Jakarta (ANTARA) - Insiden kematian yang kerap melanda para petugas pemilu berhasil diantisipasi pada pesta demokrasi tahun ini. Strategi mitigasi bisa menekan laju kasus hingga 80 persen lebih dari laporan lima tahun lalu yang mencapai 554 kasus.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan sebanyak 84 petugas pemilu wafat usai proses pemungutan dan penghitungan suara pemilih pada 14-18 Februari 2024 yang tersebar di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Insiden itu dialami anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KKPS) 36 orang, perlindungan masyarakat (Linmas) 17 orang, saksi di tempat pemungutan suara (TPS) sembilan orang, petugas bantu sebanyak lima orang, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) empat orang, panitia pemungutan suara (PPS) dua orang, dan sisanya masih dalam konfirmasi ulang perihal penyebab kematian.
Fasilitas kesehatan (faskes) pelapor menyebut komposisi pasien yang wafat umumnya berusia 51-60 tahun dan 41-50 tahun, masing-masing sebesar 30 persen. Penyebab utamanya adalah penyakit jantung, disusul kecelakaan kerja, serta hipertensi.
Proses pemungutan dan penghitungan suara hasil pemilu memang etape paling menguras stamina dan daya tahan tubuh. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut rata-rata petugas melibas 10-16 jam durasi kerja di TPS dari batas toleransi maksimal 7-8 jam.
Mereka yang sakit umumnya dialami petugas KPPS mencapai 6.521 pasien, 1.548 petugas bantu, 1.461 PPS, 1.150 saksi, 1.030 Linmas, 596 petugas Bawaslu, dan 396 petugas PPK yang umumnya berusia 31-50 tahun.
Hasil diagnosa petugas medis melaporkan penyakit pada kerongkongan, lambung, dan usus 12 jari menjadi penyebab terbanyak kasus sakit, disusul hipertensi serta infeksi saluran pernapasan bagian atas. Terbanyak dilaporkan dari Provinsi Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Mitigasi
Pemerintah melalui instrumen terkait penyelenggaraan Pemilu 2024 rupanya memetik banyak pelajaran dari kasus di lima tahun lalu. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian melalui masukan dari Kementerian Kesehatan menyimpulkan bahwa salah satu problem di 2019 adalah durasi bekerja di TPS yang sangat panjang, bahkan ada yang mencapai 23 jam.
Hal itu ditengarai oleh pemahaman yang keliru dari sebagian besar petugas atas ketentuan proses pemilu yang tanpa jeda, termasuk tambahan durasi 12 jam yang tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 20 Tahun 2019 yang dianggap mengharuskan mereka menyelesaikan pemungutan dan penghitungan suara selesai di hari yang sama.
Tanpa jeda ini banyak yang dimaknai tidak boleh meninggalkan tempat, terus menerus, padahal idealnya manusia bekerja 10 jam menurut Kementerian Kesehatan.
Pada pemilu tahun ini Kemendagri telah meluruskan penafsiran tersebut, bahwa petugas pemilu berhak beristirahat sesuai durasi ideal kerja di bawah 10 jam, atau pada saat merasa kelelahan. Tapi proses harus tetap dijalankan oleh petugas lain yang masih memiliki stamina yang cukup guna mengantisipasi kerawanan suara pemilu.
Mitigasi lain yang turut berkontribusi pada berkurangnya angka kematian di tahun ini adalah kebijakan pemerintah yang mensyaratkan ketentuan batas usia petugas pemilu di rentang 17-55 tahun. Selain itu mereka juga wajib terdata sebagai peserta BPJS Kesehatan.
Dengan begitu, pemerintah bisa menskrining risiko kesehatan petugas via aplikasi yang dapat digunakan gratis oleh peserta. Hasilnya sebanyak 398.155 (5,83 persen) dari total 7,9 juta pengguna aplikasi skrining menerima pemberitahuan risiko sakit yang harus diantisipasi.
