Jakarta (ANTARA) - Crypto Analyst Reku Fahmi Almuttaqin menilai harga Bitcoin yang kembali menyentuh level 66 ribu dolar AS untuk pertama kalinya sejak 24 April 2024 dipicu oleh rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) yang sesuai ekspektasi pasar.
"Perkembangan inflasi bulan April yang lebih baik dari ekspektasi tersebut telah berhasil mendorong harga Bitcoin naik ke level di atas 66 ribu dolar AS atau 7,3 persen dari harga terendah 24 jam terakhir di level 61,6 ribu dolar AS," kata Fahmi dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis.
Indeks Harga Konsumen (CPI) AS pada April 2024 secara tahunan berada di angka 3,4 persen, turun dari angka bulan Maret 2024 yang sebesar 3,5 persen.
Pada Kamis pagi, harga Bitcoin meroket di atas level 66 dolar AS. Kenaikan Bitcoin diikuti dengan menghijaunya sejumlah aset kripto lainnya seperti Ethereum yang melonjak 4,62 persen ke level 3.017 dolar AS.
Kemudian, Solana juga terapresiasi hingga 12,22 persen setara 160 dolar AS dan NEAR Protocol naik 18,39 persen ke 7,24 dolar AS. Kenaikan aset kripto tersebut juga sejalan dengan yang terjadi di pasar saham AS dengan indeks seperti S&P 500, Nasdaq, dan DJIA, yang kompak menghijau setelah rilis data inflasi AS.
Fahmi menilai kembalinya tren inflasi ke arah yang positif setelah data bulan Maret yang lebih tinggi dari perkiraan, dapat berpotensi menjadi katalis pendukung yang cukup baik bagi pasar kripto dalam satu bulan ke depan.
Apalagi, hal ini merupakan pertama kalinya CPI mereda sepanjang tahun ini setelah pada Februari naik ke 3,2 persen dari angka 3,1 persen pada Januari, dan kembali naik ke 3,5 persen pada Maret.
"Berkembangnya situasi yang ada dengan meningkatnya adopsi kripto seperti oleh investor institusi di Amerika Serikat misalnya, dapat berpotensi memicu pembalikan arah pasar yang signifikan," ujar dia.
Pada situasi seperti saat ini, menurut Fahmi, data CPI memiliki peran yang lebih dominan dalam dinamika pasar kripto. Hal ini tercermin pada bulan lalu, yang mana data CPI Maret telah memberikan tekanan yang cukup signifikan terhadap pasar dalam satu bulan ke belakang.
"Kenaikan pasar kripto saat ini turut menyoroti optimisme investor terhadap kemungkinan penurunan suku bunga pada akhir kuartal III atau kuartal IV tahun ini. Namun, dinamika data ekonomi ke depan masih menjadi variabel penentu yang perlu diantisipasi oleh investor," kata dia.
Baca juga: Harga Bitcoin tak jamin akan naik setelah "halving"
Baca juga: Peluncuran ETF Bitcoin di Hong Kong berpotensi basis investor
Pada kondisi sekarang, Fahmi mengatakan investor kripto dapat memanfaatkannya dengan sejumlah strategi. Salah satunya strategi narrative hopping di mana investor dapat mencari naratif tertentu yang sedang banyak diminati oleh pasar untuk kemudian melakukan profit taking dan berpindah ke naratif lainnya yang berpotensi akan banyak diminati.
Selain itu, strategi dollar cost averaging (DCA) juga tidak kalah menarik khususnya bagi investor yang tidak memiliki banyak waktu untuk mengikuti perkembangan pasar dan memetakan naratif-naratif yang ada.
Dengan strategi DCA, jelas Fahmi, investor melakukan pembelian rutin setiap periode tertentu dengan nominal tertentu sehingga dapat memberikan investor harga rata-rata yang menarik sambil menunggu tren penurunan suku bunga. Harga rata-rata pembelian tersebut kini tidak perlu dihitung secara manual.
"Karena investor bisa memantaunya di fitur Investment Insight yang tersedia di Reku. Selain itu, investor juga bisa memantau holding period, kalendar laba/rugi, hingga akumulasi keuntungan dari seluruh portofolio. Dengan begitu, investor bisa lebih terinformasi tentang performa investasinya dan lebih percaya diri dalam mengambil keputusan," kata Fahmi.
