Samarinda (ANTARA) - Di bawah naungan kerajaan Kutai Kertanegara yang semula bercorak Hindu, tepian Sungai Mahakam di Kalimantan Timur menyimpan kisah pergeseran keyakinan dan pergolakan politik. Pada sekitar tahun 1575, kerajaan ini mengalami titik balik sejarah. Di era itulah, Raja Kutai memeluk Islam, menandai transisi dari monarki Hindu ke era baru.
Kutai Kertanegara menganut Hindu pada akhir abad ke-13 hingga pertengahan abad ke-16. Pengaruh Islam mulai terasa pada masa Raja Makota (1525-1600), ketika kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Sumatera, dan Melayu mulai menjalin hubungan perdagangan. Interaksi ini membawa budaya baru, termasuk pemberian nama bernuansa Islam pada putra-putra raja, seperti Maharaja Sultan (1360-1420) dan Raja Mandarsyah (1420-1475).
Menurut analisis ahli sastra Melayu Constantinus Alting Mees, momen penting peralihan agama terjadi pada tahun 1575. Kedatangan seorang mubalig Islam di Tepian Batu, Kutai Lama, membuka jalan bagi rakyat Kutai Kertanegara untuk mengenal Islam. Raja Kutai saat itu, yakni Raja Makota (1525-1600), memeluk Islam.
"Keputusan ini menandakan awal era baru bagi Kutai Kertanegara. Islam menjadi agama resmi kerajaan, dengan corak religiusitas yang inklusif dan akomodatif serta mengusung toleransi antar-umat beragama," ujar Sejarawan Kaltim, Muhammad Sarip, yang menulis buku berjudul Histori Kutai: Peradaban Nusantara di Timur Kalimantan dari Zaman Mulawarman hingga Era Republik.
Namun, pergolakan politik tak terhindarkan. Sekitar 60 tahun setelah transisi Islam, Kerajaan Martapura dinasti Mulawarman di Muara Kaman runtuh. Tak lama kemudian, utusan maskapai dagang Belanda, VOC, datang ke Kutai. Situasi semakin memanas. Maka timbul gejolak dengan serangan pasukan koalisi Sulu dan Bugis pada ibu kota Kutai di penghujung abad ke-17 atau awal abad ke-18.
Akibatnya, ibu kota kerajaan berpindah beberapa kali. Ibu kota Kerajaan Kutai berpindah ke Jembayan pada tahun 1732, dan kemudian ke Tenggarong pada tahun 1782. Di bawah kepemimpinan Sultan Aji Muhammad Idris, Kutai Kertanegara terlibat konflik dengan VOC di Sulawesi.
Kisah Kutai Kertanegara mencerminkan dinamika sejarah Indonesia, dari pergolakan politik, perdagangan internasional, hingga pergeseran keyakinan. Kutai Kartanegara telah meninggalkan jejak dan warisan budaya yang patut dilestarikan.
Jejak dakwah
Pada abad ke-16, Kesultanan Aceh Darussalam, pusat peradaban Islam di ujung Pulau Sumatera, menerima permintaan dari Raja Tanete di Sulawesi Selatan untuk meredakan perselisihan akibat perbedaan keyakinan. Kesultanan Aceh pun mengutus tiga ulama yakni Abdullah Makmur (Datuk Ri Bandang), Sulaiman (Datuk Ri Pattimang), dan Abdul Jawad (Datuk Ri Tiro).
Saat di Gresik, Jawa Timur, mereka bertemu dengan Tuan Tunggang Parangan, ulama yang memiliki misi serupa. Keempatnya sepakat untuk berdakwah bersama di Pulau Sulawesi.
Kedatangan mereka di Kerajaan Tanete membawa angin segar. Misi dakwah mereka berhasil merajut kerukunan antarumat beragama. Datuk Ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan kemudian melanjutkan perjalanan ke Makassar, dan kembali menuai kesuksesan dalam mengislamkan penduduk.
Tuan Tunggang Parangan dan Datuk Ri Bandang kemudian menyeberangi Selat Makassar, menapaki jejak dakwah di Pulau Kalimantan. "Mereka memasuki muara Sungai Mahakam, menuju Pelabuhan Kutai," ujar Sarip.
Namun, di tengah perjalanan, mereka dikejutkan dengan kabar dari orang Makassar. Sebagian penduduk Makassar yang telah memeluk Islam kembali ke kepercayaan asalnya. Situasi ini menuntut solusi cepat.
Perpisahan dan misi baru
Kedua ulama berunding dan memutuskan untuk membagi tugas. Datuk Ri Bandang kembali ke Makassar untuk meyakinkan penduduk agar kembali memeluk Islam, sementara Tuan Tunggang Parangan melanjutkan dakwahnya di Kalimantan.
Tuan Tunggang Parangan pun menapaki Pelabuhan Kutai Lama, melangkah menuju istana Raja Kutai. Raja Makota menyambutnya dengan hangat, membuka pintu bagi penyebaran Islam di tanah Kutai.