Namun, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti menyebut waktu skrining kesehatan sebagai upaya promotif dan preventif yang dibuka per 1 Januari 2024, terlalu mepet dengan agenda pencoblosan suara di 14 Februari 2024, sehingga langkah antisipasi berjalan kurang optimal.
Nol kematian
Meski angka kematian turun signifikan pada tahun ini, satu nyawa saja yang meninggal bagi Menkes Budi Gunadi Sadikin, adalah angka yang terlalu banyak, karena ada banyak masyarakat yang berduka. Untuk itu penyempurnaan sistem skrining kesehatan dan langkah antisipasi terhadap kasus kematian petugas pemilu masih perlu terus disempurnakan untuk mencapai nol kasus di 2029.
Salah satunya durasi skrining kesehatan yang perlu diperpanjang sebelum masa pendaftaran petugas pemilu di KPU dibuka, di mana setiap pemohon wajib menyertakan persyaratan hasil tes kesehatan dan pemberitahuan hasil skrining terhadap risiko kesakitan.
Terhadap mereka yang berisiko tinggi kematian, Kemenkes akan mengerahkan petugas puskesmas yang kini tersedia di setiap kecamatan untuk melakukan pengecekan rutin setiap 6 jam sekali di TPS.
Kemenkes pada tahun ini juga menangani kegawatdaruratan di bidang kesehatan, meliputi penyediaan fasilitas layanan kesehatan, tenaga kesehatan, hingga Public Safety Center (PSC) 119 sebagai layanan cepat tanggap darurat untuk masyarakat, termasuk petugas pemilu yang membutuhkan layanan kesehatan.
Saat ini, ada 352 PSC yang membantu penanganan kesehatan dalam kecelakaan atau situasi kritis ini di seluruh Indonesia yang didukung 13 ribu petugas emergency medical team (EMT).
Setiap petugas EMT memiliki formasi lengkap, di antaranya dokter, perawat, tenaga farmasi, tenaga logistik, tenaga administrasi, dan pengemudi ambulans.
Pesta demokrasi sudah sepatutnya dirayakan tanpa rasa duka. Strategi jitu yang muncul dari rangkaian pengalaman Pemilu 2019 dan 2024 tetap harus disempurnakan agar tak ada lagi pejuang demokrasi yang wafat di pesta selanjutnya.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan sebanyak 84 petugas pemilu wafat usai proses pemungutan dan penghitungan suara pemilih pada 14-18 Februari 2024 yang tersebar di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Insiden itu dialami anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KKPS) 36 orang, perlindungan masyarakat (Linmas) 17 orang, saksi di tempat pemungutan suara (TPS) sembilan orang, petugas bantu sebanyak lima orang, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) empat orang, panitia pemungutan suara (PPS) dua orang, dan sisanya masih dalam konfirmasi ulang perihal penyebab kematian.
Fasilitas kesehatan (faskes) pelapor menyebut komposisi pasien yang wafat umumnya berusia 51-60 tahun dan 41-50 tahun, masing-masing sebesar 30 persen. Penyebab utamanya adalah penyakit jantung, disusul kecelakaan kerja, serta hipertensi.
Proses pemungutan dan penghitungan suara hasil pemilu memang etape paling menguras stamina dan daya tahan tubuh. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut rata-rata petugas melibas 10-16 jam durasi kerja di TPS dari batas toleransi maksimal 7-8 jam.
Mereka yang sakit umumnya dialami petugas KPPS mencapai 6.521 pasien, 1.548 petugas bantu, 1.461 PPS, 1.150 saksi, 1.030 Linmas, 596 petugas Bawaslu, dan 396 petugas PPK yang umumnya berusia 31-50 tahun.
Hasil diagnosa petugas medis melaporkan penyakit pada kerongkongan, lambung, dan usus 12 jari menjadi penyebab terbanyak kasus sakit, disusul hipertensi serta infeksi saluran pernapasan bagian atas. Terbanyak dilaporkan dari Provinsi Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Mitigasi
Pemerintah melalui instrumen terkait penyelenggaraan Pemilu 2024 rupanya memetik banyak pelajaran dari kasus di lima tahun lalu. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian melalui masukan dari Kementerian Kesehatan menyimpulkan bahwa salah satu problem di 2019 adalah durasi bekerja di TPS yang sangat panjang, bahkan ada yang mencapai 23 jam.
