Surabaya (ANTARA) - Sejumlah wartawan menyesalkan adanya pelarangan pemengambilan dokumentasi berupa foto aktivitas pemungutan suara Pemilu Serentak 2024 di TPS khusus yang ada di Lapas Kelas IIA Lombok Barat, NTB, Rabu.
Salah seorang wartawan Kantor Berita ANTARA, Dhimas menjelaskan, bahwa kejadian itu berawal saat dari dirinya mengambil foto narapidana yang menggunakan hak pilihnya di TPS khusus.
"Saya mencari angle agar fotonya bagus. Saya tidak bermaksud melihat pilihan narapida dalam bilik suara," kata Dhimas.
Namun, lanjut dia, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Nusa Tenggara Barat Parlindungan yang saat itu meninjau proses pemungutan suara di Lapas melarang wartawan mengambil dokumentasi.
Parlindungan melarang dengan menyuruh anak buahnya agar wartawan tidak mendokumentasikan aktivitas pemungutan suara dari garis pembatas TPS khusus itu.
Mendapati hal itu, sejumlah wartawan tersebut kemudian memilih untuk mengambil dokumentasi pada lokasi berbeda yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan TPS.
Namun demikian, Parlindungan kembali melarang wartawan. Dari tempatnya berdiri, dia kembali memerintahkan anak buahnya agar menghentikan wartawan melakukan kegiatan peliputan di dalam lapangan terbuka yang menjadi lokasi lima TPS khusus.
Karena adanya desakan tersebut, wartawan tersebut akhirnya menghentikan aktivitas peliputan dengan mengikuti arahan untuk keluar dari dalam lapangan.
Padahal, dalam Peraturan KPU Nomor 25 Tahun 2023 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum, larangan tersebut hanya berlaku bagi calon pemilih. Itu pun berlaku ketika calon pemilih telah melakukan registrasi di TPS.
Tujuan adanya larangan membawa sarana perekam ke dalam TPS itu untuk menjaga asas kerahasiaan dari pemilu. Pihak yang bertanggung jawab dalam persoalan ini adalah penyelenggara pemilu, baik dari pihak KPPS yang berada di bawah kendali KPU maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai pengawas.
Meski bukan berarti Kepala Kanwil Kemenkumham NTB melangkahi tugas KPPS yang beranggotakan petugas lapas sebagai penanggung jawab resmi dari pelaksanaan pemungutan suara di TPS khusus tersebut.
Sementara itu, Kepala Lapas Kelas IIA Lombok Barat, M. Fadli mengatakan, bahwa kejadian itu merupakan kesalahpahaman saja. Ia mengatakan, tidak ada maksud melarang mengambil dokumentasi foto di area Lapas.
"Hanya saja, siapapan tidak boleh kalau mengambil dokumentasi dari arah belakang napi yang mencoblos," ujarnya.
Fadli berharap kejadian tersebut tidak terulang kembali ke depannya. Apalagi, lanjut dia, selama ini ada hubungan baik antara pihak lapas dengan wartawan.
Diketahui sebanyak 1.228 warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat(NTB) mendapatkan kesempatan untuk menggunakan hak suara pada Pemilu Serentak Tahun 2024.
Warga binaan yang mendapatkan kesempatan tersebut terdiri dari daftar pemilih tetap (DPT) dan daftar pemilih tambahan (DPTb). Dari 1.228 warga binaan, 919 di antaranya masuk dalam DPT dan 309 orang di DPTb.
Dalam kegiatan pencoblosan tersebut, Lapas Kelas IIA Lombok Barat menyediakan lima tempat pemungutan suara (TPS).
Dari pendataan warga binaan, Fadli mengatakan masih cukup banyak yang tidak mendapatkan kesempatan menyalurkan hak suaranya karena tidak lolos dalam verifikasi dan validasi data di KPU.
"Itu soal NIK-nya yang tidak valid. Makanya, dari 500 lebih tambahan yang kami ajukan sebelumnya, hanya sekitar 300 yang lolos verifikasi di KPU," ujarnya.
Lebih lanjut, Fadli menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang ikut terlibat dalam pengamanan dan pemantauan aktivitas pemungutan suara di Lapas Kelas IIA Lombok Barat.