Kisah Tuan Tunggang Parangan, seorang ulama Minangkabau, menjadi legenda dalam penyebaran agama Islam di Tanah Kutai, Kalimantan Timur.
Kedatangan Tuan Tunggang Parangan menjadi babak baru dalam sejarah Islam di Kutai. Misi dakwahnya bukan hanya membawa perubahan spiritual, tetapi juga membuka jalan bagi kemajuan dan peradaban di tanah Kalimantan.
Tuan atau Habib Tunggang Parangan merupakan salah satu tokoh penyebar agama Islam pertama di Kerajaan Kutai pada abad ke-16. Ia dikenal sebagai seorang ulama yang kharismatik dan memiliki ilmu agama yang tinggi. Dakwahnya yang penuh kelembutan dan kasih sayang berhasil menarik hati banyak penduduk Kutai untuk memeluk agama Islam.
Kini, makam Habib Tunggang Parangan menjadi salah satu destinasi wisata religi yang populer di Kalimantan Timur. Makamnya kini kerap dikunjungi masyarakat setempat sebagai ziarah religius.
Makam yang bersejarah
Memasuki kompleks makam Habib Tunggang Parangan, pengunjung akan disuguhi dengan suasana yang tenang dan damai. Arsitektur bangunan makam yang bernuansa tradisional Kutai memberikan kesan religius yang kental.
Belum lama berselang pemerintah setempat bekerja sama dengan dunia usaha melakukan pemugaran kompleks makam Habib Tunggang Parangan. Dengan anggaran sekitar Rp1 miliar, kompleks makam diperindah dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti tempat parkir, taman, dan toilet.
Pemugaran ini bertujuan untuk menjadikan Desa Kutai Lama sebagai destinasi wisata budaya, religi, dan sejarah yang terpadu. Selain itu, diharapkan juga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar dengan adanya kunjungan wisatawan.
Bagi masyarakat Kutai, makam Habib Tunggang Parangan bukan hanya tempat wisata religi, tetapi juga simbol sejarah dan spiritualitas. Di sini, mereka mengenang jasa-jasanya dalam menyebarkan agama Islam.
Bagi para wisatawan, mengunjungi makam Habib Tunggang Parangan menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Mereka dapat belajar sejarah Islam di tanah Kutai, merasakan atmosfer religius yang kental, dan mendapatkan ketenangan jiwa.
Kisah Habib Tunggang Parangan merupakan teladan untuk senantiasa menyebarkan kebaikan dan nilai-nilai agama dengan penuh kedamaian dan kasih sayang.
Makam Habib Tunggang Parangan juga telah dipugar. Pemugaran oleh pemerintah setempat bermaksud agar keberadaan makam tersebut menjadi momentum untuk meningkatkan kecintaan terhadap sejarah dan budaya bangsa, serta memperkuat nilai-nilai spiritual.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menelusuri jejak Islam masuk ke Tanah Kutai
Menurut analisis ahli sastra Melayu Constantinus Alting Mees, momen penting peralihan agama terjadi pada tahun 1575. Kedatangan seorang mubalig Islam di Tepian Batu, Kutai Lama, membuka jalan bagi rakyat Kutai Kertanegara untuk mengenal Islam. Raja Kutai saat itu, yakni Raja Makota (1525-1600), memeluk Islam.
"Keputusan ini menandakan awal era baru bagi Kutai Kertanegara. Islam menjadi agama resmi kerajaan, dengan corak religiusitas yang inklusif dan akomodatif serta mengusung toleransi antar-umat beragama," ujar Sejarawan Kaltim, Muhammad Sarip, yang menulis buku berjudul Histori Kutai: Peradaban Nusantara di Timur Kalimantan dari Zaman Mulawarman hingga Era Republik.
Namun, pergolakan politik tak terhindarkan. Sekitar 60 tahun setelah transisi Islam, Kerajaan Martapura dinasti Mulawarman di Muara Kaman runtuh. Tak lama kemudian, utusan maskapai dagang Belanda, VOC, datang ke Kutai. Situasi semakin memanas. Maka timbul gejolak dengan serangan pasukan koalisi Sulu dan Bugis pada ibu kota Kutai di penghujung abad ke-17 atau awal abad ke-18.
Akibatnya, ibu kota kerajaan berpindah beberapa kali. Ibu kota Kerajaan Kutai berpindah ke Jembayan pada tahun 1732, dan kemudian ke Tenggarong pada tahun 1782. Di bawah kepemimpinan Sultan Aji Muhammad Idris, Kutai Kertanegara terlibat konflik dengan VOC di Sulawesi.
Kisah Kutai Kertanegara mencerminkan dinamika sejarah Indonesia, dari pergolakan politik, perdagangan internasional, hingga pergeseran keyakinan. Kutai Kartanegara telah meninggalkan jejak dan warisan budaya yang patut dilestarikan.
