Mataram (ANTARA) - Ketua Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat Hery Supriyono menegaskan bahwa majelis hakim yang menyidangkan suatu perkara punya kewenangan untuk mengalihkan status tahanan terdakwa.
"Terkait penahanan, itu jadi wewenang majelis. Majelis bisa menangguhkan, mengeluarkan, dan menetapkan terkait pengalihan," kata Hery di Mataram, Kamis.
Apabila ada pengajuan pengalihan status tahanan terdakwa, Hery memastikan majelis hakim harus menerbitkan penetapan berdasarkan pertimbangan yang kuat.
"Kalau misal karena sakit, pertimbangannya harus melihat rekam medis. Kalau memang hakim yakin rekam medis itu benar dan dengan alasan kemanusiaan, kenapa tidak (ditetapkan)?" ujarnya.
Pada prinsipnya, kata dia, penegakan hukum tidak boleh bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM).
"Kalau orang sakit, masak kita tahan? Yang penting prosesnya (hukum) jalan," ucap dia.
Perihal pengawasan terhadap terdakwa yang berstatus tahanan kota, Hery menegaskan bahwa hal tersebut masih berada dalam tanggung jawab hakim.
"Setiap bulan itu harus ada laporannya (pengawasan). Setiap pengadilan negeri di daerah, itu ada ditunjuk hakim pengawas, jadi ada itu. Untuk di NTB, pengawasan bisa dilakukan sekali setahun. Jadi, monitoring tetap ada," katanya.
Saat disinggung perihal adanya dua terdakwa yang kini berstatus tahanan kota berdasarkan penetapan Pengadilan Tinggi NTB, Hery memastikan bahwa majelis hakim yang bertugas sudah bekerja dengan profesional.
Dia memastikan majelis hakim membuat penetapan pengalihan status tahanan berdasarkan pertimbangan yang kuat.
Dua terdakwa yang kini berstatus tahanan kota itu bernama Po Suwandi dan Sri Suzana. Status tahanan kota tersebut didapatkan berdasarkan penetapan majelis Hakim banding pada Pengadilan Tinggi NTB.
Kedua terdakwa kini mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Sebelum ada putusan berkekuatan hukum tetap dari Mahkamah Agung, Hery memastikan pengawasan kedua terdakwa berada dalam pengawasan hakim.
Po Suwandi merupakan salah satu terdakwa dari perkara korupsi tambang pasir besi pada Blok Dedalpak tanpa mengantongi Rencana Kegiatan dan Anggaran Biaya (RKAB) dari Kementerian ESDM RI selama operasional tahun 2020-2021.
Po Suwandi dalam perkara tersebut berperan sebagai Direktur PT AMG yang berkantor di Jakarta yang kini berstatus tahanan kota sejak adanya penetapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Mataram.
Majelis hakim yang diketuai Isrin Surya Kurniasih menetapkan pengalihan status tahanan Po Suwandi karena pertimbangan sakit berdasarkan hasil rekam medis dari RSUD Kota Mataram.
Begitu juga dengan Sri Suzana yang menjadi terdakwa dalam perkara korupsi pengadaan alat metrologi tahun 2018 pada Disperindag Dompu.
Sri Suzana berstatus tahanan kota sejak perkara berproses di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Mataram. Majelis hakim yang diketuai Mukhlassuddin menetapkan hal demikian berdasarkan adanya pengajuan dari pihak penasihat hukum bahwa mantan Kepala Disperindag Dompu itu mengidap penyakit Vertigo.
"Terkait penahanan, itu jadi wewenang majelis. Majelis bisa menangguhkan, mengeluarkan, dan menetapkan terkait pengalihan," kata Hery di Mataram, Kamis.
Apabila ada pengajuan pengalihan status tahanan terdakwa, Hery memastikan majelis hakim harus menerbitkan penetapan berdasarkan pertimbangan yang kuat.
"Kalau misal karena sakit, pertimbangannya harus melihat rekam medis. Kalau memang hakim yakin rekam medis itu benar dan dengan alasan kemanusiaan, kenapa tidak (ditetapkan)?" ujarnya.
Pada prinsipnya, kata dia, penegakan hukum tidak boleh bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM).
"Kalau orang sakit, masak kita tahan? Yang penting prosesnya (hukum) jalan," ucap dia.
Perihal pengawasan terhadap terdakwa yang berstatus tahanan kota, Hery menegaskan bahwa hal tersebut masih berada dalam tanggung jawab hakim.
"Setiap bulan itu harus ada laporannya (pengawasan). Setiap pengadilan negeri di daerah, itu ada ditunjuk hakim pengawas, jadi ada itu. Untuk di NTB, pengawasan bisa dilakukan sekali setahun. Jadi, monitoring tetap ada," katanya.
Saat disinggung perihal adanya dua terdakwa yang kini berstatus tahanan kota berdasarkan penetapan Pengadilan Tinggi NTB, Hery memastikan bahwa majelis hakim yang bertugas sudah bekerja dengan profesional.
Dia memastikan majelis hakim membuat penetapan pengalihan status tahanan berdasarkan pertimbangan yang kuat.
Dua terdakwa yang kini berstatus tahanan kota itu bernama Po Suwandi dan Sri Suzana. Status tahanan kota tersebut didapatkan berdasarkan penetapan majelis Hakim banding pada Pengadilan Tinggi NTB.
Kedua terdakwa kini mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Sebelum ada putusan berkekuatan hukum tetap dari Mahkamah Agung, Hery memastikan pengawasan kedua terdakwa berada dalam pengawasan hakim.
Po Suwandi merupakan salah satu terdakwa dari perkara korupsi tambang pasir besi pada Blok Dedalpak tanpa mengantongi Rencana Kegiatan dan Anggaran Biaya (RKAB) dari Kementerian ESDM RI selama operasional tahun 2020-2021.
Po Suwandi dalam perkara tersebut berperan sebagai Direktur PT AMG yang berkantor di Jakarta yang kini berstatus tahanan kota sejak adanya penetapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Mataram.
Majelis hakim yang diketuai Isrin Surya Kurniasih menetapkan pengalihan status tahanan Po Suwandi karena pertimbangan sakit berdasarkan hasil rekam medis dari RSUD Kota Mataram.
Begitu juga dengan Sri Suzana yang menjadi terdakwa dalam perkara korupsi pengadaan alat metrologi tahun 2018 pada Disperindag Dompu.
Sri Suzana berstatus tahanan kota sejak perkara berproses di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Mataram. Majelis hakim yang diketuai Mukhlassuddin menetapkan hal demikian berdasarkan adanya pengajuan dari pihak penasihat hukum bahwa mantan Kepala Disperindag Dompu itu mengidap penyakit Vertigo.