Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa pemerintah akan memperluas kewenangan penetapan kehalalan produk guna dorong percepatan proses sertifikasi halal.
Sebagai tindak lanjut pelaksanaan kebijakan Jaminan Produk Halal (JPH), Airlangga menilai perlu dilakukan perubahan UU Cipta Kerja yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 untuk perluasan kelembagaan yang berwenang menetapkan kehalalan produk.
“Tadi rapat dengan Bapak Presiden terkait dengan revisi PP 39 Tahun 2021 yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja, dan dengan perubahan Undang-Undang Cipta Kerja tersebut diatur beberapa perubahannya. Salah satunya adalah perluasan kewenangan penetapan kehalalan produk,” kata Airlangga usai Rapat Internal Percepatan Kewajiban Sertifikasi Halal dan Perkembangan RPP Jaminan Produk Halal di Jakarta, Rabu.
Yang memiliki kewenangan untuk menetapkan kehalalan produk tidak hanya MUI, tetapi juga oleh MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, Ulama Aceh dan juga oleh Komite Fatwa Produk Halal. Sebelum terbentuknya Komite Fatwa Produk Halal, tugas komite ini dijalankan oleh Kementerian Agama (Kemenag).
Airlangga menjelaskan, saat ini juga sedang disiapkan draft RPP Perubahan PP 39 Tahun 2021 untuk mengakomodasi perubahan pada UU Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023 meliputi penambahan lingkup inspeksi terhadap “tempat lainnya untuk pemotongan hewan/unggas” selain istilah “Rumah Potong Hewan (RPH)” dan melakukan sinkronisasi peraturan di Kementerian Pertanian dengan peraturan di Kementerian Agama.
Selain itu juga penetapan kehalalan produk dilakukan berdasarkan standar fatwa halal yang ditetapkan oleh pemerintah, serta pembentukan Komite Fatwa Halal terdiri atas unsur akademisi dan ulama yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
“Selama ini diatur dalam PP 39 Kementan bahwa ayam hanya dipotong di RPH. Tetapi ditambahkan di sini tempat lainnya untuk pemotongan hewan dan unggas. Artinya di pasar basah bisa dipotong,” ujarnya.
Di samping itu, berdasarkan PP 39 Tahun 2021 kewajiban sertifikasi halal bagi produk makanan, minuman, hasil sembelihan dan jasa penyembelihan akan selesai pada 17 Oktober 2024. Namun, pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal belum mencapai target di mana masih banyak produk UMK yang belum tersertifikasi.
Penerbitan sertifikat halal oleh BPJPH sejak 2019 untuk semua jenis produk baru mencapai 4.418.343 produk (per 15 Mei 2024) dari target BPJPH 10.000.000 produk, sehingga baru 44,18 persen. Sedangkan total jumlah UMK yang ada sekitar 28 juta unit usaha.
“Oleh karena itu tadi Bapak Presiden memutuskan bahwa untuk UMKM makanan, minuman dan yang lain itu pemberlakuannya diundur. Tidak 2024 tetapi 2026. Itu disamakan dengan obat tradisional, herbal dan yang lain. Kemudian produk kosmetik juga 2026. Kemudian aksesoris, barang gunaan rumah tangga, berbagai alat kesehatan, dan juga terkait dengan halal yang lain yang berlakunya 2026. Jadi khusus UMKM itu digeser ke 2026,” tutur Airlangga.
Baca juga: Kewajiban Sertifikasi halal jangan beratkan UMKM
Baca juga: BPJPH menyebut 3,4 juta produk di Indonesia bersertifikat halal
Pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal untuk produk makanan, minuman, hasil penyembelihan, dan jasa penyembelihan setelah 17 Oktober 2024 tetap diberlakukan untuk pelaku usaha menengah dan besar, direlaksasi untuk pelaku usaha mikro dan kecil sampai 17 Oktober 2026, dan direlaksasi untuk produk impor sampai 17 Oktober 2026.
“Kemudian yang terkait dengan produk dari berbagai negara lain maka akan diberlakukan setelah negara tersebut menandatangani MRA dengan Indonesia. Tadi dilaporkan oleh Pak Menteri Agama saat sekarang ada 16 negara sudah melakukan MRA. Maka negara yang sudah melakukan MRA itu diberlakukan, karena halalnya disertifikasi di negara asal sehingga barangnya bisa masuk. Tetapi bagi negara yang belum menandatangani MRA ini belum diberlakukan,” pungkasnya.