Jejak dakwah
Pada abad ke-16, Kesultanan Aceh Darussalam, pusat peradaban Islam di ujung Pulau Sumatera, menerima permintaan dari Raja Tanete di Sulawesi Selatan untuk meredakan perselisihan akibat perbedaan keyakinan. Kesultanan Aceh pun mengutus tiga ulama yakni Abdullah Makmur (Datuk Ri Bandang), Sulaiman (Datuk Ri Pattimang), dan Abdul Jawad (Datuk Ri Tiro).
Saat di Gresik, Jawa Timur, mereka bertemu dengan Tuan Tunggang Parangan, ulama yang memiliki misi serupa. Keempatnya sepakat untuk berdakwah bersama di Pulau Sulawesi.
Kedatangan mereka di Kerajaan Tanete membawa angin segar. Misi dakwah mereka berhasil merajut kerukunan antarumat beragama. Datuk Ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan kemudian melanjutkan perjalanan ke Makassar, dan kembali menuai kesuksesan dalam mengislamkan penduduk.
Tuan Tunggang Parangan dan Datuk Ri Bandang kemudian menyeberangi Selat Makassar, menapaki jejak dakwah di Pulau Kalimantan. "Mereka memasuki muara Sungai Mahakam, menuju Pelabuhan Kutai," ujar Sarip.
Namun, di tengah perjalanan, mereka dikejutkan dengan kabar dari orang Makassar. Sebagian penduduk Makassar yang telah memeluk Islam kembali ke kepercayaan asalnya. Situasi ini menuntut solusi cepat.
Perpisahan dan misi baru
Kedua ulama berunding dan memutuskan untuk membagi tugas. Datuk Ri Bandang kembali ke Makassar untuk meyakinkan penduduk agar kembali memeluk Islam, sementara Tuan Tunggang Parangan melanjutkan dakwahnya di Kalimantan.
Tuan Tunggang Parangan pun menapaki Pelabuhan Kutai Lama, melangkah menuju istana Raja Kutai. Raja Makota menyambutnya dengan hangat, membuka pintu bagi penyebaran Islam di tanah Kutai.
Kisah Tuan Tunggang Parangan, seorang ulama Minangkabau, menjadi legenda dalam penyebaran agama Islam di Tanah Kutai, Kalimantan Timur.
Kedatangan Tuan Tunggang Parangan menjadi babak baru dalam sejarah Islam di Kutai. Misi dakwahnya bukan hanya membawa perubahan spiritual, tetapi juga membuka jalan bagi kemajuan dan peradaban di tanah Kalimantan.
Tuan atau Habib Tunggang Parangan merupakan salah satu tokoh penyebar agama Islam pertama di Kerajaan Kutai pada abad ke-16. Ia dikenal sebagai seorang ulama yang kharismatik dan memiliki ilmu agama yang tinggi. Dakwahnya yang penuh kelembutan dan kasih sayang berhasil menarik hati banyak penduduk Kutai untuk memeluk agama Islam.
Kini, makam Habib Tunggang Parangan menjadi salah satu destinasi wisata religi yang populer di Kalimantan Timur. Makamnya kini kerap dikunjungi masyarakat setempat sebagai ziarah religius.
Makam yang bersejarah
Memasuki kompleks makam Habib Tunggang Parangan, pengunjung akan disuguhi dengan suasana yang tenang dan damai. Arsitektur bangunan makam yang bernuansa tradisional Kutai memberikan kesan religius yang kental.
Belum lama berselang pemerintah setempat bekerja sama dengan dunia usaha melakukan pemugaran kompleks makam Habib Tunggang Parangan. Dengan anggaran sekitar Rp1 miliar, kompleks makam diperindah dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti tempat parkir, taman, dan toilet.
Pemugaran ini bertujuan untuk menjadikan Desa Kutai Lama sebagai destinasi wisata budaya, religi, dan sejarah yang terpadu. Selain itu, diharapkan juga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar dengan adanya kunjungan wisatawan.
Bagi masyarakat Kutai, makam Habib Tunggang Parangan bukan hanya tempat wisata religi, tetapi juga simbol sejarah dan spiritualitas. Di sini, mereka mengenang jasa-jasanya dalam menyebarkan agama Islam.
Bagi para wisatawan, mengunjungi makam Habib Tunggang Parangan menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Mereka dapat belajar sejarah Islam di tanah Kutai, merasakan atmosfer religius yang kental, dan mendapatkan ketenangan jiwa.
Kisah Habib Tunggang Parangan merupakan teladan untuk senantiasa menyebarkan kebaikan dan nilai-nilai agama dengan penuh kedamaian dan kasih sayang.
Makam Habib Tunggang Parangan juga telah dipugar. Pemugaran oleh pemerintah setempat bermaksud agar keberadaan makam tersebut menjadi momentum untuk meningkatkan kecintaan terhadap sejarah dan budaya bangsa, serta memperkuat nilai-nilai spiritual.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menelusuri jejak Islam masuk ke Tanah Kutai