Jakarta (ANTARA) - "Karena masyarakat telah menjatuhkan pilihannya pada aspek keberlanjutan, maka pemerintah pun berkomitmen akan melanjutkan program-programnya".
Demikianlah prolog Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto, saat mengumumkan bahwa pemerintah akan memberlakukan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025.
Kebijakan itu berarti bahwa PPN naik 1 persen, dari semula 11 persen. Lalu apakah potensi dampak yang muncul dari kebijakan yang disampaikan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto tersebut, dan bagaimana pengaruh lebih luasnya jika PPN menjadi 12 persen?
Dari sisi substansi memang tidak ada yang keliru dengan prolog atau narasi yang disampaikan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
Namun pernyataan tersebut membawa potensi dampak yang luas yang mesti dipahami bersama.
Sementara di sisi lain, KPU baru mengumumkan pemenang Pemilu 2024 untuk kemudian pemerintah baru dapat menetapkan kebijakan terkait hal tersebut.
Selebihnya dari sisi kebijakan publik, masyarakat yang telah mendukung keberlanjutan sejatinya menginginkan insentif yang lebih kondusif.
Maka kenaikan PPN menjadi 12 persen menjadi tantangan tersendiri bagi keseluruhan konsumen sebagai warga negara.
Selain itu, secara lebih mendalam kenaikan PPN menjadi 12 persen secara empirik patut kita cermati bersama.
Sebab mandat UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan juga perlu menjadi pertimbangan tersendiri, selain bahwa pemerintah perlu memiliki parameter yang lebih jelas dan terukur saat akan memberlakukan ketentuan tersebut.
Khususnya dari sisi ekonomi makro dan daya beli masyarakat (purchasing power). Data inilah yang harus menjadi dasar yang kuat bagi Menko Perekonomian dalam menetapkan dan memberlakukan PPN 12 persen pada 2025.
Pemerintah tidak akan hanya menggunakan kaca mata kuda (aspek normatif) saat memberlakukan PPN 12 persen.
Pada titik tertentu, jika mengacu pada benchmarking internasional, setidaknya di level ASEAN, regulasi dan kebijakan PPN 12 persen adalah kebijakan yang cenderung eksploitatif, sekalipun untuk level kelas menengah atas.
Sebab, ternyata PPN 12 persen menjadi PPN tertinggi kedua di wilayah ASEAN, di bawah Filipina. Jika dibandingkan dengan Singapura, sebagai negara paling makmur di ASEAN, berdasarkan World Prosperity Index pada 2021 oleh Legatum Institute, pun PPN-nya hanya 9 persen.
Oleh karena itu, dampak kenaikan PPN ini bisa memunculkan dampak dan efek domino pada masyarakat menengah atas, yang juga akan berkelindan pada masyarakat menengah bawah.
Sebagai contoh, dampak kenaikan ini bisa memicu kelesuan aktivitas bisnis di pusat belanja, super market, restoran, dan tenan-tenan lain. Karena dari aktivitas bisnis inilah PPN akan dikenakan.
Implikasi ke konsumen
Tentu saja implikasinya pada harga yang harus dibayar oleh konsumen. Harganya menjadi lebih mahal 12 persen dari harga barang/jasanya. Saat itulah bisa jadi konsumen sangat mungkin akan mengurangi, bahkan membatalkan aktivitas transaksi/belanja yang terkena PPN.
Hal itu, termasuk untuk jasa transportasi, seperti tiket pesawat. Jadi tingginya harga tiket pesawat, salah satu pemicu utamanya adalah pengenaan PPN, yang saat ini sebesar 11 persen.
Ketika nanti sudah diberlakukan PPN 12 persen, maka penumpang pesawat akan menanggung biaya tambahan sebesar 12 persen tersebut. Angka ini tergolong besar.
Dampaknya, rasio penumpang pesawat bisa turun, dan mereka lebih memilih naik kereta api eksekutif dan atau jalan tol, khususnya konsumen di area Pulau Jawa, yang layanan keretanya makin bagus dan tersambungnya akses tol Trans Jawa.