"Seperti dari Polri, TNI, serta KPU dan Bawaslu ikut memantau. Alhamdulillah sejauh ini semuanya berjalan lancar dan kondusif," ucap dia.
Salah seorang wartawan Kantor Berita ANTARA, Dhimas menjelaskan, bahwa kejadian itu berawal saat dari dirinya mengambil foto narapidana yang menggunakan hak pilihnya di TPS khusus.
"Saya mencari angle agar fotonya bagus. Saya tidak bermaksud melihat pilihan narapida dalam bilik suara," kata Dhimas.
Namun, lanjut dia, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Nusa Tenggara Barat Parlindungan yang saat itu meninjau proses pemungutan suara di Lapas melarang wartawan mengambil dokumentasi.
Parlindungan melarang dengan menyuruh anak buahnya agar wartawan tidak mendokumentasikan aktivitas pemungutan suara dari garis pembatas TPS khusus itu.
Mendapati hal itu, sejumlah wartawan tersebut kemudian memilih untuk mengambil dokumentasi pada lokasi berbeda yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan TPS.
Namun demikian, Parlindungan kembali melarang wartawan. Dari tempatnya berdiri, dia kembali memerintahkan anak buahnya agar menghentikan wartawan melakukan kegiatan peliputan di dalam lapangan terbuka yang menjadi lokasi lima TPS khusus.
Karena adanya desakan tersebut, wartawan tersebut akhirnya menghentikan aktivitas peliputan dengan mengikuti arahan untuk keluar dari dalam lapangan.
Padahal, dalam Peraturan KPU Nomor 25 Tahun 2023 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum, larangan tersebut hanya berlaku bagi calon pemilih. Itu pun berlaku ketika calon pemilih telah melakukan registrasi di TPS.
Tujuan adanya larangan membawa sarana perekam ke dalam TPS itu untuk menjaga asas kerahasiaan dari pemilu. Pihak yang bertanggung jawab dalam persoalan ini adalah penyelenggara pemilu, baik dari pihak KPPS yang berada di bawah kendali KPU maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai pengawas.
Meski bukan berarti Kepala Kanwil Kemenkumham NTB melangkahi tugas KPPS yang beranggotakan petugas lapas sebagai penanggung jawab resmi dari pelaksanaan pemungutan suara di TPS khusus tersebut.
Sementara itu, Kepala Lapas Kelas IIA Lombok Barat, M. Fadli mengatakan, bahwa kejadian itu merupakan kesalahpahaman saja. Ia mengatakan, tidak ada maksud melarang mengambil dokumentasi foto di area Lapas.
"Hanya saja, siapapan tidak boleh kalau mengambil dokumentasi dari arah belakang napi yang mencoblos," ujarnya.
Fadli berharap kejadian tersebut tidak terulang kembali ke depannya. Apalagi, lanjut dia, selama ini ada hubungan baik antara pihak lapas dengan wartawan.
Diketahui sebanyak 1.228 warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat(NTB) mendapatkan kesempatan untuk menggunakan hak suara pada Pemilu Serentak Tahun 2024.
Warga binaan yang mendapatkan kesempatan tersebut terdiri dari daftar pemilih tetap (DPT) dan daftar pemilih tambahan (DPTb). Dari 1.228 warga binaan, 919 di antaranya masuk dalam DPT dan 309 orang di DPTb.
Dalam kegiatan pencoblosan tersebut, Lapas Kelas IIA Lombok Barat menyediakan lima tempat pemungutan suara (TPS).
Dari pendataan warga binaan, Fadli mengatakan masih cukup banyak yang tidak mendapatkan kesempatan menyalurkan hak suaranya karena tidak lolos dalam verifikasi dan validasi data di KPU.
"Itu soal NIK-nya yang tidak valid. Makanya, dari 500 lebih tambahan yang kami ajukan sebelumnya, hanya sekitar 300 yang lolos verifikasi di KPU," ujarnya.
Lebih lanjut, Fadli menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang ikut terlibat dalam pengamanan dan pemantauan aktivitas pemungutan suara di Lapas Kelas IIA Lombok Barat.
"Seperti dari Polri, TNI, serta KPU dan Bawaslu ikut memantau. Alhamdulillah sejauh ini semuanya berjalan lancar dan kondusif," ucap dia.