Mataram, (Antara NTB) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Perwakilan Mataram, Nusa Tenggara Barat mengecam sikap arogansi yang dilakukan oleh oknum anggota kepolisian terhadap dua jurnalis media cetak di Bima Kota.
Bentuk intimidasi yang dilakukan oleh anggota kepolisian itu terjadi pada Rabu (24/5) Siang, saat kedua jurnalis tersebut meliput aksi unjuk rasa di depan Kampus Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Taman Siswa Bima.
Saat Hermansyah dari Harian Bima Ekspress dan Ibrahim dari Mingguan Suara Rakyat hendak mengambil momentum aksi yang sempat memanas itu, oknum angota kepolisian yang bertugas mengawal aksi tersebut dengan seketika merampas dan menghapus gambar yang tersimpan di kamera mereka.
Untuk itu, AJI Mataram secara tegas mengecam sikap arogansi yang dilakukan oleh oknum anggota kepolisian yang berupaya menghalangi tugas dan peran jurnalis di lapangan.
Ketua AJI Mataram Fitri Rachmawati di Mataram, Rabu, mempertanyakan kepentingan oknum anggota kepolisian yang telah berani mengintimidasi kedua jurnalis tersebut.
"AJI mengingatkan, jika keberatan terhadap praktik jurnalistik di lapangan, ada mekanismenya sesuai Undang-Undang Pers. Ada juga Dewan Pers yang bisa memproses pengaduan itu. Apalagi mereka ini aparat, seharusnya bersikap dan bertindak sesuai aturan," kata Fitri.
Dia menjelaskan jurnalis dalam menjalankan tugas peliputan sudah dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers. Meski demikian, jurnalis juga dituntut untuk tetap mengedepankan kode etik jurnalis (KEJ).
Sehingga jika ada pihak yang berupaya menghalangi tugas dan peran jurnalis di lapangan, dapat diberikan sanksi pidana sesuai yang telah diatur dalam UU Pers.
"Sesuai ketentuan Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers, upaya menghalang-halangi media untuk mencari dan mengolah informasi, dapat di pidana dengan ancaman penjara selama dua tahun atau denda Rp500 Juta," kata Fitri dalam siaran persnya.
Melihat kasus ini, Fitri menilai masih banyak oknum anggota kepolisian yang belum paham dengan cara kerja jurnalis di lapangan.
"Dengan terulangnya kejadian ini, mengindikasikan polisi tidak belajar dari kasus-kasus sebelumnya," ujar Fitri.
Begitu juga sikap tegas ditunjukkan AJI Mataram dengan meminta Polda NTB dan khususnya kepada Kapolres Bima AKBP M Eka Fathurrahman untuk menindak tegas oknum anggota kepolisian yang melakukan intimidasi tersebut.
Selain itu, AJI Mataram mengharapkan kepada Kapolda NTB dan seluruh jajarannya dapat menjadikan persoalan ini sebagai pelajaran penting dan bahan evaluasi di internal, agar tidak terulang di kemudian harinya.
Ketua Divisi Advokasi AJI Mataram Haris Mahtul mengungkapkan kasus kekerasan dan intimidasi terhadap kinerja jurnalis ini menjadi catatan pertama pada tahun 2017.
Untuk itu, pihaknya dikatakan sedang melakukan advokasi untuk kedua korban melalui anggota AJI Mataram yang ada di Bima Kota.
"Kawan-kawan di Bima sudah mendampingi korban untuk melapor ke Propam Polres Bima," kata Haris.
Dengan adanya dasar laporan ini, lanjutnya akan menjadi bahan AJI Mataram untuk mengawal kasusnya hingga tuntas.
Secara umum dijelaskannya persoalan ini muncul saat sekelompok pemuda dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) menyampaikan aspirasinya terkait beroperasinya PT Sanggar Agro Perkasa di Desa Oi Katupa, Kecamatan Tambora, Bima Kota.
Kelompok pemuda ini mendesak pemerintah agar segera menyelesaikan sengketa agraria antara warga dengan pihak perusahaan tersebut.
Saat terjadi ketegangan antara massa aksi dengan anggota kepolisian yang bertugas mengawal unjuk rasa tersebut, Hermansyah dan Ibrahim berupaya mendokumentasikannya.
Namun tak lama kemudian, seorang anggota yang disebut berasal dari Unit Dalmas Polres Bima Kota mendatangi Hermansyah dan tanpa alasan melarangnya untuk mengambil gambar.
Karena tidak mengubris larangan itu, anggota Unit Dalmas Polres Bima Kota yang lainnya turut mendekat dan mulai mengintimidasi Herman.
Sementara itu, Ibrahim yang sedang mengambil video rekaman mendapat perlakuan yang sama dari anggota kepolisian. Tanpa bertanya lebih dulu, kamera Ibrahim dirampas dan kemudian menghapus semua file gambar yang ada di kameranya.
Berawal dari peristiwa itu, keduanya pun mendapat perlakuan tidak wajar, Ibrahim yang kembali menjalankan tugasnya untuk merekam kegiatan aksi tersebut langsung diseret oleh sebagian anggota kepolisian ke mobil Dalmas.
