Surabaya (ANTARA) - Memasuki babak baru, kasus pembunuhan Vina dan Eky Cirebon 8 tahun silam, kini turut menyita perhatian Presiden Joko Widodo. Jokowi meminta Polri mengawal dan mengusut kasus secara transparan.
"Saya sudah menyampaikan agar kasus itu betul-betul dikawal dan transparan, terbuka semuanya," kata Jokowi, usai meninjau Pasar Lawang Agung, Sumatera Selatan, Kamis (30/5/2024).
"Tanyakan kepada Kapolri (Jenderal Sigit Listyo Prabowo). Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi, kalau memang ada," tegasnya.
Selain menuai atensi dari orang nomer wahid di Indonesia, polemik kasus Vina juga memantik respons Komnas HAM yang menyebut adanya dugaan pelanggaran HAM. Sedangkan respons dengan sudut berbeda muncul dari anggota DPD RI terpilih, Lia Istifhama.
“Kasus Vina membuka mata publik, bukan hanya disorot terkait penanganan hukum, tapi ini seharusnya juga menjadi self reminder kami bersama tentang sisi lain dari geng motor yang bisa menimbulkan dampak bahaya. Jadi bukan club motor, ya," katanya.
Sebutan geng motor memang sangat melekat dengan kasus Vina. Tepatnya, pembunuhan di Cirebon 2016 silam menyeret dua nama geng motor besar di Bandung, yakni XTC dan Moonraker. Bahkan dua geng motor itu disebut dalam putusan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1035 K/PID/2017.
Bahwa sebelumnya, komplotan pelaku berkumpul pada malam kejadian, tengah pesta miras dengan meminum ciu yang dicampur soda, serta obat jenis trihek. Salah satu pelaku, Rivaldi Aditya Wardana alias Andika menyampaikan adanya masalah dengan geng XTC. Ia meminta bantuan geng motor Moonraker untuk mencari kelompok geng motor XTC, dan sesaat kemudian melintas dua korban, Eki yang sedang membonceng Vina memakai jaket bertuliskan XTC hendak pulang ke rumahnya.
Singkat cerita, Eky dan Vina dikejar para pelaku. Motor keduanya pun ditendang jatuh. Setelah Eky dan Vina jatuh tersungkur, mereka pun disiksa dan dibawa ke lahan kosong di dekat SMPN 11. Eky dipukuli hingga tewas dan Vina diperkosa secara bergilir lalu disiksa hingga luka parah dan dibawa kembali ke pinggir jalan layang dan dibuat seolah-olah korban kecelakaan. Tragisnya kisah Vina pun telah difilmkan dengan judul Vina: Sebelum 7 Hari.
Kembali pada respons aktivis perempuan Lia Istifhama, bahwa di luar polemik yang beragam tengah masyarakat, Ning Lia meminta publik tak melupakan potensi kejahatan atau sisi bahaya dari pergaulan geng motor.
Jika dilihat dari laman Wikipedia tentang salah satu geng motor misalnya, ini merupakan ormas otomotif yang memiliki simbol lebah. Bisa diartikan secara harfiah sebagai solidaritas antar anggota, jauhnya, bila salah satu di antara mereka ada yang diserang, maka yang lainnya akan membela seperti halnya lebah. Dijelaskan pula, bahwa untuk menjadi anggota tersebut, calon anggota harus mengikuti penggojlogan dan tes mengendarai motor ke rumah tanpa rem.
"Nah, dari sini kan sudah dilihat keterlekatan solidaritas dengan kecenderungan pada pola chauvinism atau fanatisme sempit. Bahwa jika merasa anggotanya diserang, maka yang lain akan menyerang balik seperti halnya lebah. Padahal arti solidaritas yang sesungguhnya adalah modal sosial. Bagaimana anak-anak muda dikuatkan solidaritas sosial secara positif. Jika ada yang diserang, maka laporkan pada pihak berwajib. Membela atau mempertahankan diri, itu wajib. Tapi jika dilakukan secara emosi, bisa menimbulkan masalah berkepanjangan," ucap Ning Lia.
Ning Lia pun menambahkan, di laman Wikipedia yang dimaksud, juga diterangkan bahwa kelompok geng motor itu populer di kalangan muda dan dipersepsikan oleh masyarakat dianggap gangster karena aktivitas jalanan berupa kebut-kebutan, balapan liar, bahkan tindak pidana ringan hingga berat berupa aksi massa yang mengakibatkan perkelahian massal dengan korban jiwa. Terlebih, mereka memiliki terminologi Rampasan Perang, yang mana motor rampasan dari rivalnya akan dibakar sebagai penanda unjuk kekuatan kelompok.
“Kalau dibaca lengkap, maka geng motor tersebut telah disadari oleh para pendirinya telah memiliki stigma negatif di tengah masyarakat. Hingga mereka pun melakukan banyak perubahan menuju arah positif. Meski juga diakui masih banyak orang-orang yang berperilaku sebagai geng motor atas nama tersebut sehingga stigma negatif pasti tidak serta merta hilang," jelas Ning Lia.