Saat ini pun fenomena itu sudah terjadi, misalnya, jumlah penumpang di Bandara Ahmad Yani-Semarang, Bandara YIA-Yogya, Bandara Adi Sumarmo-Solo, bahkan Bandara Juanda-Surabaya, mengalami penurunan karena banyak penumpang yang migrasi ke jalan tol dan kereta api eksekutif.
Jadi sekalipun yang akan terdampak pengenaan PPN 12 persen mayoritas adalah pada kelas menengah atas, tetapi bisa berdampak pada kelas menengah bawah juga.
Sebab faktanya perputaran uang paling banyak ada di segmen kelas menengah atas. Dan jika mereka mengurangi aktivitas belanjanya, karena terkena PPN tinggi, maka ada potensi kelas menengah bawah akan terkena dampaknya dan volume jumlah barang yang terjual akan menurun.
Persentase keuntungannya pun berpotensi turun. Dan puncaknya angka dan laju inflasi yang makin tinggi bisa saja terjadi.
Dampak kenaikan PPN akan semakin terasa manakala upaya pengendalian harga bahan pangan, terutama harga beras, masih terkendala berbagai hal.
Ke depan bisa saja harga bahan pangan akan terasa semakin mahal, karena faktor perubahan iklim global dan geopolitik internasional.
Perang Ukraina-Rusia dan kondisi politik di Timur Tengah dan konflik Israel atas Palestina, menjadi pemicu utama.
Kondisi lain yang juga menjadi tantangan adalah ketergantungan impor bahan pangan di Indonesia yang masih tinggi, khususnya impor beras.
Oleh karena itu, pemerintah dan seluruh elemen masyarakat harus bersinergi mencari solusi terbaik untuk mencapai tujuan bersama, yaitu meningkatkan penerimaan negara tanpa mengorbankan kesejahteraan rakyat.
Maka ke depan semua pihak harus mampu menjadikan momentum ini untuk mendorong reformasi perpajakan yang lebih adil dan berkelanjutan.
*) Tulus Abadi adalah pengamat konsumen dan kebijakan publik, Ketua YLKI 2015-2025
Demikianlah prolog Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto, saat mengumumkan bahwa pemerintah akan memberlakukan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025.
Kebijakan itu berarti bahwa PPN naik 1 persen, dari semula 11 persen. Lalu apakah potensi dampak yang muncul dari kebijakan yang disampaikan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto tersebut, dan bagaimana pengaruh lebih luasnya jika PPN menjadi 12 persen?
Dari sisi substansi memang tidak ada yang keliru dengan prolog atau narasi yang disampaikan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
Namun pernyataan tersebut membawa potensi dampak yang luas yang mesti dipahami bersama.
Sementara di sisi lain, KPU baru mengumumkan pemenang Pemilu 2024 untuk kemudian pemerintah baru dapat menetapkan kebijakan terkait hal tersebut.
Selebihnya dari sisi kebijakan publik, masyarakat yang telah mendukung keberlanjutan sejatinya menginginkan insentif yang lebih kondusif.
Maka kenaikan PPN menjadi 12 persen menjadi tantangan tersendiri bagi keseluruhan konsumen sebagai warga negara.
Selain itu, secara lebih mendalam kenaikan PPN menjadi 12 persen secara empirik patut kita cermati bersama.
Sebab mandat UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan juga perlu menjadi pertimbangan tersendiri, selain bahwa pemerintah perlu memiliki parameter yang lebih jelas dan terukur saat akan memberlakukan ketentuan tersebut.
Khususnya dari sisi ekonomi makro dan daya beli masyarakat (purchasing power). Data inilah yang harus menjadi dasar yang kuat bagi Menko Perekonomian dalam menetapkan dan memberlakukan PPN 12 persen pada 2025.
Pemerintah tidak akan hanya menggunakan kaca mata kuda (aspek normatif) saat memberlakukan PPN 12 persen.
Pada titik tertentu, jika mengacu pada benchmarking internasional, setidaknya di level ASEAN, regulasi dan kebijakan PPN 12 persen adalah kebijakan yang cenderung eksploitatif, sekalipun untuk level kelas menengah atas.