Sebagai tindak lanjut pelaksanaan kebijakan Jaminan Produk Halal (JPH), Airlangga menilai perlu dilakukan perubahan UU Cipta Kerja yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 untuk perluasan kelembagaan yang berwenang menetapkan kehalalan produk.
“Tadi rapat dengan Bapak Presiden terkait dengan revisi PP 39 Tahun 2021 yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja, dan dengan perubahan Undang-Undang Cipta Kerja tersebut diatur beberapa perubahannya. Salah satunya adalah perluasan kewenangan penetapan kehalalan produk,” kata Airlangga usai Rapat Internal Percepatan Kewajiban Sertifikasi Halal dan Perkembangan RPP Jaminan Produk Halal di Jakarta, Rabu.
Yang memiliki kewenangan untuk menetapkan kehalalan produk tidak hanya MUI, tetapi juga oleh MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, Ulama Aceh dan juga oleh Komite Fatwa Produk Halal. Sebelum terbentuknya Komite Fatwa Produk Halal, tugas komite ini dijalankan oleh Kementerian Agama (Kemenag).
Airlangga menjelaskan, saat ini juga sedang disiapkan draft RPP Perubahan PP 39 Tahun 2021 untuk mengakomodasi perubahan pada UU Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023 meliputi penambahan lingkup inspeksi terhadap “tempat lainnya untuk pemotongan hewan/unggas” selain istilah “Rumah Potong Hewan (RPH)” dan melakukan sinkronisasi peraturan di Kementerian Pertanian dengan peraturan di Kementerian Agama.
Selain itu juga penetapan kehalalan produk dilakukan berdasarkan standar fatwa halal yang ditetapkan oleh pemerintah, serta pembentukan Komite Fatwa Halal terdiri atas unsur akademisi dan ulama yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
“Selama ini diatur dalam PP 39 Kementan bahwa ayam hanya dipotong di RPH. Tetapi ditambahkan di sini tempat lainnya untuk pemotongan hewan dan unggas. Artinya di pasar basah bisa dipotong,” ujarnya.
Di samping itu, berdasarkan PP 39 Tahun 2021 kewajiban sertifikasi halal bagi produk makanan, minuman, hasil sembelihan dan jasa penyembelihan akan selesai pada 17 Oktober 2024. Namun, pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal belum mencapai target di mana masih banyak produk UMK yang belum tersertifikasi.
Penerbitan sertifikat halal oleh BPJPH sejak 2019 untuk semua jenis produk baru mencapai 4.418.343 produk (per 15 Mei 2024) dari target BPJPH 10.000.000 produk, sehingga baru 44,18 persen. Sedangkan total jumlah UMK yang ada sekitar 28 juta unit usaha.
“Oleh karena itu tadi Bapak Presiden memutuskan bahwa untuk UMKM makanan, minuman dan yang lain itu pemberlakuannya diundur. Tidak 2024 tetapi 2026. Itu disamakan dengan obat tradisional, herbal dan yang lain. Kemudian produk kosmetik juga 2026. Kemudian aksesoris, barang gunaan rumah tangga, berbagai alat kesehatan, dan juga terkait dengan halal yang lain yang berlakunya 2026. Jadi khusus UMKM itu digeser ke 2026,” tutur Airlangga.
Baca juga: Kewajiban Sertifikasi halal jangan beratkan UMKM
Baca juga: BPJPH menyebut 3,4 juta produk di Indonesia bersertifikat halal
Pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal untuk produk makanan, minuman, hasil penyembelihan, dan jasa penyembelihan setelah 17 Oktober 2024 tetap diberlakukan untuk pelaku usaha menengah dan besar, direlaksasi untuk pelaku usaha mikro dan kecil sampai 17 Oktober 2026, dan direlaksasi untuk produk impor sampai 17 Oktober 2026.
“Kemudian yang terkait dengan produk dari berbagai negara lain maka akan diberlakukan setelah negara tersebut menandatangani MRA dengan Indonesia. Tadi dilaporkan oleh Pak Menteri Agama saat sekarang ada 16 negara sudah melakukan MRA. Maka negara yang sudah melakukan MRA itu diberlakukan, karena halalnya disertifikasi di negara asal sehingga barangnya bisa masuk. Tetapi bagi negara yang belum menandatangani MRA ini belum diberlakukan,” pungkasnya.