“Nah, ini yang harus diwaspadai dan menjadi reminder banyak pihak. Karena geng-geng motor tidak akan bisa secara utuh menjaga anggotanya untuk menjaga solidaritas sebatas persatuan, jika pola chauvinism sempit tidak diberantas di internal mereka. Hal sama berlaku pada semua geng motor. Apalagi geng motor yang semula disebut menaungi pelaku, kalau kita pelajari, awal mulanya adalah klub motor. Dan wajar jika anak-anak muda terkumpul dalam habit sama di sebuah klub motor. Ini namanya asosiasional, tapi sekali lagi dampaknya yang harus diperhatikan," ujarnya menambahkan.
Lebih lanjut, politisi cantik itu pun menekankan bahwa kejadian Vina menjadi pukulan telak semua pihak bahwa pola-pola asosiasional di kalangan anak muda jangan sampai melemahkan mental dan modal sosial mereka terhadap orang lain.
"Maksud saya jangan melemahkan mental adalah, jangan hanya karena ingin terlihat keren atau gagah, lantas minum miras. Karena ini asal mula nalar dan sisi manusiawi mereka hilang sehingga membuat mereka tega melakukan kekejian. Selain itu, jangan sampai fokus kepada kelompoknya sendiri atau fanatisme sempit bahkan introvert hanya memikirkan kelompoknya saja lantas mudah benci atau dendam dengan kelompok lain yang dianggap kompetitornya," kata Ning Lia.
Di akhir, senator terpilih asal Jatim itu pun berpesan bahwa kasus Vina menjadi titik tolak perubahan secara menyeluruh pola interaksi di dalam geng motor.
Dari kasus Vina, lanjut dia, sangat penting bagi semua geng motor untuk mengubah pola interaksi di internal mereka. Tidak perlu ada aksi penggojlokan karena itu justru cikal bakal pembullyan, juga tidak perlu memasang kotak-kotak pembatas mereka dengan kelompok lain yang akhirnya memicu dendam dan benci. Padahal yang mereka serang kadangkala orang yang tidak bersalah, melainkan hanya sedang mengenakan jaket bergambar logo geng motor lainnya. Selain itu jangan sampai ada pembenaran aksi hedonisme.
“Dukungan penuh dari geng motor untuk merubah mereka secara internal, ini baru efektif untuk menekan potensi kejahatan di kalangan muda. Istilahnya abolisionistik, yaitu upaya preventif dari sumbernya. Dan dukungan lain yang tak kalah urgent adalah peran penegak hukum untuk selalu utuh menindak kejahatan sebagai pola kuratif, menyelesaikan kejahatan secara menyeluruh dan terbuka agar meningkatkan rasa kepercayaan di tengah masyarakat," katanya.
"Saya sudah menyampaikan agar kasus itu betul-betul dikawal dan transparan, terbuka semuanya," kata Jokowi, usai meninjau Pasar Lawang Agung, Sumatera Selatan, Kamis (30/5/2024).
"Tanyakan kepada Kapolri (Jenderal Sigit Listyo Prabowo). Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi, kalau memang ada," tegasnya.
Selain menuai atensi dari orang nomer wahid di Indonesia, polemik kasus Vina juga memantik respons Komnas HAM yang menyebut adanya dugaan pelanggaran HAM. Sedangkan respons dengan sudut berbeda muncul dari anggota DPD RI terpilih, Lia Istifhama.
“Kasus Vina membuka mata publik, bukan hanya disorot terkait penanganan hukum, tapi ini seharusnya juga menjadi self reminder kami bersama tentang sisi lain dari geng motor yang bisa menimbulkan dampak bahaya. Jadi bukan club motor, ya," katanya.
Sebutan geng motor memang sangat melekat dengan kasus Vina. Tepatnya, pembunuhan di Cirebon 2016 silam menyeret dua nama geng motor besar di Bandung, yakni XTC dan Moonraker. Bahkan dua geng motor itu disebut dalam putusan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1035 K/PID/2017.
Bahwa sebelumnya, komplotan pelaku berkumpul pada malam kejadian, tengah pesta miras dengan meminum ciu yang dicampur soda, serta obat jenis trihek. Salah satu pelaku, Rivaldi Aditya Wardana alias Andika menyampaikan adanya masalah dengan geng XTC. Ia meminta bantuan geng motor Moonraker untuk mencari kelompok geng motor XTC, dan sesaat kemudian melintas dua korban, Eki yang sedang membonceng Vina memakai jaket bertuliskan XTC hendak pulang ke rumahnya.
Singkat cerita, Eky dan Vina dikejar para pelaku. Motor keduanya pun ditendang jatuh. Setelah Eky dan Vina jatuh tersungkur, mereka pun disiksa dan dibawa ke lahan kosong di dekat SMPN 11. Eky dipukuli hingga tewas dan Vina diperkosa secara bergilir lalu disiksa hingga luka parah dan dibawa kembali ke pinggir jalan layang dan dibuat seolah-olah korban kecelakaan. Tragisnya kisah Vina pun telah difilmkan dengan judul Vina: Sebelum 7 Hari.