Hal itu ditengarai oleh pemahaman yang keliru dari sebagian besar petugas atas ketentuan proses pemilu yang tanpa jeda, termasuk tambahan durasi 12 jam yang tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 20 Tahun 2019 yang dianggap mengharuskan mereka menyelesaikan pemungutan dan penghitungan suara selesai di hari yang sama.
Tanpa jeda ini banyak yang dimaknai tidak boleh meninggalkan tempat, terus menerus, padahal idealnya manusia bekerja 10 jam menurut Kementerian Kesehatan.
Pada pemilu tahun ini Kemendagri telah meluruskan penafsiran tersebut, bahwa petugas pemilu berhak beristirahat sesuai durasi ideal kerja di bawah 10 jam, atau pada saat merasa kelelahan. Tapi proses harus tetap dijalankan oleh petugas lain yang masih memiliki stamina yang cukup guna mengantisipasi kerawanan suara pemilu.
Mitigasi lain yang turut berkontribusi pada berkurangnya angka kematian di tahun ini adalah kebijakan pemerintah yang mensyaratkan ketentuan batas usia petugas pemilu di rentang 17-55 tahun. Selain itu mereka juga wajib terdata sebagai peserta BPJS Kesehatan.
Dengan begitu, pemerintah bisa menskrining risiko kesehatan petugas via aplikasi yang dapat digunakan gratis oleh peserta. Hasilnya sebanyak 398.155 (5,83 persen) dari total 7,9 juta pengguna aplikasi skrining menerima pemberitahuan risiko sakit yang harus diantisipasi.
Namun, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti menyebut waktu skrining kesehatan sebagai upaya promotif dan preventif yang dibuka per 1 Januari 2024, terlalu mepet dengan agenda pencoblosan suara di 14 Februari 2024, sehingga langkah antisipasi berjalan kurang optimal.
Nol kematian
Meski angka kematian turun signifikan pada tahun ini, satu nyawa saja yang meninggal bagi Menkes Budi Gunadi Sadikin, adalah angka yang terlalu banyak, karena ada banyak masyarakat yang berduka. Untuk itu penyempurnaan sistem skrining kesehatan dan langkah antisipasi terhadap kasus kematian petugas pemilu masih perlu terus disempurnakan untuk mencapai nol kasus di 2029.
Salah satunya durasi skrining kesehatan yang perlu diperpanjang sebelum masa pendaftaran petugas pemilu di KPU dibuka, di mana setiap pemohon wajib menyertakan persyaratan hasil tes kesehatan dan pemberitahuan hasil skrining terhadap risiko kesakitan.
Terhadap mereka yang berisiko tinggi kematian, Kemenkes akan mengerahkan petugas puskesmas yang kini tersedia di setiap kecamatan untuk melakukan pengecekan rutin setiap 6 jam sekali di TPS.
Kemenkes pada tahun ini juga menangani kegawatdaruratan di bidang kesehatan, meliputi penyediaan fasilitas layanan kesehatan, tenaga kesehatan, hingga Public Safety Center (PSC) 119 sebagai layanan cepat tanggap darurat untuk masyarakat, termasuk petugas pemilu yang membutuhkan layanan kesehatan.
Saat ini, ada 352 PSC yang membantu penanganan kesehatan dalam kecelakaan atau situasi kritis ini di seluruh Indonesia yang didukung 13 ribu petugas emergency medical team (EMT).
Setiap petugas EMT memiliki formasi lengkap, di antaranya dokter, perawat, tenaga farmasi, tenaga logistik, tenaga administrasi, dan pengemudi ambulans.
Pesta demokrasi sudah sepatutnya dirayakan tanpa rasa duka. Strategi jitu yang muncul dari rangkaian pengalaman Pemilu 2019 dan 2024 tetap harus disempurnakan agar tak ada lagi pejuang demokrasi yang wafat di pesta selanjutnya.