Aksi itu kemudian direkam oleh rekannya, Hermansyah. Namun kembali lagi sebagian anggota kepolisian mengamankan keduanya dan mengintimidasi mereka untuk tidak melakukan peliputan di lokasi.(*)
Bentuk intimidasi yang dilakukan oleh anggota kepolisian itu terjadi pada Rabu (24/5) Siang, saat kedua jurnalis tersebut meliput aksi unjuk rasa di depan Kampus Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Taman Siswa Bima.
Saat Hermansyah dari Harian Bima Ekspress dan Ibrahim dari Mingguan Suara Rakyat hendak mengambil momentum aksi yang sempat memanas itu, oknum angota kepolisian yang bertugas mengawal aksi tersebut dengan seketika merampas dan menghapus gambar yang tersimpan di kamera mereka.
Untuk itu, AJI Mataram secara tegas mengecam sikap arogansi yang dilakukan oleh oknum anggota kepolisian yang berupaya menghalangi tugas dan peran jurnalis di lapangan.
Ketua AJI Mataram Fitri Rachmawati di Mataram, Rabu, mempertanyakan kepentingan oknum anggota kepolisian yang telah berani mengintimidasi kedua jurnalis tersebut.
"AJI mengingatkan, jika keberatan terhadap praktik jurnalistik di lapangan, ada mekanismenya sesuai Undang-Undang Pers. Ada juga Dewan Pers yang bisa memproses pengaduan itu. Apalagi mereka ini aparat, seharusnya bersikap dan bertindak sesuai aturan," kata Fitri.
Dia menjelaskan jurnalis dalam menjalankan tugas peliputan sudah dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers. Meski demikian, jurnalis juga dituntut untuk tetap mengedepankan kode etik jurnalis (KEJ).
Sehingga jika ada pihak yang berupaya menghalangi tugas dan peran jurnalis di lapangan, dapat diberikan sanksi pidana sesuai yang telah diatur dalam UU Pers.
"Sesuai ketentuan Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers, upaya menghalang-halangi media untuk mencari dan mengolah informasi, dapat di pidana dengan ancaman penjara selama dua tahun atau denda Rp500 Juta," kata Fitri dalam siaran persnya.
Melihat kasus ini, Fitri menilai masih banyak oknum anggota kepolisian yang belum paham dengan cara kerja jurnalis di lapangan.
"Dengan terulangnya kejadian ini, mengindikasikan polisi tidak belajar dari kasus-kasus sebelumnya," ujar Fitri.
Begitu juga sikap tegas ditunjukkan AJI Mataram dengan meminta Polda NTB dan khususnya kepada Kapolres Bima AKBP M Eka Fathurrahman untuk menindak tegas oknum anggota kepolisian yang melakukan intimidasi tersebut.
Selain itu, AJI Mataram mengharapkan kepada Kapolda NTB dan seluruh jajarannya dapat menjadikan persoalan ini sebagai pelajaran penting dan bahan evaluasi di internal, agar tidak terulang di kemudian harinya.
Ketua Divisi Advokasi AJI Mataram Haris Mahtul mengungkapkan kasus kekerasan dan intimidasi terhadap kinerja jurnalis ini menjadi catatan pertama pada tahun 2017.
Untuk itu, pihaknya dikatakan sedang melakukan advokasi untuk kedua korban melalui anggota AJI Mataram yang ada di Bima Kota.
"Kawan-kawan di Bima sudah mendampingi korban untuk melapor ke Propam Polres Bima," kata Haris.
Dengan adanya dasar laporan ini, lanjutnya akan menjadi bahan AJI Mataram untuk mengawal kasusnya hingga tuntas.
Secara umum dijelaskannya persoalan ini muncul saat sekelompok pemuda dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) menyampaikan aspirasinya terkait beroperasinya PT Sanggar Agro Perkasa di Desa Oi Katupa, Kecamatan Tambora, Bima Kota.
Kelompok pemuda ini mendesak pemerintah agar segera menyelesaikan sengketa agraria antara warga dengan pihak perusahaan tersebut.
Saat terjadi ketegangan antara massa aksi dengan anggota kepolisian yang bertugas mengawal unjuk rasa tersebut, Hermansyah dan Ibrahim berupaya mendokumentasikannya.
Namun tak lama kemudian, seorang anggota yang disebut berasal dari Unit Dalmas Polres Bima Kota mendatangi Hermansyah dan tanpa alasan melarangnya untuk mengambil gambar.
Karena tidak mengubris larangan itu, anggota Unit Dalmas Polres Bima Kota yang lainnya turut mendekat dan mulai mengintimidasi Herman.
Sementara itu, Ibrahim yang sedang mengambil video rekaman mendapat perlakuan yang sama dari anggota kepolisian. Tanpa bertanya lebih dulu, kamera Ibrahim dirampas dan kemudian menghapus semua file gambar yang ada di kameranya.
Berawal dari peristiwa itu, keduanya pun mendapat perlakuan tidak wajar, Ibrahim yang kembali menjalankan tugasnya untuk merekam kegiatan aksi tersebut langsung diseret oleh sebagian anggota kepolisian ke mobil Dalmas.
Aksi itu kemudian direkam oleh rekannya, Hermansyah. Namun kembali lagi sebagian anggota kepolisian mengamankan keduanya dan mengintimidasi mereka untuk tidak melakukan peliputan di lokasi.(*)