Kembali pada respons aktivis perempuan Lia Istifhama, bahwa di luar polemik yang beragam tengah masyarakat, Ning Lia meminta publik tak melupakan potensi kejahatan atau sisi bahaya dari pergaulan geng motor.
Jika dilihat dari laman Wikipedia tentang salah satu geng motor misalnya, ini merupakan ormas otomotif yang memiliki simbol lebah. Bisa diartikan secara harfiah sebagai solidaritas antar anggota, jauhnya, bila salah satu di antara mereka ada yang diserang, maka yang lainnya akan membela seperti halnya lebah. Dijelaskan pula, bahwa untuk menjadi anggota tersebut, calon anggota harus mengikuti penggojlogan dan tes mengendarai motor ke rumah tanpa rem.
"Nah, dari sini kan sudah dilihat keterlekatan solidaritas dengan kecenderungan pada pola chauvinism atau fanatisme sempit. Bahwa jika merasa anggotanya diserang, maka yang lain akan menyerang balik seperti halnya lebah. Padahal arti solidaritas yang sesungguhnya adalah modal sosial. Bagaimana anak-anak muda dikuatkan solidaritas sosial secara positif. Jika ada yang diserang, maka laporkan pada pihak berwajib. Membela atau mempertahankan diri, itu wajib. Tapi jika dilakukan secara emosi, bisa menimbulkan masalah berkepanjangan," ucap Ning Lia.
Ning Lia pun menambahkan, di laman Wikipedia yang dimaksud, juga diterangkan bahwa kelompok geng motor itu populer di kalangan muda dan dipersepsikan oleh masyarakat dianggap gangster karena aktivitas jalanan berupa kebut-kebutan, balapan liar, bahkan tindak pidana ringan hingga berat berupa aksi massa yang mengakibatkan perkelahian massal dengan korban jiwa. Terlebih, mereka memiliki terminologi Rampasan Perang, yang mana motor rampasan dari rivalnya akan dibakar sebagai penanda unjuk kekuatan kelompok.
“Kalau dibaca lengkap, maka geng motor tersebut telah disadari oleh para pendirinya telah memiliki stigma negatif di tengah masyarakat. Hingga mereka pun melakukan banyak perubahan menuju arah positif. Meski juga diakui masih banyak orang-orang yang berperilaku sebagai geng motor atas nama tersebut sehingga stigma negatif pasti tidak serta merta hilang," jelas Ning Lia.
“Nah, ini yang harus diwaspadai dan menjadi reminder banyak pihak. Karena geng-geng motor tidak akan bisa secara utuh menjaga anggotanya untuk menjaga solidaritas sebatas persatuan, jika pola chauvinism sempit tidak diberantas di internal mereka. Hal sama berlaku pada semua geng motor. Apalagi geng motor yang semula disebut menaungi pelaku, kalau kita pelajari, awal mulanya adalah klub motor. Dan wajar jika anak-anak muda terkumpul dalam habit sama di sebuah klub motor. Ini namanya asosiasional, tapi sekali lagi dampaknya yang harus diperhatikan," ujarnya menambahkan.
Lebih lanjut, politisi cantik itu pun menekankan bahwa kejadian Vina menjadi pukulan telak semua pihak bahwa pola-pola asosiasional di kalangan anak muda jangan sampai melemahkan mental dan modal sosial mereka terhadap orang lain.
"Maksud saya jangan melemahkan mental adalah, jangan hanya karena ingin terlihat keren atau gagah, lantas minum miras. Karena ini asal mula nalar dan sisi manusiawi mereka hilang sehingga membuat mereka tega melakukan kekejian. Selain itu, jangan sampai fokus kepada kelompoknya sendiri atau fanatisme sempit bahkan introvert hanya memikirkan kelompoknya saja lantas mudah benci atau dendam dengan kelompok lain yang dianggap kompetitornya," kata Ning Lia.
Di akhir, senator terpilih asal Jatim itu pun berpesan bahwa kasus Vina menjadi titik tolak perubahan secara menyeluruh pola interaksi di dalam geng motor.
Dari kasus Vina, lanjut dia, sangat penting bagi semua geng motor untuk mengubah pola interaksi di internal mereka. Tidak perlu ada aksi penggojlokan karena itu justru cikal bakal pembullyan, juga tidak perlu memasang kotak-kotak pembatas mereka dengan kelompok lain yang akhirnya memicu dendam dan benci. Padahal yang mereka serang kadangkala orang yang tidak bersalah, melainkan hanya sedang mengenakan jaket bergambar logo geng motor lainnya. Selain itu jangan sampai ada pembenaran aksi hedonisme.
“Dukungan penuh dari geng motor untuk merubah mereka secara internal, ini baru efektif untuk menekan potensi kejahatan di kalangan muda. Istilahnya abolisionistik, yaitu upaya preventif dari sumbernya. Dan dukungan lain yang tak kalah urgent adalah peran penegak hukum untuk selalu utuh menindak kejahatan sebagai pola kuratif, menyelesaikan kejahatan secara menyeluruh dan terbuka agar meningkatkan rasa kepercayaan di tengah masyarakat," katanya.