beberapa materi terbang yang wajib mereka kuasai, di antaranya persiapan darat, manuver dasar, terbang pattern, terbang aerobatik, penguasaan instrumen, terbang malam, terbang formasi, kemudian navigasi terbang rendah.
Untuk materi yang terakhir, Adi mencontohkan salah satu cuplikan film Top Gun terbaru yang dibintangi Tom Cruise, saat terbang rendah di antara dua tebing untuk menjatuhkan bom ke sasaran.
“Kami diajarkan seperti itu, disimulasikan mengebom suatu daerah, lalu diukur ketepatan waktunya. Harus tepat, namanya (penerbang) Angkatan Udara (harus tepat) second per second (detik per detik, red.), saya baru merasakan itu sekarang,” kata Adi.
Dia melanjutkan jika penerbang tidak dapat tepat waktu hingga ukuran detik, misalnya mereka terlambat 2–3 detik, maka fatal akibatnya untuk keberhasilan operasi.
Selepas menempuh pendidikan tingkat lanjut, para penerbang yang lulus kemudian masuk penjuruan, yaitu mereka yang akan mengawaki pesawat tipe fixed wing dan rotary wing. Penerbang yang masuk dalam kategori rotary wing melanjutkan pendidikan transisi di Skadik 105 Kalijati, Subang, Jawa Barat. Skadik 105 merupakan tempat pendidikan untuk penerbang helikopter-helikopter TNI AU.
Sementara itu, penerbang yang masuk kategori fixed wing juga terbagi menjadi dua, mereka yang menerbangkan pesawat tempur dan pesawat angkut. Penerbang tempur nantinya wajib mengikuti Kursus Pengenalan Terbang Pesawat Tempur (KPTPT), sementara penerbang angkut mengikuti Kursus Pengenalan Terbang Pesawat Angkut (KPTPA).
Dari semua rangkaian itu, Andika dan Adi mengakui rintangan yang harus mereka lewati tidak mudah. Problem psikis dan mental pun menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan para siswa merampungkan masa studi mereka.
Namun, keduanya menyampaikan rasa tanggung jawab kepada bangsa dan negara menjadi pendorong utama mereka harus berhasil dalam tiap rangkaian tes sampai akhirnya lulus sekolah penerbang.
“Kami sadar, kami di sini ditanggung negara. Jadi, sesusah apapun, sesulit apapun, kami sadar, kami dibiayai negara dan itu uang rakyat yang dikumpulkan lewat pajak hanya untuk membiayai kami. Jadi, kami harus semangat terus,” kata Adi, lulusan AAU Tahun 2023, menjawab pertanyaan wartawan.
Tidak mudah memang menjadi penerbang, apalagi penerbang TNI Angkatan Udara. Namun, kegigihan dan rasa pengabdian untuk bangsa dan negara menjadi modal utama para siswa penerbang untuk memberikan yang terbaik sampai akhir masa pendidikan dan seterusnya saat mereka bertugas di satuan.