Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebut bahwa penguatan kapasitas pelayanan perempuan dan anak di Polri sebagai keharusan untuk meningkatkan akses keadilan bagi masyarakat.
"Berbagai tantangan dalam mencari keadilan terkait peran kepolisian masih kerap kita temukan atau dilaporkan ke Komnas Perempuan. Misalnya soal no viral, no justice, keadilan tertunda karena proses pelaporan yang tidak segera disikapi, ditolak, atau juga dengan tanpa kejelasan waktu tahapan proses, sikap yang masih menyudutkan korban dan kemampuan untuk mengaplikasi perkembangan hukum," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam webinar di Jakarta, Jumat.
Berbagai tantangan itu, kata dia, sebetulnya mencerminkan kapasitas terbatas dari unit yang diberikan amanat untuk menyikapi pelaporan kekerasan terhadap perempuan, dalam hal ini Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di tingkat resor dan Subdit Renakta (Remaja, Anak, dan Wanita) di tingkat polda, juga di tingkat Mabes Polri.
Padahal kasus kekerasan terhadap perempuan maupun kasus perempuan berkonflik hukum semakin tinggi jumlah pelaporannya dan semakin kompleks permasalahannya.
Data Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa dalam rentang 10 tahun terakhir, lebih 2,5 juta kasus kekerasan terhadap perempuan dilaporkan ke berbagai lembaga, sedangkan pada 2023 sekurangnya 289.111 kasus.
Baca juga: Tak ada keadilan restoratif bagi pelaku TPKS
Baca juga: Komnas Perempuan apresiasi penanganan kasus penyekapan PRT
Saat ini, kekerasan dalam rumah tangga yang paling banyak dilaporkan jika dilihat dari ranah, sedangkan dari bentuk kekerasannya, kekerasan seksual mencapai 1/3 dari total kasus yang dilaporkan.
"Dari data yang dikumpulkan di Catahu (Catatan Tahunan Komnas Perempuan) dalam tiga tahun terakhir, sekurang-kurangnya UPPA yang turut mencatatkan datanya menerima 25-35 kasus per tahun. Ini yang kita tahu dalam satu kasus itu bisa saja membutuhkan waktu lebih dari satu tahun berjalan," kata Andy Yentriyani.
"Berbagai tantangan dalam mencari keadilan terkait peran kepolisian masih kerap kita temukan atau dilaporkan ke Komnas Perempuan. Misalnya soal no viral, no justice, keadilan tertunda karena proses pelaporan yang tidak segera disikapi, ditolak, atau juga dengan tanpa kejelasan waktu tahapan proses, sikap yang masih menyudutkan korban dan kemampuan untuk mengaplikasi perkembangan hukum," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam webinar di Jakarta, Jumat.
Berbagai tantangan itu, kata dia, sebetulnya mencerminkan kapasitas terbatas dari unit yang diberikan amanat untuk menyikapi pelaporan kekerasan terhadap perempuan, dalam hal ini Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di tingkat resor dan Subdit Renakta (Remaja, Anak, dan Wanita) di tingkat polda, juga di tingkat Mabes Polri.
Padahal kasus kekerasan terhadap perempuan maupun kasus perempuan berkonflik hukum semakin tinggi jumlah pelaporannya dan semakin kompleks permasalahannya.
Data Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa dalam rentang 10 tahun terakhir, lebih 2,5 juta kasus kekerasan terhadap perempuan dilaporkan ke berbagai lembaga, sedangkan pada 2023 sekurangnya 289.111 kasus.
Baca juga: Tak ada keadilan restoratif bagi pelaku TPKS
Baca juga: Komnas Perempuan apresiasi penanganan kasus penyekapan PRT
Saat ini, kekerasan dalam rumah tangga yang paling banyak dilaporkan jika dilihat dari ranah, sedangkan dari bentuk kekerasannya, kekerasan seksual mencapai 1/3 dari total kasus yang dilaporkan.
"Dari data yang dikumpulkan di Catahu (Catatan Tahunan Komnas Perempuan) dalam tiga tahun terakhir, sekurang-kurangnya UPPA yang turut mencatatkan datanya menerima 25-35 kasus per tahun. Ini yang kita tahu dalam satu kasus itu bisa saja membutuhkan waktu lebih dari satu tahun berjalan," kata Andy Yentriyani.