Sebab, ternyata PPN 12 persen menjadi PPN tertinggi kedua di wilayah ASEAN, di bawah Filipina. Jika dibandingkan dengan Singapura, sebagai negara paling makmur di ASEAN, berdasarkan World Prosperity Index pada 2021 oleh Legatum Institute, pun PPN-nya hanya 9 persen.
Oleh karena itu, dampak kenaikan PPN ini bisa memunculkan dampak dan efek domino pada masyarakat menengah atas, yang juga akan berkelindan pada masyarakat menengah bawah.
Sebagai contoh, dampak kenaikan ini bisa memicu kelesuan aktivitas bisnis di pusat belanja, super market, restoran, dan tenan-tenan lain. Karena dari aktivitas bisnis inilah PPN akan dikenakan.
Implikasi ke konsumen
Tentu saja implikasinya pada harga yang harus dibayar oleh konsumen. Harganya menjadi lebih mahal 12 persen dari harga barang/jasanya. Saat itulah bisa jadi konsumen sangat mungkin akan mengurangi, bahkan membatalkan aktivitas transaksi/belanja yang terkena PPN.
Hal itu, termasuk untuk jasa transportasi, seperti tiket pesawat. Jadi tingginya harga tiket pesawat, salah satu pemicu utamanya adalah pengenaan PPN, yang saat ini sebesar 11 persen.
Ketika nanti sudah diberlakukan PPN 12 persen, maka penumpang pesawat akan menanggung biaya tambahan sebesar 12 persen tersebut. Angka ini tergolong besar.
Dampaknya, rasio penumpang pesawat bisa turun, dan mereka lebih memilih naik kereta api eksekutif dan atau jalan tol, khususnya konsumen di area Pulau Jawa, yang layanan keretanya makin bagus dan tersambungnya akses tol Trans Jawa.
Saat ini pun fenomena itu sudah terjadi, misalnya, jumlah penumpang di Bandara Ahmad Yani-Semarang, Bandara YIA-Yogya, Bandara Adi Sumarmo-Solo, bahkan Bandara Juanda-Surabaya, mengalami penurunan karena banyak penumpang yang migrasi ke jalan tol dan kereta api eksekutif.
Jadi sekalipun yang akan terdampak pengenaan PPN 12 persen mayoritas adalah pada kelas menengah atas, tetapi bisa berdampak pada kelas menengah bawah juga.
Sebab faktanya perputaran uang paling banyak ada di segmen kelas menengah atas. Dan jika mereka mengurangi aktivitas belanjanya, karena terkena PPN tinggi, maka ada potensi kelas menengah bawah akan terkena dampaknya dan volume jumlah barang yang terjual akan menurun.
Persentase keuntungannya pun berpotensi turun. Dan puncaknya angka dan laju inflasi yang makin tinggi bisa saja terjadi.
Dampak kenaikan PPN akan semakin terasa manakala upaya pengendalian harga bahan pangan, terutama harga beras, masih terkendala berbagai hal.
Ke depan bisa saja harga bahan pangan akan terasa semakin mahal, karena faktor perubahan iklim global dan geopolitik internasional.
Perang Ukraina-Rusia dan kondisi politik di Timur Tengah dan konflik Israel atas Palestina, menjadi pemicu utama.
Kondisi lain yang juga menjadi tantangan adalah ketergantungan impor bahan pangan di Indonesia yang masih tinggi, khususnya impor beras.
Oleh karena itu, pemerintah dan seluruh elemen masyarakat harus bersinergi mencari solusi terbaik untuk mencapai tujuan bersama, yaitu meningkatkan penerimaan negara tanpa mengorbankan kesejahteraan rakyat.
Maka ke depan semua pihak harus mampu menjadikan momentum ini untuk mendorong reformasi perpajakan yang lebih adil dan berkelanjutan.
*) Tulus Abadi adalah pengamat konsumen dan kebijakan publik, Ketua YLKI 2015-2025