"Perkembangan inflasi bulan April yang lebih baik dari ekspektasi tersebut telah berhasil mendorong harga Bitcoin naik ke level di atas 66 ribu dolar AS atau 7,3 persen dari harga terendah 24 jam terakhir di level 61,6 ribu dolar AS," kata Fahmi dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis.
Indeks Harga Konsumen (CPI) AS pada April 2024 secara tahunan berada di angka 3,4 persen, turun dari angka bulan Maret 2024 yang sebesar 3,5 persen.
Pada Kamis pagi, harga Bitcoin meroket di atas level 66 dolar AS. Kenaikan Bitcoin diikuti dengan menghijaunya sejumlah aset kripto lainnya seperti Ethereum yang melonjak 4,62 persen ke level 3.017 dolar AS.
Kemudian, Solana juga terapresiasi hingga 12,22 persen setara 160 dolar AS dan NEAR Protocol naik 18,39 persen ke 7,24 dolar AS. Kenaikan aset kripto tersebut juga sejalan dengan yang terjadi di pasar saham AS dengan indeks seperti S&P 500, Nasdaq, dan DJIA, yang kompak menghijau setelah rilis data inflasi AS.
Fahmi menilai kembalinya tren inflasi ke arah yang positif setelah data bulan Maret yang lebih tinggi dari perkiraan, dapat berpotensi menjadi katalis pendukung yang cukup baik bagi pasar kripto dalam satu bulan ke depan.
Apalagi, hal ini merupakan pertama kalinya CPI mereda sepanjang tahun ini setelah pada Februari naik ke 3,2 persen dari angka 3,1 persen pada Januari, dan kembali naik ke 3,5 persen pada Maret.
"Berkembangnya situasi yang ada dengan meningkatnya adopsi kripto seperti oleh investor institusi di Amerika Serikat misalnya, dapat berpotensi memicu pembalikan arah pasar yang signifikan," ujar dia.
Pada situasi seperti saat ini, menurut Fahmi, data CPI memiliki peran yang lebih dominan dalam dinamika pasar kripto. Hal ini tercermin pada bulan lalu, yang mana data CPI Maret telah memberikan tekanan yang cukup signifikan terhadap pasar dalam satu bulan ke belakang.
"Kenaikan pasar kripto saat ini turut menyoroti optimisme investor terhadap kemungkinan penurunan suku bunga pada akhir kuartal III atau kuartal IV tahun ini. Namun, dinamika data ekonomi ke depan masih menjadi variabel penentu yang perlu diantisipasi oleh investor," kata dia.
Baca juga: Harga Bitcoin tak jamin akan naik setelah "halving"
Baca juga: Peluncuran ETF Bitcoin di Hong Kong berpotensi basis investor
Pada kondisi sekarang, Fahmi mengatakan investor kripto dapat memanfaatkannya dengan sejumlah strategi. Salah satunya strategi narrative hopping di mana investor dapat mencari naratif tertentu yang sedang banyak diminati oleh pasar untuk kemudian melakukan profit taking dan berpindah ke naratif lainnya yang berpotensi akan banyak diminati.
Selain itu, strategi dollar cost averaging (DCA) juga tidak kalah menarik khususnya bagi investor yang tidak memiliki banyak waktu untuk mengikuti perkembangan pasar dan memetakan naratif-naratif yang ada.
Dengan strategi DCA, jelas Fahmi, investor melakukan pembelian rutin setiap periode tertentu dengan nominal tertentu sehingga dapat memberikan investor harga rata-rata yang menarik sambil menunggu tren penurunan suku bunga. Harga rata-rata pembelian tersebut kini tidak perlu dihitung secara manual.
"Karena investor bisa memantaunya di fitur Investment Insight yang tersedia di Reku. Selain itu, investor juga bisa memantau holding period, kalendar laba/rugi, hingga akumulasi keuntungan dari seluruh portofolio. Dengan begitu, investor bisa lebih terinformasi tentang performa investasinya dan lebih percaya diri dalam mengambil keputusan," kata Fahmi.