Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan menyatakan urgensi penerapan kebijakan cukai pada produk mengandung gula, garam, dan lemak untuk mencegah risiko penyakit tidak menular (PTM), seperti tekanan darah tinggi, diabetes, dan jantung.
"Peraturan saat ini tengah disosialisasikan dan dikoordinasikan bersama pemangku kepentingan terkait, seperti Kementerian Keuangan terkait besaran cukai yang akan diterapkan," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti di Jakarta, Rabu.
Kemenkes telah menyarankan batas konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) per orang per hari 50 gram atau setara empat sendok makan gula, 2.000 miligram natrium atau 5 gram atau satu sendok teh garam (natrium/sodium), dan lemak hanya 67 gram atau lima sendok makan minyak goreng.
Dia menjelaskan konsumsi gula, garam, dan lemak berlebihan dapat menyebabkan sejumlah masalah kesehatan di antaranya obesitas.
Baca juga: Aturan cukai minuman berpemanis disahkan tahun ini
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 dan 2018 terjadi peningkatan obesitas penduduk usia 18 tahun ke atas, yakni dari 15,4 persen pada 2013 meningkat menjadi 21,8 persen pada 2018.
Indonesia juga memiliki prevalensi obesitas anak yang tinggi. Prevalensi obesitas pada usia 5-19 tahun meningkat dari 2,8 persen pada 2006 menjadi 6,1 persen pada 2016. Untuk kategori remaja usia 13-17 sebanyak 14,8 persen mengalami berat badan berlebih dan 4,6 persen mengalami obesitas.
"Obesitas merupakan salah satu faktor risiko PTM sehingga peningkatan obesitas beriringan dengan peningkatan penyakit tidak menular di Indonesia," katanya.
Data The Global Burden of Disease 2019 and Injuries Collaborators 2020 menyebutkan PTM penyebab dari 80 persen kasus kematian di Indonesia.
Pemerintah berupaya mengatasi peningkatan obesitas dan penyakit tidak menular, salah satunya pembatasan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Baca juga: Imbauan kurangi minuman berpemanis tidak efektif
Eva mengatakan urgensi penerapan cukai karena konsumsi tinggi minuman berpemanis dapat menyebabkan diabetes. Padahal, diabetes salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi di Indonesia.
Berdasarkan penelitian Vasanti S Malik et al. (2019), kata dia, setiap peningkatan satu takaran saji minuman berpemanis per hari berhubungan dengan peningkatan berat badan 0,12 kg per tahun pada orang dewasa.
Kelebihan konsumsi minuman berpemanis satu porsi per hari akan meningkatkan risiko terkena diabetes melitus tipe 2 sebesar 18 persen, stroke 13 persen, dan serangan jantung (infark miokard) 22 persen.
Pengenaan cukai pada MBDK dilatarbelakangi oleh dampak negatif yang ditimbulkan dari konsumsinya, baik dalam hal kesehatan masyarakat, khususnya peningkatan prevalensi PTM, maupun beban finansial yang ditanggung oleh sistem kesehatan, kata Eva.
"Cukai MBDK salah satu intervensi yang dinilai cukup efektif untuk mengatasi PTM. Apalagi, sebanyak 108 negara yang menerapkan kebijakan ini," katanya.
Berdasarkan penelitian Ferretti dan Mariani (2019), Indonesia menempati posisi ketiga di Asia Tenggara setelah Maldives dan Thailand dengan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sebesar 20,23 liter per orang di Asia Tenggara.
Sumber lain, Rosyada dan Ardiansyah (2017), menyebutkan konsumsi MBDK di Indonesia mengalami peningkatan 15 kali lipat dalam 20 tahun terakhir, yakni sebanyak 51 juta liter pada 1996 dan bertambah menjadi 780 juta liter pada 2014.
"Peraturan saat ini tengah disosialisasikan dan dikoordinasikan bersama pemangku kepentingan terkait, seperti Kementerian Keuangan terkait besaran cukai yang akan diterapkan," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti di Jakarta, Rabu.
Kemenkes telah menyarankan batas konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) per orang per hari 50 gram atau setara empat sendok makan gula, 2.000 miligram natrium atau 5 gram atau satu sendok teh garam (natrium/sodium), dan lemak hanya 67 gram atau lima sendok makan minyak goreng.
Dia menjelaskan konsumsi gula, garam, dan lemak berlebihan dapat menyebabkan sejumlah masalah kesehatan di antaranya obesitas.
Baca juga: Aturan cukai minuman berpemanis disahkan tahun ini
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 dan 2018 terjadi peningkatan obesitas penduduk usia 18 tahun ke atas, yakni dari 15,4 persen pada 2013 meningkat menjadi 21,8 persen pada 2018.
Indonesia juga memiliki prevalensi obesitas anak yang tinggi. Prevalensi obesitas pada usia 5-19 tahun meningkat dari 2,8 persen pada 2006 menjadi 6,1 persen pada 2016. Untuk kategori remaja usia 13-17 sebanyak 14,8 persen mengalami berat badan berlebih dan 4,6 persen mengalami obesitas.
"Obesitas merupakan salah satu faktor risiko PTM sehingga peningkatan obesitas beriringan dengan peningkatan penyakit tidak menular di Indonesia," katanya.
Data The Global Burden of Disease 2019 and Injuries Collaborators 2020 menyebutkan PTM penyebab dari 80 persen kasus kematian di Indonesia.
Pemerintah berupaya mengatasi peningkatan obesitas dan penyakit tidak menular, salah satunya pembatasan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Baca juga: Imbauan kurangi minuman berpemanis tidak efektif
Eva mengatakan urgensi penerapan cukai karena konsumsi tinggi minuman berpemanis dapat menyebabkan diabetes. Padahal, diabetes salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi di Indonesia.
Berdasarkan penelitian Vasanti S Malik et al. (2019), kata dia, setiap peningkatan satu takaran saji minuman berpemanis per hari berhubungan dengan peningkatan berat badan 0,12 kg per tahun pada orang dewasa.
Kelebihan konsumsi minuman berpemanis satu porsi per hari akan meningkatkan risiko terkena diabetes melitus tipe 2 sebesar 18 persen, stroke 13 persen, dan serangan jantung (infark miokard) 22 persen.
Pengenaan cukai pada MBDK dilatarbelakangi oleh dampak negatif yang ditimbulkan dari konsumsinya, baik dalam hal kesehatan masyarakat, khususnya peningkatan prevalensi PTM, maupun beban finansial yang ditanggung oleh sistem kesehatan, kata Eva.
"Cukai MBDK salah satu intervensi yang dinilai cukup efektif untuk mengatasi PTM. Apalagi, sebanyak 108 negara yang menerapkan kebijakan ini," katanya.
Berdasarkan penelitian Ferretti dan Mariani (2019), Indonesia menempati posisi ketiga di Asia Tenggara setelah Maldives dan Thailand dengan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sebesar 20,23 liter per orang di Asia Tenggara.
Sumber lain, Rosyada dan Ardiansyah (2017), menyebutkan konsumsi MBDK di Indonesia mengalami peningkatan 15 kali lipat dalam 20 tahun terakhir, yakni sebanyak 51 juta liter pada 1996 dan bertambah menjadi 780 juta liter pada 2014.